Setelah semalam mendapat kabar burung mengenai putus nya Magenta, Magika Anandini siswa sebelas Ipa 5 kini tengah berlarian di koridor sekolah untuk menuju ke Kelas Ipa satu untuk mengkonfirmasi berita ini lebih lanjut.
Ketika sampai di sana, Magika terlebih dahulu mengamati situasi. Ia celingukan kesana kemari memastikan bahwa Magenta sedang tak ada di dalam sana. Setelah ia memastikan bahwa Magenta tak ada di dalam sana barulah Magika memutuskan untuk masuk.
"Eh, gimana? Lo punya kabar apa buat gue?" tanya Magika begitu ia sampai di sebuah meja yang terdapat tepat di depan meja guru.
"Ya gitu, lo pasti udah tahu kan?" ucap gadis berkerudung yang bernama Disa itu.
Disa merupakan teman sekelas Magika di SMP dahulu, mereka sama sekali tidak dekat. Magika dan Disa bagaikan kutub utara dan kutub selatan, mereka jauh terpisah. Mereka sangat jarang berinteraksi, tapi itu dulu.
Semenjak SMA, atau lebih tepatnya semenjak Magika mulai menyukai Magenta mereka jadi lebih dekat. Lebih tepatnya Magika mendekati Disa hanya karena ada maunya. Setiap mereka berbincang-bincang, Magika pasti selalu menanyai Disa tentang ini dan itu. Yang jelas, itu selalu berhubungan dengan Magenta.
"Maksud gue, itu beneran?" tanya Magika memastikan.
Disa hanya mengangguk, ia memang orang yang tak banyak bicara. Itulah kenapa walau mereka satu kelas selama tiga tahun lamanya mereka tidak dekat sama sekali. Magika adalah tipe orang yang banyak bicara, jadi teman temannya pun setipe dengannya.
Magika tidak terlalu suka berteman dengan orang yang pendiam. Baginya berteman atau mungkin mengobrol dengan orang-orang semacam itu tidak ada asyik asyiknya sama sekali. Tapi berhubung ini ada kaitannya dengan Magenta, Magika seakan melupakan tentang itu semua.
"Lo yakin, Magenta beneran putus?"
"Iya, dia bilang sendiri kok di grup kelas."
Disa merogoh saku rok nya kemudian mengeluarkan ponselnya untuk di tunjukkan kepada Magika.
Septian : @magenta si Rani caption nya kok gitu? Kalian berantem?
Ellya : Lo udah putus gen??
Magenta : yup, PUTUS.
Sepenggal percakapan lewat chat di grup kelas Magenta cukup membuat hati Magika tambah berbunga bunga. Akhirnya, hari yang ia impi impikan datang juga.
Dengan status Magenta yang kini sudah single membuat Magika jadi tak perlu repot repot mendapat dosa akibat menikung sesuatu yang sudah milik orang lain.
Kini Magika berpikir, ia harus memakai strategi yang mana untuk masuk dan menyusup ke hati Magenta yang sedang rapuh itu.
Apakah ia harus ikut masuk ke band sekolah hanya untuk modus supaya dapat bertatap muka dengan Magenta setiap waktu? Magika menggeleng, ia tak mungkin melakukannya.
Jika ia mencalonkan diri sebagai vokalis, maka dapat di pastikan ia akan gugur ketika baru menyanyikan sepenggal bait saja. Suara Magika kan benar-benar gak karuhan. Bahkan jika ada lembaga sensor suara di dunia ini, dapat dipastikan suara Magika terkena sensor sepenuhnya karena memang terlalu tidak layak untuk di dengarkan.
Mau mencalonkan diri sebagai pemain musik? Itu juga tidak mungkin ia lakukan. Satu satunya alat musik yang bisa Magika mainkan hanyalah seruling. Iya kali ia akan masuk band itu dengan bermodalkan seruling, yang ada nanti dia malah di tertawakan orang orang karena band itu kan tidak beraliran dangdut sama sekali.
Sekarang Magika semakin bingung ingin masuk ke dalam hidup Magenta melalui jalan mana.
"mmmm Gi?"
"Ck, Apa?" Magika menatap kesal terhadap Disa yang telah mengganggu dirinya yang tengah berpikir serius.
