Cahaya di atas mereka begitu menyilaukan sementara gemuruh tepuk tangan riuh terdengar.
'Aku di mana?'
Liu Zilang mengangkat tangannya untuk menutupi dahinya serta memicingkan matanya. Di antara konfeti yang berjatuhan, dia melihat seorang remaja berambut hitam mengenakan topeng hitam duduk di sisi kiri panggung. Remaja itu terbungkukmembungkukan diri di depan sebuah layar komputer sementara bahunya sesekali bergerak seperti tersentak.terus menerus berkedut secara tiba-tiba.
Terdapat empat kursi di sampingnya di mana satu sekelompok remaja yang terlihat lebih tua terlihat duduk dengan ekspresi yang sama datarnya seperti wajahnya.
Satu-satunya kata untuk menggambarkan keadaan di sana adalah suram, seakan-akan semuanya yang ada di sana telah mati atau terlupakan. Dibandingkan dengan kekacauan yang terjadi di seluruh sisi Stadion Besar Nuo lainnya, keadaan di sini tampak janggaltidak sesuai.
Saat melihat anak laki-laki yang duduk di depan komputer, Liu Zilang merasa tidak asing dengannya.
Secara tidak sadar, dia ingin mendekatinya untuk melihat lebih jelas.
Meskipun demikian, pada saat yang sama, segerombolan wartawan berbondong-bondong menuju ke depan panggung. Gerombolan wartawan itu tampak senang dengan kamera mereka saat mereka tanpa ampun mengerumuni area di samping panggung.
Beberapa remaja berambut pirang samar-samar terlihat berdiri di area kontes di sisi lain panggung. Mereka tersenyum seraya melambaikan tangan ke kamera dan penggemar di bawahnya.
Saat hal tersebut terjadi, penonton menjerit-menjerit bersorak dengan antusias. Mereka pun sontak berlompatan meninggalkan kursinya dan berlarian menuju panggung.
Liu Zilang kehilangan keseimbangannya saat dia terdorong oleh gelombang manusia. Dalam keadaan panik, dia menengadahkan kepalanya dan melihat ke ara panggung sekali lagi.
Pada titik ini, anak muda yang mengenakan topeng hitam yang sebelumnya membungkuk di depan komputer baru saja mengangkat kepalanya
Mereka kemudian saling pandang. Matanya sekejap memerah dan air mata mulai bercucuran membasahi matanya.
Lui Zilang tertegun. Alasan dia merasa tidak asing melihat mata itu adalah karena ia biasanya melihatnya beberapa kali setiap hari.
Itu adalah matanya.
…
'Kulitku masih terasa terbakar dari sentuhanmu!'
'Oh, aku sangat menikmatinya!'
Telepon di sisi tempat tidurnya berdering, Liu Zilang tersentak bangun.
Dia melihat sekelilingnya sebuah kamar berwarna putih dan sebuah tempat tidur yang bersih. Tirai di dekat tempat tidur tertiup lembut oleh angin, membuat suara gemerisik lembut saat tertiup.
Lampu-lampu, kamera, spanduk dan FPS (red.: First-Person Shooter) paling seru dalam sejarah - Clash of the Titans.
Tiba-tiba, semua yang telah terjadi tampak menjauh.
"Mimpi sialan lagi." Liu Zilang mengusap-usap dahinya dan terkekeh. Dia menengok ke arah telepon yang berdering di meja dan melihat siapa yang menelepon - Xiaotong-chan'.
'Dia lupa kuncinya lagi?'
Liu Zilang mengusap dagunya dan menggerutu saat mengangkat teleponnya.
"Hey, ada apa?"
...
Hening...
...
Seperti tidak ada yang siapa-siapa di ujung telepon itu, tetapi dia masih bisa mendengar suara nafas samar-samar di ujung telepon itu.
Sesekali dia mengucap 'halo' dan menunggu sekitar sepuluh detik untuk mendapatkan respon dari lawan bicaranya. Hening.
Karena dia bukan orang yang sabar, Liu Zilang mulai emosi dan berseru,"Aku akan menutup teleponnya jika kamu tidak bicara."
