Seorang pemuda dan pemudi terlihat berjalan di sepanjang hutan meskipun mereka bersama, keduanya tidak terlihat akrab.
Si pemudi yang selalu berceloteh sepanjang jalan, sedangkan di sisi lain si pemuda yang hanya diam tak membalas ataupun memperhatika kitan celotehan si pemudi. Keduanya tampak kontras.
Si pemuda yang dari tadi hanya diam tiba-tiba membuka mulutnya " Apakah kita akan berjalan kaki terus ? " Tanya Wira kepada Anindya.
Anindya yang dari tadi ' sibuk ' dengan dunia-nya sendiri menoleh kearah Wira, " Tepat sekali " sambil menggerakan jempolnya.
" Lalu, berapa lama kita akan berjalan? " Tanya Wira lagi.
" Sampai kita tiba di Danadyaksa " balas Anindya.
" Ya, tepatnya kapan ? Bukankah membutuhkan 7 hari dari Abyudaya ke Danadyaksa ? " Tanyanya lagi.
" Hmmm entahlah, tapi ya benar membutuhkan 7 hari dari Abyudaya ke Danadyaksa jikalau menunggangi kuda. "
" Jadi kita akan berjalan lebih lama karena tidak menunggani kuda ? " Tanya Wira terkejut.
" Hmm, tergantung... " Balas Anindya.
" Tergantung apanya?! "
" Tergantung kapan dan dimana aku mau beristirahat sih... Karena cape jalan terus... " Balas Anindya polos.
" Tapi apakah kamu benar-benar sebodoh ini ? " Tanya Anindya.
" Hah?! " Tanya Wira heran.
" Ya benar kayaknya, kau benar-benar bodoh. " Celetuk Anindya
" Biar aku jelaskan jikalau kamu menunggani kuda, otomatis kamu harus menunggangi sesuai medan jalan yang berliku-liku dan jika kuda dibawa langsung secara garis lurus menembus hutan, kuda sangatlah tidak cocok dibawa kehutan dengan banyak rintangan. Tetapi jika kita berjalan, kita hanya harus berjalan secara lurus tanpa harus mengikuti jalan yang beriku-liku seperti kuda. " Ucap Anindya.
" Hmm, aku mengerti... Jadi kita sampai lebih cepat begitukan ? " ucap Wira.
" Sudah kubilang tergantung! Mengapa kau ingin buru-buru sampai, tidakkah kau tau kutipan orang-orang terkenal tentang alam bebas ini? " Bentak Anindya.
" Bumi dan langit, hutan dan ladang, danau dan sungai, gunung dan laut, adalah guru yang sangat baik, dan mengajarkan sebagian dari kita lebih dari yang dapat kita pelajari dari buku-buku " ucap Anindya dengan puitis.
" Wow... Kau sangat filosofis sekali... Apakah kau suka membaca buku filosofis ? " Tanya Wira kagum.
" Sudah kubilang kau memang bodoh, aku berkata alam lebih mengajarkanku lebih dari buku karena pada dasarnya aku hanya baru membaca satu buku yakni tentang kutipan ini saja. Jadi jelas saja alam mengajariku lebih banyak " cetus Anindya bangga. (¹)
" Meski aku tak tahu apa yang diajarkan oleh alam... Hehehehe " lanjut Anindya.
Wira hanya terbisu mendengar ucapan Anindya.
-----------
2 hari kemudian,
Dua orang muda-mudi telah berhasil tiba didepan benteng Danadyaksa, si pemudi terlihat riang seperti biasa, sedangkah si pemuda diam dengan napas terengah-engah.
Wira menoleh keatas dan yang ia lihat sepanjang matanya memandang hanyalah tembok besar.
' Pantas saja dinamakan Danadyaksa, benteng ini semegah namanya. Aku harap sepanjang hidupku Danadyaksa akan terus hidup ' pikir Wira. (²)
Lalu tiba-tiba Wira ditarik oleh Anindya menuju gerbang masuk kota.
Di gerbang banyak orang yang telah mengantri untuk memasuki Kota, untuk memasuki kota seseorang perlu dilakukan pemeriksaan terkecuali ADA beberapa pengecualian.
" Minggir awas,minggir kalian udik " teriak seseorang.
Tiba-tiba terdengar bunyi langkah-langkah kuda ditemani keretanya, para pengantri tiba-tiba menyisi membiarkan kereta kuda lewat.
Wirapun melakukan hal yang sama, lalu bertanya pada Anindya.
" Mengapa mereka tidak diperiksa langsung lewat begitu saja ? " Tanya Wira.
" Mereka adalah anggota keluarga dari keluarga Nolem, salah satu keluarga ternama di Kerajaan Jagaddhita terlebih lagi di Danadyaksa. " Jelas Anindya.
" Nolem ? Jendral Taruna Nolem ? Apakah mereka adalah keluarga dari Jendral Taruna Nolem ? " Tanya Wira.
" Ya benar, Jendral yang di amanahi untuk menjaga Danadyaksa. " Jawab Anindya.
" Ayo lupakan, sebentar lagi giliran kita untuk diperiksa. Tapi ingatlah cukup beri mereka 5 tembaga dan mereka akan membiarkan lewat tanpa pemeriksaan omong kosong " ucap Anindya.
" 5 tembaga ? " Heran Wira.
Tak lama kemudian Anindya telah berhasil melewati pemeriksaan hingga tibalah giliran Wira.
Wira melangkahkan kakinya menuju para penjaga,kemudian para menjaga menghalangi jalan lewatnya dengan tombak. Kemudian salah satu penjaga berkata.
" Biaya masuk 5 perak! " Ucap salah satu penjaga dingin.
" Biaya masuk? " Tanya Wira heran.
" Apa itu biaya masuk? " Lanjut Wira.
" Apakah kau bodoh?! Tak mengerti ucapan sesederhana itu? Berikan aku 5— tidak 10 tembaga! " Bentak penjaga.
" Maafkan aku, tapi di Jagaddhita tidak ada peraturan seperti itu, oleh karena itu aku tak akan membayar " balas Wira.
Keributan Wira memancing para penjaga yang lain untuk memperhatikan, tiba-tiba datang seorang penjaga yang terlihat berpangkat tinggi. Ia kemudian bertanya pada penjaga yang ribut dengan Wira, lalu menoleh kearah Wira dan berkata.
" Kau pikir kau siapa? Kau pikir Jagaddhita punya ayahmu? Hah! Biaya masuknya jadi 50 tembaga" Bentak penjaga tersebut.