"Maaf."
Orang itu, Deina, mengangkat wajahnya dengan berani. Menatap tenang pada gadis 14 tahun yang sedang kehilangan jati diri. Kilauan tajam yang mengkilat membuat gadis itu memundurkan satu kakinya, berniat untuk lari. Lari dari kenyataan pahit yang akan menamparnya.
"Aku sedang tidak menyukai siapapun saat ini."
Deina, pemuda kurus yang tingginya tidak lebih daripada gadis itu, menyombongkan kodratnya sebagai laki-laki yang menerima pernyataan cinta. Dia menolak tanpa keraguan. Memberi gadis itu lebih dari sekedar tamparan. Tapi juga hinaan, celaan, dan sayatan.
"Aku belum bisa membuka hatiku untuk saat ini."
Tidak cukup menghancurkannya, Deina memberi gadis itu sebaris kalimat penuh harapan, kemudian menyiksanya. Hati yang belum terbuka, suatu saat akan terbuka, meskipun bukan untuknya. Kalimat yang menjebak seperti itu, entah kegilaan gadis itu atas cinta butanya atau memang kebodohan alaminya, tetap membuatnya bertahan dalam permainan yang pemuda itu ciptakan.
"Icha Riantina. Ingat nama itu," ujar si gadis sebelum berlari dari sana.
Mata cemerlang Deina berubah sayup. Peluh dingin menetes mengaliri paras tampannya yang melengkapi tubuh kecil miliknya. Pangeran, sebutan yang meluncur dari para pengagumnya. Bisa berarti karena ketampanannya atau tubuh kecilnya yang menggambarkan kemanjaan.
"Aku ingin mati saja," gumam Deina.
Pemuda yang memakai dasi abu-abu dengan bordiran angka romawi satu itu terus melangkahkan kakinya mendekati kelas paling tenang di angkatan tahun pertama. Setibanya di bangku, Deina melanjutkan belajarnya yang tertunda sambil menahan senyum miris.
"...Tapi tidak akan sebelum aku melihatnya menjadi kuat."