"Tidak, jangan!" suara lembut, dan halus akhirnya terdengar di ujung telepon.
"Perempuan ini." Liu Zilang bergumam. "Akhirnya mau bicara? Ada apa?"
Kembali hening.
Saat Liu Zilang hendak menutup teleponnya, dia mendengar suara tergagap."Bu...buka pintunya."
'Dia lupa lagi kuncinya!'
Liu Zilang terdiam saat mendengar hal tersebut. Akan tetapi, disaat bersamaan dia menyeringai.
Dia berusaha menahan tawanya saat berkata dengan licik, "Hmm… Aku bisa membuka pintunya untukmu, tapi kamu harus meminta baik-baik. Panggil saya….kakak. Onii-chan boleh juga."
Telepon kembali hening. Beberapa saat kemudian, dia mendengar telepon terputus. Perempuan itu menutup teleponnya.
"Hei!"
'Anak tidak tahu sopan santun! Apa susahnya memanggilku 'kakak'?"
Liu Zilang mengusap wajahnya dan berpikir apakah dia benar-benar tidak disukai.
'Saat aku baru masuk perguruan tinggi belum lama ini, ada sekelompok senior perempuan berdebat tentang siapa yang akan membantuku pindah. Tapi sekarang…' Dia mengerutkan dahi. 'Apakah mungkin wajahku hanya menarik untuk perempuan yang lebih tua dari ku dan tidak untuk yang lebih muda?'
'Pfft! Pria tampan sepertiku harus dapat menarik siapapun, tanpa memandang usia. Anak kecil itu tidak punya selera. Ya, pasti itu alasannya!'
…
'Jika kamu tidak mau memanggilku kakak, silahkan tidur di luar!' Liu Zilang sempat berpikir jahat ketika dia merebahkan tubuhnya ke tempat tidur.
Tentu saja pikiran ini hanya angan-angan semata - dia tidak akan berani melakukan hal seperti itu.
Disamping itu, dia tidak dapat membayangkan apa reaksi ibu tirinya jika dia tidak membukakan pintu untuk anak itu. Dia pasti akan ditendang jika ayahnya tahu tentang hal itu.
Ayah Liu Zilang selalu berpakaian rapi berbalut jas yang pas dan dasi yang bersih. Dia mengenakan kacamata dengan bingkai emas dan terlihat seperti pengusaha sukses pada umumnya.
Namun, jika terpancing emosinya, dia dapat menjadi sangat kejam.
…
Setelah mengacak-ngacak tempat tidur dengan kesal, dia menemukan celana panjang baggy yang dia lempar semalam, begitu juga dengan kaos oblong untuk dipakai. Dengan rambut berantakan seperti sarang burung, Liu Zilang dengan enggan bergegas menuju pintu untuk membukanya.
Sebelum membukanya, dia mendapat ide cemerlang dan mengintip melalui lubang di pintu.
Di pintu masuk berdiri dua anak perempuan terlihat berusia dua belas atau tiga belas tahun. Mereka keduanya menggendong tas sekolah.
Salah satunya adalah anak perempuan mungil dan lucu dengan seragam sekolah dengan rambut berkuncir kuda. Dia seperti anak sekolah dasar pada umumnya
Anak perempuan lainnya berseragam sekolah yang sama namun terlihat lebih tua. Dia mengenakan kacamata dengan bingkai hitam dan terlihat seperti anak baik-baik.
Kedua anak perempuan tersebut saling bercakap di depan pintu pada saat itu.
Anak perempuan yang mengenakan kacamata berbalin sesekali untuk melihat pintu. Terkadang wajahnya menampakan ekspresi cemas.
Sementara anak perempuan berkuncir kuda tampak tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi, dia sama sekali tidak terlihat cemas pintunya mungkin tidak akan terbuka.
Liu Zilang tidak bisa menahan kekesalannya. 'Anak ini benar-benar memanfaatkanku.'
…
"Klik!"
Liu Zilang membuka pintunya.
Namun, alih-alih bergeser, ia bersandar pada kusen pintu dan melontarkan senyum cerah yang membuatnya terlihat ramah.