"Itu, Bu Jeni udah dateng," ucap Disa pelan sambil menunduk.
Spontan Magika menoleh dan nyengir memamerkan giginya ke guru yang terkenal sangat judes tersebut.
"Eh, Ibu. Saya kira siapa, udah sarapan belum Bu?"
"Gak usah nanya nanya!" Ketus guru yang kini usianya hampir menginjak kepala lima itu.
"Yah ibu, kok gitu sih. Padahal kalau belum saya kan mau ngajak makan di kantin." Magika memasang raut wajah sok kecewa di wajahnya.
"Modus aja kamu! Bilang aja kamu mau nyogok saja biar nilai tugas kamu saya bikin diatas KKM, iya kan?!"
"Yah ketahuan deh," Magika menggaruk garuk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali.
"Muka muka kaya kamu itu gampang di baca!"
"Gimana bu? Muka saya cantik? Ah ibu bisa aja mujinya." Magika berucap dengan tampang sok tersipu malu.
Bu Jeni mengeram kesal, menghadapi makhluk seperti Magika ini memang butuh kesabaran ekstra. "Sudah sana keluar, ganggu aja kamu."
"Sebenernya saya udah mau keluar dari tadi. Tapi karena ibu ngajak ngobrol saya, kan jadinya gak enak. Nanti kalo keluar di bilang gak sopan lagi."
"Yasudah sana keluar!"
"Yakin nih bu? Nanti kalau saya keluar ibu kangen lagi. Secara saya ini kan kangeable banget," ucap Magika lalu terkekeh sendiri, dan seisi kelas IPA satu juga dibuat tertawa olehnya. Sedangkan Bu Jeni, sudah jelas kepalanya tambah mendidih karena tingkah laku aneh dari muridnya itu.
"MAGIKA!" Bu Jeni mulai mengeluarkan suara delapan oktaf andalannya itu.
"Iya iya, saya keluar." Magika memberikan salam perpisahan kepada Bu Jeni dengan cara Kiss Bye.
Sembari berjalan ke kuar ruangan gadis itu terus saja memandangi Bu Jeni yang terlihat seperti sudah tobat menghadapinya, padahal baru saja beberapa bulan mengajar.
BUGH!
Magika terjatuh karena menginjak tali sepatunya sendiri. Seisi kelas Ipa 1 tidak berhenti berhentinya tertawa. Magika sangat malu tentunya, gadis itu memandangi seisi kelas memastikan bahwa tak ada yang merekam kejadian ini.
Magika menghela napas lega ketika tak ada yang merekamnya terjatuh tadi. Jika ada dan sampai menyebar kan jadinya malu, mau ditaro mana mukanya nanti.
"Lain kali, tali sepatu itu di iket."
Reflek Magika menoleh ke sumber suara. Magika melongo seketika saat ia melihat Magenta ada di hadapannya. Dan tahu apa yang cowok itu lakukan? Ia berjongkok lalu mengikat tali sepatu Magika!
Astaga! Magika mau terbang rasanya, sumpah. Melihat wajah serius Magenta yang dari jarak sedekat ini membuat Magika berulang kali meneguk salivanya, ia mencoba menetralisir setiap perasaan gugup yang ada.
"Mau gue bantu berdiri?" Magenta menyodorkan sebelah tangannya untuk membantu Magika berdiri.
Dengan senang hati tentunya Magika menyambut tangan itu. Kapan lagi coba bisa beradegan seperti ini dengan Magenta? Kata orang, jarang kesempatan emas terulang dua kali. Jadi, Magika harus memanfaatkan kesempatan ini sebaik baiknya.
"Makasih ya," ucap Magika dengan senyum manis ketika ia sudah berhasil berdiri dengan bantuan Magenta.
Magenta hanya tersenyum tipis sambil mengangguk, kemudian cowok itu langsung berjalan begitu saja menuju tempat duduknya.
Setelah keluar dari kelas, Magika jingkrak jingkrak tidak jelas. Kejadian tadi membuatnya percaya bahwa setiap kejadian tidak mengenakkan selalu ada hikmahnya. Dan bagi Magika, Magenta adalah hikmah terbaik yang pernah ada.