Chereads / Andai Dia Tahu / Chapter 4 - Crush On You

Chapter 4 - Crush On You

Taman sekolah tampak sepi selepas para siswa beranjak pulang dan terbebas dari jejalan materi seharian ini. Aku memandang sekeliling taman, suasana segar langsung merasuk pikiranku. Taman memang tempat yang pas buat mencari inspirasi.

"Nulis naskah, ya?"

Aku kaget dengan suara yang tiba-tiba saja muncul. Refleks aku menoleh ke arah suara. Dan ternyata Dhani, teman sekelas Nuno sudah berada di sampingku.

"Taman memang tempat yang cocok untuk mencari inspirasi. Apalagi kalau kalau otak lagi buntu"

Aku hanya tersenyum kecut menanggapi.

"Kenapa lu belum pulang?" tanyaku agak ketus. Hatiku masih sedikit menyimpan rasa kesal dengan sikap dia dan Nuno yang menertawakanku tempo hari.

"Gue baru beres latihan buat pementasan kabaret minggu depan" jawabnya tersenyum manis. Aku mengkerutkan kening.

"Lu anak kabaret?"

Dhani mengangguk mengiyakan.

"Obsesi gue pengen jadi pemain kabaret atau teater profesional. Gue gabung di AAP house. Ikutan di klub kabaret sekolah cuma buat mengasah kemampuan gue saja" cerocosnya.

Aku melongo mendengarnya. AAP House? Itu kan klub kabaret dan teater ternama di Bandung, pementasannya sudah terkenal dimana-mana.

"Hebat! Lu beneran salah satu anggota AAP House? Keren dong"

Dhani tertawa pendek lalu mengangguk mengiyakan.

"Gue bersyukur selalu jadi tokoh utama dalam tiap pementasan. Itu bisa jadi modal gue untuk melangkah ke jenjang profesional"

Aku memandang lekat cowok yang ada disebelahku. Benar-benar enggak aku sangka, cowok yang kelihatannya pecicilan begitu ternyata punya talenta hebat. Apa karena kesan pertama yang dia buat itu jelek makanya aku kurang suka?

"Nuno cerita katanya lu ikutan sayembara mengarang novel remaja, ya?"

"Iseng-iseng saja, nyalurin hobi"

"Hobi yang bagus. Menulis itu enggak gampang makanya daritadi lu cuma bengong doang"

Eh? Refleks aku melihat Dhani. Kok tahu daritadi aku bengong?

"Membuat kata-kata yang indah itu susah. Bahasa dalam tulisan berbeda dengan bahasa yang diucapkan yang terkadang lebih simpel. Gue kesusahan dalam mengolah kata"

Dhani kembali tertawa pendek.

"Gue ngerti. Gue juga sering ngalamin hal kayak gitu. Kesulitan mengolah kata menjadi sebuah cerita sebelum akhirnya di fix."

"Emang naskah dalam kabaret lu juga yang bikin?"

Dhani mengangguk.

"Sebenarnya modal jadi penulis tuh gampang-gampang susah. Gampang karena tiap orang pasti bisa nulis, susahnya dia kudu punya teknik menulis yang oke banget" ujarnya seraya tersenyum. Aku hanya bisa terdiam.

"Lu tahu banget, ya tentang kepenulisan?"

Aku kemudian terdiam, berpikir. Agak malu aku menatap Dhani.

"Ehm.... Boleh enggak gue belajar teknik nulis yang oke sama lu?" pintaku, agak malu.

Dhani tertawa renyah lalu menatapku yang disertai senyum manisnya. Sesaat pandanganku beradu dengannya.

"Umumnya usaha tiap orang untuk menjadi seorang penulis profesional memang berawal dari kebiasaan menulis diary, puisi, dan ada pula yang sampe rajin mengikuti workshop-workshop jurnalistik atau kepenulisan atau sekedar coba-coba mengirim cerpen karyanya ke redaksi-redaksi majalah" cerocosnya panjang Lebar.

"Naskah gue bisa terbengkalai kalau gitu. Learning by doing juga bisa, kan?"

"Gue enggak bisa ngajarin lu teknik menulis, secara bidangnya juga beda. Tapi memang, kadang-kadang untuk menulis kita juga membutuhkan rangsangan atau stimulus yaitu hasrat/dorongan untuk membuat sebuah tulisan. Gue cuma saranin, mending lu rajin mampir ke toko buku dan baca-baca buku yang sekiranya menarik untuk menambah teknik bahasa lu, sedangkan untuk inspirasi, lu bisa lihat dari pengalaman orang lain atau diri lu sendiri atau mungkin jadikan seseorang sebagai inspirasi menulis lu" cerocosnya lagi yang tanpa sadar membuatku kagum dengan sosok Dhani.

Aku kembali terdiam. Semua ucapannya benar-benar inspiratif. Cerdas. Seketika ada rasa kagum dengan sosok Dhani yang awalnya aku pikir cowok pecicilan.

"Gue cabut dulu, ya" ujarnya seraya melirik jam tangannya.

"Gue doain sukses buat lu. Semangat!!" ujarnya lagi dengan mengepalkan tangan.

Aku tersenyum mengangguk.

"Jadikan seseorang sebagai inspirasi menulis?" Gumanku mengulang ucapan Dhani.

Yiiihhaaa... !!!

***

Pagi hari kelasku diributkan dengan kehadiran Dhani yang entah kenapa malah masuk ke kelasku, kelas IPS. Sedangkan dia sendiri di kelas IPA. Kulihat expresi terkejut Dhani melihat keberadaan guru yang tengah membelakangi dia. Dengan segera dia berusaha keluar kembali dari kelasku, tapi sayang mata Pak Gultom yang terkenal killer itu awas menangkap sosok Dhani.

"Heh! Mau kemana kamu?"

Dhani terlihat cengengesan. Tampak Pak Gultom menghampiri dan memandanginya lekat.

"Kamu bukan anak kelas ini, kan? Nama kamu siapa? Anak kelas mana?!" suara Pak Gultom menggema.

"Saya Dhani, Pak anak IPA.2."

"Terus kenapa kamu masuk kelas ini? Ini kelas IPS."

Tiba-tiba aku merasa enggak tega melihat Dhani seperti penjahat yang dihakimi. Kenapa juga dia masuk ke kelasku?

"Maaf, Pak saya lupa menuju kelas IPA. Enggak ada di peta, sih"

Kelasku mendadak riuh dengan suara tawa. Enggak aku sangka dia bisa memberi jawaban yang konyol terhadap guru yang terkenal killer itu. Aku jadi ikutan tertawa melihat tingkahnya.

"Nanti akan aku buatkan peta lokasi sekolah ini berikut letak-letak tiap kelas khusus buat kamu!! Sekarang cepat pergi ke kelas kamu!" suara perintah itu makin menggema.

"Iya, Pak. Kayaknya sekarang saya sudah ingat jalan menuju kelas IPA. Permisi, Pak!"

Pak Gultom mendelik menunjukan tampang garangnya sedangkan Dhani dengan santainya bersikap konyol di hadapan guru killer itu.

'otak dia konslet juga' aku tertawa.

Sekilas sebelum keluar dari kelas, sekilas Dhani tersenyum menoleh ke arahku.

Ah... Jantungku kembali berdegub. Ada apa dengan hatiku?