Biasanya, dia berhasil menunjukan citra 'orang baik', namun, penampilan tak terurusnya saat itu membuatnya tidak berhasil. Selain dari rambutnya yang berantakan, dan celana baggy-nya yang kelewat longgar, kotoran di matanya yang belum dibersihkan dengan jelas menunjukan penampilan aslinya.
Di luar pintu.
Setelah melihat Liu Zilang, terlihat jelas bahwa anak perempuan mungil yang sedari tadi bercanda sekarang berhenti tersenyum.
Menangkap ekspresinya, Liu Zilang mendelik kesal.
'Anak nakal ini benar-benar tahu caranya memanipulasi ekspresinya!'
Di sisi lain, si anak baik-baik berkacamata tampak senang dengan Liu Zilang. Dia sangat sopan saat menyapanya.
'Lupakan saja, tidak perlu bertengkar dengan anak nakal ini!'
Liu Zilang memaksakan diri tersenyum agar ia terlihat ramah. Dia tersenyum pada perempuan berkacamata seraya berseru,"Oh! Kamu pasti teman sekelasnya Xiaotong. Silakan, silakan, ayo masuk."
Saat perempuan berkacamata itu mendengarnya, dia mencoba membalasnya namun segera dibungkam oleh perempuan lainnya. Dia menarik lengannya, memberi isyarat untuk tidak merespon sebelum melihat Liu Zilang dengan pandangan acuh tak acuh.
Mereka tidak saling bicara, namun mereka saling memahami apa yang masing-masing pikirkan.
'Satu kata: menyingkirlah!'
'Sialan! Kamu mempermalukanku di depan perempuan lain!'
Liu Zilang terpicu amarahnya. Dia mengangkat alisnya dan mendesah pelan saat matanya menatap nanar lawannya itu.
'Tetap ditempatmu. Tunjukan siapa yang berkuasa disini!'
Jantung Liu Zilang berdebar kencang saking marahnya!
Tiba saatnya untuk anak nakal ini belajar bahwa kasih sayang dari seorang saudara tidak ada bedanya dengan disiplin ayah yang tegas.
Namun, amarah Liu Zilang segera mereda saat ia melihat anak perempuan di depannya itu mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Tentu bukan untuk menelpon polisi. Liu Zilang yakin anak perempuan itu akan menggunakannya untuk hal yang lebih buruk.
"Ehem ehem..hehe… Apa itu?"
Liu Zilang terbatuk dua kali. Kemudian dia meregangkan tangannya dan tertawa gugup. "Aku sebenarnya sedang pemanasan, bersiap untuk olahraga, lihat kan? Hey, Xiaotong, sedang apa berdiri disitu? Cepat bawa temanmu masuk."
Dia menggeser tubuhnya saat berkata itu, perlahan menjauhi pintu.
Zhang Xiaotong melirik Liu Zilang sekilas lalu mendengus, kemudian ia mengajak perempuan berkacamata ke dalam rumahnya.
Saat berdiri di samping, Liu Zilang menatap nanar ke arah mereka pergi dan perlahan ayunan tangannya kian melambat.
Di atas kepala mereka, matahari bersinar dan langit tampak cerah. Namun, pada saat itu, hati Liu Zilang diselimuti kegelapan. Hujan dan basah memenuhi benaknya.
Menyedihkan! Benar-benar menyedihkan!'
Liu Zilang segera teringat pertama kali diperkenalkan dengan anak itu oleh ibu tirinya.
Berkepang dua, kikuk dengan mata bulat yang dalam terus-menerus bergerak melihat sekelilingnya
Ada rasa penasaran di matanya, dan juga kegalauan.
Liu Zilang awalnya berencana bermain dengan temannya hari itu, namun ia terpaksa tinggal di rumah untuk mengerjakan tugas dari ayahnya dan karenanya, ia merasa sangat jengkel.
Dia melirik ke arah pintu dengan tidak sabar saat terbuka perlahan. Beberapa saat kemudian, dia berhadapan dengan anak perempuan kecil yang terlihat panik.
Setelah anak kecil itu pulih dari kagetnya, ia mengambil biskuit berbentuk beruang dari tas ransel yang dibawanya. Walau terlihat sedikit enggan, dia memberikannya.
