Suasana kantin SMA Andalas pada saat jam istirahat masih seramai biasanya. Magenta berjalan dengan gaya cool nya menuju lapak mang Ujang yang berada di ujung timur, lapak langganannya selama ini.
"Mang, gado-gado satu sama es jeruk nya satu ya." ucap Magenta kepada seorang lelaki dengan kemeja putih itu.
"Siap Gen," Mang Ujang tersenyum menatap Magenta.
Meski hanya sebagai pemilik warung di kantin SMA Andalas, Mang ujang berpenampilan rapi tidak seperti yang lainnya. Lelaki yang rambutnya sudah mulai di tumbuhi uban itu selalu memakai setelan kemeja setiap berjualan. Kata mang Ujang, ia seperti itu supaya jadi tukang warung berkelas.
Magenta berjalan ke arah sudut kantin menghampiri ke dua temannya yang terlebih dulu sampai disana dengan piring di tangan kanan dan gelas di tangan kiri.
"Lama banget," ucap teman Magenta yang bisa dibilang cukup dekat demgannya.
Namanya Vino Aditama, cowok yang satu ini Magenta kenal sedari waktu Mos dulu. Penampilannya cukup oke jika dikategorikan siswa SMA yang cukup beken di sekolahnya. Vino ini adalah salah satu anggota band di sekolah ini, cowok itu mengambil posisi sebagai gitaris.
Vino cukup di gandrungi oleh gadis gadis di sekolah ini. Tak jarang ada yang secara terang terangan menyerahkan surat terbuka yang berisi pernyataan cinta padanya. Namun walau begitu belum satupun gadis berhasil mengikat perasaannya. Vino berkata bahwa ia memiliki sebuah masalalu yang menyebabkannya menjadi tidak terlalu tertarik untuk menjalani hubungan kembali.
"Habis dari toilet, ngantri tadi." Magenta meletakkan piring dan gelasnya di atas meja.
"Eh, lo suka sama cewek yang tadi?" Pertanyaan itu membuat Magenta berhenti mengunyah.
Pertanyaan ini teelontar dari teman magenta yang satu lagi. Namanya Jo, anak seorang pedagang emas yang tokonya sudah di mana mana. Jo adalah yang paling tajir diantara mereka bertiga.
Setiap orang pasti ketawa jika tahu nama lengkap Jo ini. Dengan muka tampan khas negeri tirai bambu ini pasti tak akan ada yang menyangka bahwa nama lengkapnya adalah Sutejo Daryono.
Menurut penuturan Jo, nama itu diberikan bukan karena ia ada darah jawa atau apa. Nama itu adalah nama seorang supir angkot yang pernah mengantar ibunya pada saat akan melahirkan dirinya. Jadi untuk menghargai jasa Pak Tejo yang merangkap sebagai pahlawan kelahiran Jo, nama itu akhirnya di berikan.
"Cewek yang mana?" tanya Magenta setelah mengosongkan isi mulutnya dengan cara di telan.
"Magika, yang tadi lo iket tali sepatunya."
Otak Magenta seketika membayangkan gadis yang jatuh di hadapannya tadi. Cowok itu tersenyum ketika mengingat betapa lucunya kejadian tadi. Sebenarnya ia ingin ikutan tertawa seperti teman temannya yang lain, tapi takut dosa karena menertawakan orang yang terkena musibah.
"Namanya Magika?"
"Iya. Lo suka dia?"
Magenta menggeleng, mana mungkin ia bisa menyukai seseorang yang bahkan belum ia kenal sama sekali. Lagi pula Magenta rasa posisi gadis yang menjadi cinta pertamanya belum tergantikan sema sekali meski ia telah mencoba menjalani hubungan dengan Rani dahulu.
Jo berdecak sebelum akhirnya ia buka suara kembali. "Gue kira suka,"
"Kenapa emangnya?" Magenta mengangkat sebelah alisnya.
"Karena lo perhatian sama dia, jadi gue berpikiran begitu."
"Gue cuma kasihan sama dia. Itung itung nambah pahala juga." ucap Magenta, lalu cowok itu menyeruput es jeruk yang telah ia pesan tadi.
"Bagus lah kalau lo gak suka, jangan sampai suka pokoknya. sebagai teman gue gak akan setuju."
"Emaknya juga bukan, ngatur ngatur aja lo!" Kali ini Vino yang baru dan selesai menyantap soto yang ia beli buka suara.
"Gue cuma mau yang terbaik aja buat sahabat gue."
"Memang Magika bukan cewek baik baik?" tanya Magenta dengan alis bertautan. Ia memang tidak mengenal orang seperti apa Magika itu. Mengetahui namanya saja baru kali ini.
"Dia itu cewek gila,"
"Gak waras?"
"That's it." Jo mengangguk membenarkan.
"Gak usah dengerin ini bocah, dia sakit hati aja gara-gara ke duluan orang lain dulu pas masih jaman SMP." Vino menyela.
