Beberapa minggu setelah penyerangan Kebijaksanaan Agung, Azfar beserta rekan-rekannya berada di sebuah reruntuhan gedung yang masih layak untuk ditinggali. Reruntuhan itu tidak jauh dari markas mereka, dan juga untuk mengawasi Yoanna.
Sementara itu untuk anggota Sewanin yang tersisa, mulai dari Jean, Alice, Wolfgang, Yuki, dan Azfar, serta Kawasaki yang berada di tempat lain. Mereka berada di satu tempat sedang berkumpul kecuali Azfar, semenjak kematian kedua rekannya di depan matanya membuat dirinya mengalami stress berat. Setelah sebelumnya dirinya menerima kabar yang tidak begitu baik dari Lee, sekarang dirinya harus menerima kepergian kedua rekannya di depan matanya sendiri. Azfar benar-benar merasakan duka, dan juga tekanan yang luar biasa dalam pikirannya. Hal itu juga dibuktikan dengan ledakan kekuatannya yang tidak stabil sesaat setelah kedua rekannya mati di depan matanya. Setiap hari, dirinya hanya diam di depan anggota lainnya. Menyendiri di tepi sungai, dan juga menghampiri makam kedua rekannya. Begitulah rutinitasnya setiap hari, dan ketika kepergiannya ke dua tempat itu para rekan-rekannya yang sedang berkumpul pun hanya diam dalam kekalutan pikirannya, ada Alice yang duduk di sebuah kursi, kemudian Jean yang berada di sofa, Yuki yang hanya berdiri di teras sembari melihat Azfar yang kian menjauh. Kemudian ada Wolfgang yang berdiri menyender ke dinding sembari membaca beberapa buku yang telah dia pungut sebelumnya.
Dalam keadaan krisis seperti itu, tidak begitu banyak kemajuan dari Agensi Sewanin. Kondisi sosial masyarakat di luar kota tengah kacau. Beberapa dari mereka meminta pemerintah untuk bergabung dengan pihak 'Kebijaksanaan Agung'. Tetapi ada pula yang juga menolaknya, mereka saling beradu tanding dan bertarung satu sama lain. Pemerintah banyak mengambil tindakan represif untuk menekan demonstran, akibatnya banyak warga yang mati karena dikerahkannya polisi dan juga militer.
Sewanin hanya diam di tempat, mereka hanya tinggal di reruntuhan selama satu setengah bulan. Hingga pada suatu saat, Alice akhirnya memikirkan sesuatu setelah berpikir panjang.
"Aku tahu, kita tidak bisa terus seperti ini. Memang ini adalah kesalahan kami, bukan hanya kesalahan Azfar. Tidak seharusnya kami semuanya seperti ini. Juga tak selayaknya seorang pemimpin sepertiku tidak mempedulikan anggotaku lagi setelah kejadian ini. Aku harus lebih bertanggungjawab. Aku tidak ingin lagi kejadian ini kembali terulang, iya. Aku harus memberitahukannya pada yang lain." Alice akhirnya melahirkan senyumannya untuk pertama kali setelah beberapa waktu berlalu tanpa senyuman, dan mulai berdiri dari tempat duduknya.
"Teman-teman, semuanya... Aku ingin kalian mendengarkan keinginanku dan juga perasaanku pada kalian."
"Apa yang kau inginkan Alice, kau seperti bukan dirimu seperti sebelumnya?"
"..."
"Hm."
"Tidak, aku hanya ingin membicarakan sesuatu. Ini ada sangkut pautnya dengan Jean dan juga Saotome. Serta ini juga demi mengembalikan keadaan Azfar seperti semula. Aku tahu, tidak selayaknya kita sebagai rekannya dan juga orang yang telah merawatnya membiarkannya sendirian. Serta mengapa Azfar lebih peduli pada Eric dan juga Saotome dibandingkan kita semuanya? Bukankah ada satu hal yang kurang dari diri kita? Bukankah kau juga merasakannya Yuki? Wolfgang? Jean? Dirinya jugalah yang memberikan kita tenaga baru, Kawasaki yang sekarang entah dimana? Seharusnya kita yang paling mengkhawatirkan keadaan mereka semuanya, bukan Azfar yang menanggung keadaan itu sendirian. Aku merasakan rasa bersalah yang teramat besar. Bahkan jika seandainya saat ini aku berbicara pada Azfar pun sepertinya akan ternilai pecuma..., aku... tidak tahu lagi harus bagaimana? Aku benar-benar bingung." Alice mengatakan hal itu sampai air matanya perlahan keluar dari kelopak matanya. Kemudian diakhiri dengan tangis.