"Ka...kakak, ini ambil biskuitnya."
Bagaimana anak perempuan itu menyapa Liu Zilang dulu? Apakah dengan panggilan 'kakak'?
Murid yang imut itu sekarang tumbuh menjadi siswa SMP. Sikapnya pun mengalami perubahan 180 derajat.
'Ini sangat menyebalkan!'
Liu Zilang terdiam sejenak. Dia paham bahwa dia telah memilih untuk melupakan beberapa detail dari pertemuan pertama mereka.
Pada hari itu, dia tidak hanya menolak niat baik anak perempuan itu. Dia juga mendorongnya dengan paksa keluar dan membanting pintu di depannya.
Dia tidak tahu bahwa mata anak perempuan itu sempat merah selama setengah hari setelah terusir dari kamar dan mendapati pintu dibanting padanya.
Kalau saja dia tahu, Liu Zilang akan menyesali hari dimana dia memahami arti dari 'apa yang ia tanam, ia tuai'.
…
Saat Liu Zilang mengenang kenangan pahit itu, ponsel di kantongnya berdering sekali lagi.
Liu Zilang mengambil ponselnya dan menyadari ada panggilan dari teman sekamarnya di universitas yang belum lama ini berjumpa, Pu Taizhuang.
"Langzi, sibuk apa?" Segera terdengar aksen berat dari Timur Laut saat dia mengangkat panggilan itu.
"Tidak ada, hanya dirumah," Liu Zilang berkata sembari menendangi tembok.
Merasa dipermalukan oleh anak kecil itu, dia sekarang berpikir apa yang akan dilakukan selanjutnya.
Mendengar jawabannya, lawan bicaranya di telepon langsung berseru, "Serius?! Datang ke sekolah kalau begitu! Kamu kenal Aoxiang? Kita semua menunggumu!"
"Kenapa kalian menungguku?" Liu Zilang ragu-ragu bertanya.
"Untuk bermain game tentunya! Kita menemukan sebuah game seru yang dimainkan seluruh pengunjung warnet."
Setelah mengalami insiden di masa lalu, hasrat Liu Zilamg terhadap permainan telah berkurang. Oleh sebab itu, dia menolak ajakan mereka. "Tidak, aku tidak mau bermain LoL (red.: League of Legends). Terakhir kali aku bermain, kamu dan si brengsek itu, Mantou hampir membuatku terbunuh."
"Bukan! Ini bukan LoL!" Sahut seseorang karena Pu Taizhuang menyalakan mode pengeras suara.
Dia berbalik untuk menjawab orang itu kemudian segera berbalik ke ponsel dan terburu-buru berkata, "Cepat lah! Kita kekurangan satu pemain. Sampai jumpa."
Panggilan terputus sebelum Liu Zilang dapat bertanya game apa yang ia bicarakan. Karenanya, Liu Zilang hanya mampu menatap kosong ponselnya.
Jika dia masuk ke rumah sekarang, anak nakal itu pasti akan memperlakukannya dengan buruk.
Kalau tidak ada orang lain disekitarnya mungkin dia tidak akan peduli, tapi sekarang ada gadis didekatnya. Dia perlu melindungi citranya, dia tidak bisa membiarkan reputasinya dirusak.
Dia menghela nafas berat dan alih-alih memasuki rumah, dia pergi ke jalan dan menaiki taksi menuju ke sekolah.
...
Pintu kamar Zhang Xiaotong terbuka tidak lama setelah Liu Zilang meninggalkan rumah.
Dia mengambil dua botol jus dari kulkas di ruang tengah dan secara tidak sengaja melirik pintu kamar Liu Zilang yang setengah terbuka sebelum kembali ke kamarnya sendiri.
Dia berjalan beberapa langkah lalu berhenti. Telinganya awas mendengar setiap pergerakan yang datang dari kamar Liu Zilang.
Hening.
Ragu-ragu pada awalnya, Zhang Xiaotong menyerah dan berjinjit mendekati pintu kamar. Setelah ini, dengan perasaan bersalah, dia mengintip kamar Liu Zilang.
Kamar yang berantakan, dengan pakaian berserakan diatas tempat tidur yang juga tidak dirapikan.
