"Hei, Akari, kenapa kamu suka sekali menatap kelopak bunga itu?"
Di bawah langit jingga Kota Shizuoka, angin berembus sepoi menggoyangkan kembali ranting-ranting tipis pohon sakura dan menerbangkan kelopak-kelopak bunga itu ke udara. Meninggalkan ranting tempat mereka bernaung selama ini. Seakan sudah waktunya mereka pergi dan kembali pada musim semi selanjutnya. Dengan ringan terbang ke udara. Perlahan. Perlahan. Hingga akhirnya jatuh perlahan menyentuh dataran di bawahnya, membentuk karpet merah muda lembut yang tergelar di seluruh sisi jalanan kota yang ditanami oleh pohon tersebut.
Akari, seorang siswi kelas 1 Eiwa High School, yang saat ini tengah berjongkok di bawah pohon sakura, terus asyik mengamati kelopak-kelopak sakura yang menutupi aspal jalanan sore ini. Sekali lagi angin turut menerpa wajah dan rambutnya yang harum nan lembut ke udara. Wajah yang ceria, senyum yang menyenangkan, mata cokelat yang cerah, melekat erat pada sosok diri Akari selama ini.
Tanpa menghiraukan pertanyaan yang baru saja mengusik pendengarannya, Akari menoleh ke samping dan mendongak mencari seraut wajah si pemilik pertanyaan tersebut.
Di sampingnya, telah berdiri seorang laki-laki yang usianya terpaut dua tahun darinya, juga tengah menatap ke bawah. Menatap ke titik tempat di mana Akari mengamati dengan saksama. Mencoba menemukan apa yang bagus dari kelopak-kelopak sakura yang berjatuhan sehingga mereka beruntung mendapat perhatian khusus dari Akari. Merasa tak menemukan apapun yang membuatnya ikut tertarik, ia mengangkat sebelah alisnya. Merasa bingung. Karena baginya, tidak ada yang istimewa dari kelopak bunga itu.
Akari tersenyum padanya. Pemuda ini, jelas saja ia tidak akan bisa memahami kebiasaan anehnya. Pun tidak berharap lelaki ini akan turut menyukai apa yang disukainya. Seperti saat ini. Saat ia mencoba menangkap kelopak sakura yang berjatuhan dari udara.
"Kenapa aku suka, ya? Uhm…," Akari berlagak berpikir keras, namun tak mengalihkan pandangannya dari wajah lelaki di sampingnya. Karena lelaki itu selalu menampilkan ekspresi datar, Akari jadi bertanya-tanya, mengapa di musim semi ini pun sulit sekali membuatnya tersenyum. Lalu Akari kembali mengulas senyum di wajahnya dan memberi lelaki itu jawaban. "Karena aku suka."
Tidak ada respon dari si pemuda. Bibirnya masih terkatup rapat, namun matanya masih tak beralih dari tangan Akari yang terus bergerak-gerak mengikuti jatuhnya para kelopak bunga itu. Tentu saja, jawaban itu tidak memuaskan rasa ingin tahunya. Pasti ada alasan lain selain karena-aku-suka, karena tak hanya sekali Akari berdiam diri dulu di tempat ini sepulang dari sekolah hanya untuk menyaksikan kelopak-kelopak sakura yang berserakan di tanah.
"Melihat langsung di pohonnya lebih cantik. Atau saat dia terbang ke udara."
Akari kembali tersenyum mendengar ucapan pemuda itu. Memang benar. Menyaksikan sakura tepat di pohonnya atau saat kelopak bunga itu terjun ke tanah layaknya salju, itu jauh lebih menyenangkan. Lebih cantik. Tapi bagi Akari, itu merupakan aktifitas normal yang sering dilakukan kebanyakan orang di musim semi seperti saat ini. Dan hal tersebut mengundang opini yang lain bagi Akari. "Lihat," tunjuknya pada kelopak-kelopak sakura yang menutupi aspal yang diinjaknya. "Ada banyak cara menikmati indahnya sakura, termasuk seperti ini."
Pemuda itu semakin menautkan alisnya. Menunggu penjelasan unik apa lagi yang akan gadis ini utarakan padanya.
Akari beralih menatap kelopak sakura di bawahnya, lalu mengambil salah satunya dan menaruhnya di telapak tangan. "Semua orang melihat kecantikannya di atas sana, atau saat dia terbang bebas di udara sampai jatuh ke bawah. Tapi … hanya sedikit yang memperhatikannya saat dia benar-benar jatuh dan terinjak. Hanya sekilas melihatnya di tanah dan berkata 'cantik sekali sakura yang berguguran itu', lalu mereka kembali mendongak ke atas. Yang di bawah dihiraukan, meskipun mereka masih tetap terlihat cantik. Bukankah itu menyedihkan?"
