.
.
.
"Gimana kerjaan baru kamu kak?"
"Ya gitu, bu," sahut Adit malas.
Adit baru saja duduk di salah satu kursi ruang tengah. Ia baru saja selesai berganti pakaian dengan mengambil kaos dan kemeja kebesarannya secara asal karena mengingat waktu yang sudah menunjukan pukul tujuh.
Beruntung baju yang ia punya cenderung berwarna gelap, jadi Adit tak perlu repot untuk memikirkan padu padan pakaian setiap harinya.
Kini ia sedang mengoleskan pelembab wajah saat ibunya bertanya lagi. "Kayaknya kamu betah."
"Ya, dibetah-betahin bu." Adit selesai mengulas wajahnya dengan bedak tabur bayi tipis ke wajahnya dan langsung memakai sepatu ketsnysa.
"Emang bos kamu nggak enak?" suara ibunya yang berbaur dengan kucuran air kran masih terdengar keras. Kontrakan yang di tempati Adit dan keluarganya memang tidak terlalu luas, jadi Adit masih bisa mendengar suara ibunya yang sedang mencuci peralatan masak yang barus saja dipakai untuk memasak.
Bola mata Adit berputar ke atas, bila mengingat sosok Refa. Entahlah, ia bingung mendeskripsikan enak tidaknya seorang Refa sebagai atasan kalau memangil namanya selama ia bekerja saja hanya hitungan jari Refa memanggil namanya. Refa lebih sering memanggilnya, 'eh, hei, itu.'
Atasan nggak sopan memang!
"Bukan nggak enak bu, tapi jutek banget ngelebihin cewek."
"Tapi si Ferdi betah tuh kerja sama dia."
Iyalah, namanya juga temennya, Adit menggerutu dalam hati.
"Adit berangkat, bu." pamitnya sambil berdiri lalu mencium tangan ibunya. Adit harus bergegas berangkat, Refa bisa ngoceh panjang lebar kalau sampai ia datang lebih dulu darinya.
Baru selangkah kakinya bergerak, langkah Adit tertahan dengan ucapan Ibunya. "Kamu nggak sarapan dulu?
"Udah siang bu, Adit berangkat ya."
***
Tidak terasa sudah hampir sebulan Adit bekerja dengan Refa. Refa akui Adit lebih dari ekspektasinya. Adit cukup cekatan dengan perintah dan permintaannya yang mendadak. Salah satu contohnya saat mengukur salah satu kliennya, Adit langsung sigap mencatat apa yang Refa ucap.
Refa ingat, di minggu pertama bekerja saja Adit sudah banyak tahu tentang kebiasaan Refa, mungkin Ferdi sebelumnya sudah memberitahukan banyak hal ke Adit. Adit juga cukup sabar dalam menghadapi ucapan ketusnya.
Saat bertemu dengan klien, biasanya Adit lebih banyak diam, dan sopan dalam bersikap, itu yang membuat Refa setidaknya nyaman dengan kehadiran Adit yang menemaninya bekerja.
Tinggal sebulan fashion week yang ia nantikan. Rasa was-was di minggu-minggu sibuk yang ia bayangkan jika bekerja sendirian sirna sedikit demi sedikit, karena terbantu dengan sosok Adit.
Refa baru saja memarkirkan mobil SUV-nya di depan butik, saat tak sengaja ia mengok ke arah kiri, ada motir matic merah yang terparkir di sana. Adit sudah datang berarti.
***
"Baju untuk nanti udah lo sortir dan double check?"
Adit mengganguk pelan, "udah."
"Yakin? Gue nggak mau ya, kalau ada apa-apa nanti."
"Saya sih udah ngecek," Adit berusaha sabar, menahan geram dengan suara yang terdengar datar. Terkadang hal-hal seperti ini yang membuat Adit kesal dengan Refa, ngeyel. "Tapi kalau bos Ref mau cek lagi ya lebih bagus."
Setelah mendengar jawaban Adit, Refa hanya meliriknya sekilas. "Model-model udah pada lo contact semua?"
"Sudah, mereka deal dengan harga dan jadwalnya." Kali ini Refa menatap Adit yang duduk di seberangnya agak lama, kemudian kembali melihat sketch book.
Tak lama setelah Refa datang ke butik, Refa mengajak Adit ke salah satu restoran di daerah kemang. Sesuai dengan tempat temu dengan klien mereka, yaitu istri salah satu pejabat kota yang meminta untuk dibuatkan gaun. Biasanya Refa tidak akan menerima request dulu jika menjelang fashion week seperti, tapi mengingat ia mengenal betul siapa kliennya, ia tidak bisa menolaknya.
"Besok saya jadwal kan mereka untuk fitting, sekalian informasikan ke mereka mengenai rundown acaranya."
Dalam diam Refa mengangguk pelan, tidak percaya dengan cara kerja Adit yang cepat.
Refa melihat jam tangan di peregelangan tangannya. Masih ada satu jam free untuk mereka. "Lo udah sarapan belum?" Refa bertanya sambil menggambar kembali, sesuatu di sketch book-nya.
Adit diam, tak langsung menjawab pertanyaan Refa. Kalau meminum segelas energen sudah dihitung sarapan, seharusnya ia cukup mengangguk. Tapi perutnya perih, lapar melanda. Biasanya ia tak seperti ini.
"S-sudah," jawabnya ragu.
Pandangan Refa kini mengarah pada Adit. Memperhatikan wanita berambut pendek seatas bahu yang duduk di depannya, sebelum kembali menatap sketch book-nya. "Pesenin nasi goreng seafood dua porsi. Kayaknya gue laper."
Lima belas menit setelah Adit memesan, pesanannya datang. Seperti biasa, Refa pasti akan mendiamkan nasi goreng di meja hingga dingin, barulah Refa makan, Adit hapal itu.
Refa memakan dengan lembut, sambil sesekali menatap ke arah Adit. Dilihatnya Adit yang fokus melihat layar handphone yang Refa berikan bergantian dengan catatannya.
Satu porsi nasi goreng sudah Refa habiskan, sementara Adit masih belum menyentuh sepiring nasi di depannya. "Kenapa bengong aja?"
"Hah?" Adit bertanya bingung. Kadang dalam keadaan lapar memang konsentrasi menjadi berkurang.
"Nasi gorengnya di makan." Refa melirik ke arah makanan di meja sebelum menatap wajah Adit yang terlihat bingung. "Lo pikir gue sanggup ngabisin dua porsi!"
Rasanya Adit tidak mendengar sama sekali perintah dari Refa kalau boleh memakan nasi goreng di depannya. Jadi ia hanya mencuri-curi pandang sepiring nasi goreng yang mengoda di depannya.
"Ini buat saya bos Ref?" tanyanya ragu.
"Buat kucing," seru Refa kesal. "Ya buat lo lah."
Adit langsung tersenyum. Refa yang melihat senyuman Adit menggeleng tak percaya melihat tingkah asistennya yang kadang ajaib.
***