Selain itu, tidak ada siapa-siapa disana.
"Hmph!"
Zhang Xiaotong mendengus pelan dan menggigit bibirnya.
Pada saat yang sama, seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
"Ahh!"
Zhang Xiaotong terkejut saat berbalik menemukan teman sekelasnya menatapnya.
"Apa yang kamu lakukan disini, Xiaotong?" Loli penasaran ikut melihat kedalam kamar yang sedang diintip Xiaotong.
"Ti...tidak ada." dengan gugup Zhang Xiaotong mengibaskan tangannya dan bertingkah seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dia menunjukan botol jus di tangannya dan berkata, "Aku membawa minuman untukmu. Ayo jangan disini, mari ke kamar. Kita harus menyelesaikan rekaman koreografinya dan segera mengunggahnya."
"O iya." Loli mengangguk. Kemudian dia berbalik dan bertanya,"O iya, Xiaotong, siapa laki-laki tadi? Kakakmu?"
"Bukan!" Zhang Xiaotong menjawab tanpa ragu.
Dia kemudian berbalik untuk melihat kamar Liu Zilang dan mengerutkan dahi. "Dia orang jahat. Tidak perlu membicarakan dia."
"Ah, baik!"
Di dalam taksi, Liu Zilang mengelus hidungnya.
'Apakah mereka sedang berserapah kepadaku?' Dia bertanya-tanya. 'Akankah ada yang mati nanti?'
Dia melihat jalan yang terbentang di depan taksinya. Lalu lintas selama Hari Libur Nasional memang padat, tapi pada saat itu masih bisa dilalui.
Setelah menyapa supir taksi, dia merebahkan diri di kursi belakang dan menutup matanya.
...
Liu Zilang terdaftar di Universitas Jianghai dan dia dapat dikatakan warga Jianghai asli. Tempat ia tinggal saat ini adalah properti yang dibeli ayahnya sebelum harga properti di daerah itu melonjak tinggi.
Karena rumahnya dekat dengan kampus, dan juga orangtuanya terus menerus sibuk dengan urusan bisnis di bagian lain Jianghai, dia tinggal sendiri bersama Zhang Xiaotong.
Setelah sebuah insiden tiga tahun lalu, Liu Zilang sebenarnya putus sekolah, bahkan setelah ia mendaftar ke Universitas Jianghai. Tak ayal, ayahnya marah besar, dan beruntungnya dengan koneksi yang dimiliki, dia mampu membuat Liu Zilang tetap terdaftar dengan alasan ketidakhadiran karena sedang 'jatuh sakit'.
Walaupun begitu, tidak ada yang seharusnya menilai Liu Zilang hanya berdasarkan penampilannya yang urakan.
Sebenarnya, dia dikenal sebagai 'anak ajaib' sewaktu di SMP.
Ada alasan untuk ini. Liu Zilang bukan hanya menjadi ranking pertama di sekolahnya, namun juga karena dia tiga tahun lebih muda dibanding teman-teman sekelasnya.
Meskipun dia tidak bisa dibandingkan dengan jenius sejati yang masuk ke Akademi Sains China di usia dua belas atau tiga belas tahun, fakta bahwa Liu Zilang diterima ke Universitas Jianghai di usia lima belas tahun masih menjadi bahan perbincangan di antara keluarga dan teman-temannya.
Ayah Liu Zilang, Liu Yigang, sangat bangga pada saat itu. Dia mengadakan jamuan dan memberi Liu Zilang kado berwarna merah yang tidak main-main.
Meskipun demikian, keesokan harinya saat dia bangun...
Liu Zilang pergi.
...
Liu Zilang membenamkan dirinya di dalam mobil dengan mata tertutup sembari mengingat masa lalu itu.
Taksi itu mengurangi kecepatannya setelah beberapa saat dan akhirnya berhenti di depan sebuah pintu warnet yang megah.
Liu Zilang membayar supir taksi dan membuka pintunya.
Ada tiga orang di beranda dengan tangan mereka saling merangkul satu sama lain. Mata mereka tampak menyala ketika melihat Liu Zilang sampai dan mereka segera menghampirinya dengan senyuman di wajah mereka.
...