Sementara para pendengar pun hanya mampu tertunduk, terdiam membisu kecuali satu orang yang menyimpan rahasianya. Tetapi dirinya ingin sekali bertemu dengan Azfar kali ini, untuk meyakinkan kembali Azfar agar memberikan mereka langkah-langkah yang harus ditempuh.
"Wolfgang, Jean. Seharusnya, setelah kita mendengarkan perkataan Alice. Kita semua bergerak sesuai arahannya, dan juga kita harus menambah kekuatan kita untuk membalaskan mereka yang telah gugur. Serta membuat perhitungan dengan mereka yang telah membuat Agensi Sewanin seperti ini, dan telah menjatuhkan kesadaran seseorang. Kita harus cepat bergerak."
"Yah, jika sudah seperti ini..., maafkanlah sikapku selama ini, aku benar-benar telah menyesal karena tidak membantu sama sekali. Aku benar-benar ingin meminta maaf."
"Iya, aku juga ingin meminta maaf. Sekarang aku akan lebih hati-hati dan juga lebih bisa diandalkan oleh kalian."
"Alice, silahkan perintah kami. Kami akan mengikutimu."
"Baiklah, terima kasih kalian semuanya. Aku benar-benar bersyukur mempunyai kalian di sisiku... Sekarang waktunya menghampiri Azfar. Ayo cepat kita susul dia dan mengajaknya ke suatu tempat."
"Baik!!"
Mereka akhirnya bangkit sedikit semangatnya, dan mengikuti Alice menuju ke tempat dimana Azfar selalu terdiam dan merenung sendirian. Di tempat itu sendiri sudah ada Azfar yang masih memandangi kedua batu yang tepat berada di bawah pohon. Kedua batu itu adalah makam mereka yang gugur.
"Bagaimana bisa aku berkeinginan untuk menyelamatkan kedua temanku yang sekarang berada jauh disana, sedangkan kedua orang yang paling dekat denganku saja aku tidak mampu melindungi mereka. Lantas bagaimana dengan mereka semuanya? Semuanya yang ada di sekitarku, apakah mereka semuanya akan menjadi korban dan mati secara mengenaskan satu persatu di depanku? Apakah aku bisa menyelamatkan mereka? Mereka yang mati tanpa ada kaitannya dengan masalah ini. Aku begitu banyak menanggung dosa-dosa, aku terlalu naif memandang dunia ini adalah dunia yang indah. Dunia ini adalah buruk dari yang terburuk, aku harus bisa bergerak untuk membalaskan mereka yang meninggal tanpa sebuah pengetahuan. Untuk Eric, Saotome, dan juga Lee dan Robby."
<
"Apa yang kau maksud?"
<
"Hm, 6 bulan. Apakah itu tidak lama?"
<
"Baiklah. Aku paham."
<
"Silahkan saja."
Tak lama berselang setelah Azfar berbicara pada kemampuannya, Alice ada di belakang Azfar. Sementara itu, Wolfgang, Yuki, dan Jean berada di belakang mengendap-endap bersembunyi di balik tembok-tembok yang masih tersisa berdiri.
"Azfar..." Alice memanggilnya dengan sedikit keraguan di hatinya.
"Hm..." Azfar bangkit dari duduknya dan membalikkan badannya menghadap pada Alice.
"Anu, apakah kau sudah membuat keputusan?"
"Tentu, aku sudah memiliki sebuah keputusan. Tidak hanya untukku, tapi untuk kita semuanya."
"Apakah itu?"
"Aku akan pergi ke wilayah terlarang. Sedangkan kalian, harus pergi ke sebuah pulau untuk memperkuat diri kalian."
"Kenapa seperti itu? Azfar!" Alice mempertanyakan keputusan sepihak Azfar.
"Karena..." belum selesai Azfar menyelesaikan alasannya, Alice tiba-tiba menampar Azfar. Azfar hanya bisa diam, dan memegangi bagian dimana dirinya ditampar oleh Alice.
