Chereads / Embracing The Moon [Id] / Chapter 2 - Purnama Pertama

Chapter 2 - Purnama Pertama

Perbatasan Selatan Great Ming, Tahun Pemerintahan Ming Chao ke-195

Cahaya bulan entah kenapa lebih terang malam itu, menyinari keseluruhan hutan bahkan sampai ke sudut-sudut dimana akar kecil yang menonjol di tanah pun bisa terlihat. Di batu besar di tepi tebing tepatnya seorang gadis cantik sedang duduk dengan anggun, seluruh tubuhnya condong menghadap bulan.

Fiturnya cantik, kelopak matanya tertutup dengan kulit seputih salju dan wajah yang bisa menggulingkan suatu bangsa sangat terlihat jelas walaupun hanya dengan pantulan sinar bulan. Seluruhnya tidak ada yang aneh, kecuali warna rambutnya—putih dengan sedikit kilau perak yang tak wajar, ditambah kecantikan unik seperti perwujudan makhluk abadi.

Ya, memang.

Hu Jiuwei memang bukan manusia biasa. Dia adalah apa yang sering dikisahkan para ibu kepada anak-anak mereka sebelum tidur. Dia adalah apa yang para manusia sebut sebagai roh pelindung hutan. Suatu kemewahan yang dengan kemunculannya membuat makhluk lain tunduk dibawah pesonanya. Dan merupakan salah satu simbol nyata dari keabadian—Dia, sang siluman rubah.

Berbicara tentang manusia, makhluk fana itu sungguh menjijikkan. Selain licik, penuh ambisi dan serakah, isi kepala kecil nan rapuh mereka benar-benar mengagumkan. Percaya diri membualkan omong kosong tentang sesuatu tanpa tahu apa-apa. Roh hutan apa? Pelindung apa? Mereka pikir Yang Agung ini setara dengan makhluk kecil yang terbang kesana kemari seperti lalat, bertelinga runcing, yang bahkan menatap matanya saja tidak berani? Lelucon! Sangat naif, dan idiot.

Itulah kenapa Hu Jiuwei memandang rendah manusia.

Jiuwei masih tenggelam dalam lamunan ketika hidung mungilnya sekilas mendeteksi aroma yang paling ia benci. Bau darah. Jiuwei mengernyit seiring aroma terkutuk ini semakin kuat. Sial, dia sengaja memilih sudut terdalam hutan dan meninggalkan Heiyi di penginapan agar tak ada yang mengganggunya menyerap energi bulan penuh. Peri-peri kecil itu saja tak berani mendekat. Lantas siapa gerangan makhluk bodoh tak berotak ini?

Tak lama sebuah tubuh tegap penuh luka dari kepala sampai kaki seperti telah keluar dari kolam merah mendekat tertatih-tatih, menopang berat tubuhnya dengan batang demi batang pohon menuju tepi tebing tempat Jiuwei berada. Ia bisa mendengar pola napasnya yang berat dan jauh. Bau darah tercium kuat dari sosoknya, membuat kening Jiuwei mengernyit lebih dalam.

Manusia. Pria.

Mutiara Bulan yang bersinar di genggaman Jiuwei seketika hilang menjadi kilatan putih menuju pergelangan tangannya dan sebuah gelang giok lemak hampir transparan terbaring manis disana, kemudian berdiri di atas batu memandang ke bawah manusia yang terlihat menderita itu. Terpantul di mata hitamnya bayangan pria malang yang berada di ambang kematian begitu gigih berjalan ke arahnya entah apa maksudnya. Kemudian manusia itu jatuh tak berdaya di padang rumput tepat di depan Jiuwei dengan mata tertutup dan tangan mencengkram dada terlihat kesakitan.

