***
Kabar yang tersebar beberapa hari yang lalu, bukanlah isapan jempol belaka. Semua orang membicarakannya. Media elektronik dan surat kabar sudah menjadi santapan pemakan berita. Kembali aku menatap layar ponsel ku nanar, entah mengapa perasaan ini bisa mendeskripsikan semua realita yang ada. Aku seperti fatamorgana yang berada di tengah gurun sahara. Air mata tak cukup untuk menghilangkan rasa sesak di dada. Pedih, perih dan luka hanyalah teman semu belaka. Kala hati ini tak sanggup menahan gempuran yang ada.
Sudah cukup lama aku merenung di kamar ku, bak manusia yang hilang aral dan putus asa. Pesta pernikahan itu akan terlihat mewah di salah satu hotel bintang lima di Jakarta. Akan banyak selebriti papan atas yang di undang, dan para tamu undangan yang terhormat lainnya. Fans dari kedua belah pihak turut serta memeriahkan pesta resepsi yang akan di adakan pada malam hari. Dan kebahagian itu, tak nampak pada diriku. Yah,,, karena aku adalah salah satu fans dari seorang Alvaro Bautista! Dan aku, tak akan pernah datang kesana.
***
Pagi yang cerah dan matahari hangat yang mulai menunjukkan warna kuning di langit biru, tak seindah hati ku yang lara. Berangkat ke sekolah adalah rutinitas ku setiap hari, kecuali hari minggu tentunya. Di antara semua teman sekelas ku, tak satupun dari mereka yang terus membicarakan tentang pesta pernikahan dua pasangan selebriti kenamaan. Yah, tak lain dan tak bukan tentu saja Alvaro Baustita dan Carolina Luz. Si tampan dan si cantik yang menjadi raja dan ratu semalam di pesta pernikahan mereka.
Banyak yang memuja dan memuji penyanyi cantik bersuara merdu milik Carolina Luz saat pernikahannya berlangsung, bahkan ada yang sampai masih belum percaya dengan berita kemarin. Ada pun yang menyayangkan kenapa seorang Alvaro menikahi Carolina, apa karena skandal yang merebak bahwa Carolina tengah hamil anak dari Alvaro? Semua itu masih desas-desus dan sampai hari ini Carolina tak menunjukkan tanda-tanda kehamilan.
***
Pulang sekolah aku putuskan untuk menaiki bus menuju ke rumah, menunggu dengan sabar di halte sambil merilik jam tangan, sesekali kepala ku menoleh ke kiri dan kanan menanti kedatangan bus untuk menjemput penumpang. Suasana sore hari sedikit membuat udara tidak terlalu panas. Saat bus sudah datang, kami semua yang berada di halte langsung masuk ke dalam bus, mencari kursi yang masih kosong, aku pun menemukan kursi kosong itu. Duduk diam sambil melihat jalanan yang mulai padat karena jam pulang kantor dan sekolah di jendela bus. Tak terasa, aku sudah sampai tujuan, dan berjalan sedikit menuju ke arah rumah.
Namun, belum sampai aku mendekati pagar rumah ku yang berwarna coklat tua, sebuah mobil terparkir. Dan setelah itu, aku di buat terkejut, seseorang dari dalam mobil itu keluar, dan nampak jelas sedang berdiri menjulang di pintu mobil yang sudah ia tutupi. Aku tak bisa berkutik, tapi aku juga tidak ingin melihat dan bertemu dengannya lagi. Seseorang yang sudah menghancurkan hati ku, seseorang yang kini menatap ku dengan sorot penuh penyesalan, seseorang yang kini berstatus suami orang, seseorang yang ingin menghampiriku. Dan seseorang itu yang sekarang, mendekapku dalam pelukan hangatnya. Ya, ia adalah sang pujaan hati yang kini datang kembali. Aku terpekur, diam membisu saat jemari tangannya semakin erat memeluk ku, seperti tak ingin terlepas. Dan bibirnya yang kini sedang mencium keningku dengan penuh perasaan, seperti hari ini mungkin adalah kata perpisahan untuk kita.
Kedua tanganku terkepal erat di sisi tubuh, aku tak ingin membalas pelukkannya. Aku tak bisa! pelukkannya kini terlepas, namun ia tak melepaskan aku sepenuhnya. Aku masih dalam lingkup kedua tangannya yang kekar itu. Kami sama-sama saling menatap, gejolak itu masih ada. Rasa yang kemarin itu masih tersimpan dengan baik. Buru-buru aku mengalihkan tatapan, tak sanggup lagi ketika aku melihat jemari tangannya yang kanan telah terpasang sebuah cincin kawin di jari manisnya, saat jemari itu ingin mengelus pipi ku yang basah karena air mata.
"Maaf"
satu kata terucap dari sela bibirnya, hati ku bergumam untuk apa ia katakan itu? toh, semuanya sudah jelas.
"Maaf, sudah menyakitimu terlalu dalam," kembali ia berujar dan menghirup nafas panjang, tapi aku masih bertahan dengan kebungkaman ku.
"Tolong dengerkan penjelasan ku, aku..."
"Sudah, aku tak ingin dengar." kini ku menyela dengan intonasi datar. Al mengernyitkan dahi, aku berusaha tegar dan mengumpulkan sisa tenaga untuk menghadapi dia.
"Kita selesaikan ini semua sekarang."
"Tapi," Al ingin menolak, aku mulai mengangkat kedua tanganku dan mendorong dadanya yang bidang itu,
"Kamu dan aku, di takdirkan untuk tidak bersama." setelah mengucapkan kalimat yang sedikit menguras emosi, aku bergegas menuju ke dalam rumah. Dan ku tinggalkan dia yang diam mematung.
Aku tak ingin lemah, aku tak ingin sakit, aku ingin merasakan bahagia dengan orang yang ku cinta dan mencintaiku. Kenapa sulit? Apakah aku tak pantas bahagia?