"Kenapa? Kenapa kau selalu menanggung semuanya sendiri? Kenapa kau bertindak seolah-olah kau adalah sebuah barang yang dimanfaatkan oleh orang lain? Hargailah dirimu sendiri, tolong. Kau tidak harus mengorbankan dirimu sendiri untuk menjadi kuat. Jangan bertindak sendirian lagi, aku mohon. Aku telah kehilangan mereka dan tidak mungkin aku mengembalikan kehidupan mereka, aku tidak ingin lagi kehilangan untuk kesekian kalinya. Seharusnya kamu menyadari bagaimana rasanya kehilangan orang-orang yang memang dekat denganmu bukan?" Alice mengatakan hal yang begitu panjang dalam keadaan kesal, sedih yang bercampur aduk di hatinya.
"Ta-tapi, aku ingin kalian tetap dalam keadaan aman, dan biarkan aku membuat perhitungan dengan mereka yang menyerang Sewanin dan juga mengorbankan orang-orang yang tak bersalah ini."
"Bodoh, kau tidak seharusnya bertindak demikian. Kita semuanya adalah Sewanin! Tidak sepantasnya bagi kita mengorbankan satu orang demi kebaikan semuanya. Jika memang harus berkorban, maka mereka yang ada di dalamnya haruslah terlibat. Berhentilah terlalu mengandalkan dirimu sendiri Azfar, kau hanya menyiksa dirimu dengan beban itu."
"..." Azfar hanya terdiam.
"Sekarang, apa yang akan kau lakukan?"
"Aku, akan mendengarkanmu. Aku tidak akan memaksakan diriku pada kalian, sebagai gantinya, aku akan memaksakan diriku sendiri..."
"Azfar. Cukup, jangan kau lanjutkan. Aku tidak ingin mendengarkan itu." Alice mendekatkan dirinya pada Azfar.
"..." Azfar tidak begitu mengerti akan perilaku yang Alice berikan padanya.
Alice memeluk Azfar. Azfar hanya diam terpaku, melihat ke arah yang kosong. Sedangkan mereka yang bersembunyi mata mereka pun terbelalak karena apa yang dilakukan oleh Alice.
"Hey, apakah aku tidak bermimpi? Ketua memeluk seseorang?"
"Entahlah, Jean. Setahuku, jika ketua memberikan sebuah perilaku yang lain. Pasti dia memiliki harapan yang tinggi padanya." Yuki menjawab pertanyaan Jean.
"Hm, apakah benar Yuuki?"
"Tentu saja. Siapa diantara kalian yang paling pertama menemaninya?"
"Ah, entahlah. Lagipula, saat itu aku tidak sengaja bertemu dengan Alice." Wolfgang menyambung tentang pertemuannya dengan Alice.
"Hm, sudah. Jangan dilanjutkan, bukan saatnya untuk kita mengingat-ingat ketika itu disini."
"Ah, iya. Kau benar, ada hal yang harus kita lihat setelah..." Belum sempat Wolfgang melanjutkan perkataannya saat melihat ke arah Azfar dan Alice. Dirinya mendengarkan sebuah suara tembakan yang cukup keras.
Jean dan Yuki hanya bisa terperangah, terkejut, dan tidak bisa melakukan apa-apa saking terkejutnya. Mereka hanya diam. Sedangkan Alice dan Azfar sembunyi menundukkan badan mereka untuk sementara.
Di sudut reruntuhan lain, Kawasaki tengah berjalan ke tempat dimana dirinya dapat menemukan teman-temannya. Sampai dirinya melihat dua orang yang sedang mengawasi sebuah tempat. Dirinya kemudian mengendap-endap dan melihat keadaan yang sedang terjadi.
"Sial, kenapa harus ada orang aneh yang muncul. Siapa sebenarnya mereka? Apa jangan-jangan!?"
Kawasaki seperti menyadari sesuatu, tetapi tidak begitu mudah untuk mengingat-ingat informasi yang didapatkannya selama berada di pengungsian.
Sementara itu, tembakan membabi buta mengarah pada Alice dan Azfar. Apakah mereka berdua dapat mengatasinya? Dan bagaimanakah Jean, Yuki, dan Wolfgang, akankah mereka kehilangan teman mereka kembali?