"Mana ada gue kaya gitu!"
"Halah, ngaku aja deh lo!"
Magenta menghela napasnya, ia mengangkat piring dan gelasnya kemudian berpindah ke meja lain meninggalkan kedua sahabatnya yang tengah berdebat itu. Magenta masih cukup sayang nyawa, bisa saja kan nanti ia keselek terus mati gara-gara kaget sama suara mereka yang menyakiti telinga itu.
🎐🎐🎐
"Magika!"
Magika yang tengah melamun tiba-tiba saja dikagetkan oleh seseorang yang memanggil namanya dengan begitu keras. Gadis itu menatap kesal orang yang sudah tega sekali membuatnya hampir mati karena serangan jantung.
"Ngeselin banget sih lo Dan, kalau gue mati gimana coba?!" Magika meninju pelan lengan kawannya yang bernama Dani itu. Dani tidak lah meringis kesakitan atau apa, cowok itu justru terkekeh karena melihat Magika kesal.
"Ya bagus deh kalo lo mati, dunia ini agak longgar dikit kan jadinya."
Mata Magika spontan melotot mendengar penghinaan itu, "Lo mau ngatain gue gendut gitu hah?!" Sungut Magika sambil berkacak pinggang.
Dani mengelus elus dagunya, cowok itu memandang Magika dari ujung kaki hingga ujung kepala. Entah apa yang dicarinya dari Magika.
"Ngapain lo liatin gue begitu?"
"Lo gak gendut sih, cuma agak begah aja." jawab Dani cengengesan.
"Sialan! Gue timpuk sepatu juga lo!" ucap Magika, ia benar benar kesal.
Magika memang agak sensitif jika ada yang membicarakan soal bentuk badannya. Dahulu, Magika selalu makan tiga sampai empat kali sehari. Namun sekarang ia selalu makan dua kali sehari, dengan harapan tubuhnya akan ramping ala ala model.
Setelah sekian lama di jalani ternyata tidak ada perubahan dalam tubuhnya. Magika tetaplah sama dengan Magika yang dulu, tidak ada tubuh ala Gigi Hadid ataupun Kendall Jenner seperti yang ia harapkan.
"Timpuk aja kalo berani," Dani justru memasang tampang menantang, ini membuat Magika tambah emosi dan tambah bernafsu untuk menimpuk kepala cowok itu dengan sepatu.
Magika melepas sepatunya, dan seperti yang sudah bisa di tebak Dani langsung pergi dari tempatnya berdiri sebelumnya. Namun Magika tidak mau tinggal diam begitu saja, dia mulai memperhitungkan sudut lemparan dan besaran gaya untuk dapat membidik kepala Dani.
Setelah mendapat perhitungan yang pas, Magika segera melayangkan sepatu hitamnya tersebut.
"Anjir!!!" Pekik seseorang dari seberang sana.
Magika membulatkan mata dan mulutnya. Ia kaget. Ia tak menyangka lemparannya akan salah sasaran, dan parahnya lagi yang ia kenai justru Magenta.
Astaga, apa nasib nya akan berakhir baik-baik saja setelah ini?
"Magenta, sorry gue gak sengaja." ucap Magika dengan raut wajah bersalah. Magenta masih merintis sambil menutup mata sebelah kanannya dengan tangan.
"Gen, lo gak apa apa?" tanya Jo yang baru saja datang.
"Eh Tejo, gue gak sengaja lempar sepatu ke Magenta."
"Please deh, nama panggilan gue Jo. Stop calling me Tejo." ucap Jo kesal.
"Ya gimana, gue udah kebiasaan manggil lo Tejo sih."
Magika sudah mengenal Jo ini sejak si bangku SMP dahulu. Mereka sempat tergabung dalam OSIS, Magika sebagai sekertaris dan Jo sebagai Wakil.
Sejak dahulu Magika memang selalu memanggil Jo dengan nama lengkapnya, yaitu Tejo. Sebenarnya, gadis itu sudah berulang kali di ingatkan untuk memanggilnya Jo. Namun memang dasar Magika nya yang bebal, ia tidak pernah mau mengikuti perintah dari Jo dengan alasan yang sederhana. Ia lebih suka nama Tejo dibanding Jo yang dianggapnya terlalu simple.
"Gen, coba lihat mata lo."
Magenta perlahan memindahkan telapak tangannya yang menutupi mata sebelah kanan miliknya. Di tempatnya Magika harap harap cemas, tentu ia berharap Magenta tidak mengalami sesuatu yang serius. Atau paling tidak jika cowok itu terluka, jangan sampai lukanya itu membuat ketampanannya yang sangat membahana badai itu luntur.
"Mata gue gimana?" tanya Magenta.
Jo menatap ngeri kearah Magenta yang terlihat begitu menyedihkan, "Jujur Gen, lo terlihat seperti Zuko si pengendali api di avatar the legend of aang."