"Mau bagaimana lagi? Sudah semestinya begitu, kan? Dimana ada kehidupan, pasti ada kematian. Sama seperti bunga ini. Dimana ada yang mekar, pasti ada waktunya gugur dan layu," jawab pemuda itu diplomatis.
"Ya, kamu benar," Akari mengangguk setuju. "Tapi bagiku … kecantikan sejati bunga ini adalah pada saat mereka ada di atas tanah. Lihatlah, meskipun mereka jatuh dan tidak bisa menghiasi pohonnya lagi, tapi mereka masih bisa menghiasi jalanan, taman bermain, ataupun halaman rumah orang. Meski pada akhirnya mereka layu dan kering, tapi selama warna merah muda cantik ini belum meninggalkan mereka, mereka akan tetap indah di manapun mereka berada. Meskipun mereka kering dan layu, mereka tetap dikenang. Karena sakura itu, indah dan cantik."
Pemuda itu tak berkomentar apapun. Alasan yang menurutnya biasa dan sederhana, tetapi entah mengapa begitu menyentuhnya. Setiap beberapa detik kelopak bunga itu berjatuhan, dan selama itu pula Akari mencoba menangkapnya dan meletakkannya di bawah, di atas aspal yang mereka pijak. Berbeda dengan orang lain, Akari adalah Akari. Ia memiliki cara sendiri untuk menikmati setiap musimnya. Meskipun yang dilakukan Akari saat ini sangat kurang kerjaan di matanya, namun baginya, dialah yang terunik di antara banyaknya orang di kota ini.
Juga, yang tercantik.
"Aku juga ingin seperti itu. Bisa tetap menyenangkan banyak orang meskipun dalam keadaan terpuruk sekalipun. Juga bisa dikenang banyak orang, pasti sangat menyenangkan. Iya kan?"
Pemuda itu lagi-lagi tak merespon. Ucapan Akari kali ini entah mengapa terdengar agak lirih di telinganya.
Puas mengamati kelopak-kelopak sakura, Akari lekas berdiri dan terlukislah jarak tinggi tubuhnya dengan pemuda di sampingnya. Tingginya hanya sebatas bahu pemuda itu. Ya, pemuda itu memang tinggi. Dan di bahu itulah tempat biasa Akari menyandarkan kepalanya ketika penat atau sekedar ingin bersandar. Tempat ternyaman selain bantal di tempat tidurnya.
"Ryouta Takaki…," panggilnya ceria. "Saat aku jatuh dan terpuruk, apa kamu juga akan tetap memperhatikanku dan memelukku?"
"Uhm, aku─"
"Apa kamu akan terus bersamaku?"
"Aku─"
"Apa kamu akan selalu ada untukku?"
"Itu─"
"Apa kamu tidak bosan padaku?"
"Aku tidak bosan!" sahut Takaki cepat, takut jika Akari memotong kembali ucapannya. Setelahnya, Takaki kembali bungkam. Setelah menyadari ucapannya sendiri yang bernada tinggi. Lalu kembali menatap sebatang pohon sakura yang menaungi mereka.
Akari tertawa renyah, menghiasi sore yang damai. "Ryouta Takaki, apapun yang terjadi, jangan tinggalkan aku, ya? Apa kamu bisa berjanji padaku untuk hal ini?"
Takaki, lagi-lagi terdiam tak memberikan jawaban. Kenapa Akari bertanya dan meminta hal seperti itu? Padahal jawabannya sudah sangat jelas dan pasti. Akari tahu pasti apa jawabannya tanpa harus menanyakannya.
"Tidak usah dijawab," kata Akari mengerti. Mengerti bahwa seorang Ryouta Takaki tidak akan pernah langsung menjawab setiap pertanyaan seriusnya. Entah apa yang dipikirkannya sekarang, Akari tidak tahu. Namun yang pasti, Akari mengerti seorang Takaki tidak akan pernah meninggalkannya. "Aku tahu kamu tidak akan pernah meninggalkanku dalam keadaan apapun. Iya kan, Takaki?"
Lagi. Tak ada jawaban yang terlontar selain embusan napas hangat Takaki. Udara makin terasa menyentuh kulit mereka. Langit pun semakin menampakkan senjanya, pertanda sebentar lagi malam akan menyapa. Dan menggelapkan seluruh kota, membiarkan cahaya dari berbagai macam lampu menggantikan tugas sang mentari.
Takaki kembali mengembuskan napas ringan. Ditatapnya wajah Akari. Ekspresi itu masih tetap sama. Polos namun ceria. Wajah yang selama ini selalu menghangatnya hatinya. Diraihnya tangan hangat gadis itu dan menggenggamnya erat. Kemudian berkata pelan, "Ayo, sebentar lagi malam. Ibu panti tidak suka kita pulang terlambat."
Lalu, sebuah senyuman terukir di sudut bibir Takaki. Hangat. Hingga sampai ke mata Akari.