Jiuwei berpikir ingin membantu mencapai kematian yang begitu mudah pun berjalan menghapirinya kemudian berjongkok tepat di hadapan tubuh itu. Mungkin merasa ada seseorang di dekatnya, kelopak itu perlahan terbuka memperlihatkan sepasang mata yang merah tercemar oleh darah. Ia memandang Jiuwei sepersekian detik kemudian bibirnya bergetar lirih. "Dewi"

Tangan Jiuwei membeku di udara. Manusia sekarat ini mengira Yang Agung ini sebagai...Dewi? Jika dia tau tujuannya adalah untuk membantu mengambil nyawanya dengan cepat, Jiuwei yakin manusia ini akan berteriak memanggilnya malaikat maut. Menarik. Jadi itulah kenapa manusia ini bukannya berlari menghindarinya malah datang terseok-seok antara hidup dan mati mendekat padanya.

"Apa aku akan...mati?"

Jiuwei diam menunggu pria itu melanjutkan kalimatnya.

"T-tapi...jika para pemberontak itu mencapai ibukota—" Ia berhenti mengambil napas berat "—aku tidak akan punya wajah...untuk bertemu ayah dan ibu." Matanya penuh keluhan terpejam kembali seolah ia tidak rela kematian mengambil nyawa kecilnya.

Oh, jadi pria ini salah satu prajurit perang. Memang saat ini sedang terjadi pemberontakan di selatan Great Ming. Dan ia dengar Great Ming mengutus jenderal besar mereka yang sekaligus adalah kerabat Kaisar karena musuh terlalu kuat. Entahlah, Jiuwei tidak perduli. Tapi jika Great Ming yang agung itu runtuh, perjalanan yang ia tempuh dengan menyebrangi laut selatan Heian menuju Great Ming selama hampir satu bulan akan sia-sia. Yang terburuk, ia tidak mau tinggal di negara yang sedang dalam kekacauan. Terlalu merepotkan.

Jadi dengan pertimbangan yang matang, Jiuwei memutuskan untuk menyembuhkan manusia di hadapannya ini dan memberikan berkah yang akan berguna untuknya—yaitu kekuatan. Bagi seorang siluman rubah hal ini adalah perkara mudah. Tentu hal ini juga akan menguntungkan baginya agar hari-hari baru di Great Ming akan damai.

Perlahan namun pasti Jiuwei menggigit ibu jarinya,dengan darahnya ia menuliskan karakter 'kehidupan' di telapak tangannya yang kemudian ia tekan di atas dada pria sekarat itu agar darahnya sendiri menyatu dengan luka—sedangkan ia membuka mulut pria itu dengan menekan ibu jarinya yang terluka hingga beberapa tetes darah memasuki rongga mulutnya. Seperti dahaga yang bertemu oasis, Jiuwei merasa ibu jarinya perlahan dihisap agar darahnya semakin banyak keluar.

Jiuwei terfokus dengan area dada yang ia tekan menunjukkan pemulihan kemudian merambat ke luka lain di sekujur tubuh mulai dari lengan yang menganga, kaki yang hancur, bahkan sayatan di wajah pria itu menutup dengan kecepatan yang bisa dilihat oleh mata telanjang. Hutan itu senyap, hanya suara tegukan rakus yang bisa didengar dan Jiuwei juga melihat jakun di leher manusia di bawahnya yang bergerak naik turun dengan liar.

Adegan itu hanya berlangsung selama waktu untuk membakar satu batang dupa namun wajah Jiuwei sudah mulai sedikit pucat. Ia sedikit menyesali tindakannya. Nafsu makan manusia ini benar-benar besar.

Setelah ia yakin luka di tubuh manusia ini sudah menutup sempurna, Jiuwei menarik ibu jarinya dari mulut pria itu kemudian berdiri. Menjilatnya kemudian luka gigitan itu hilang tanpa bekas seolah tidak pernah ada. Keseluruhan Jiuwei bersikap biasa seperti kejadian tadi hanyalah mimpi, menyisakan wajahnya yang pucat saja sebagai bukti.

Ia melirik acuh tubuh yang terbaring di rerumputan napasnya sangat teratur tidak seperti beberapa saat lalu seolah ia hanya tidur bukan seperti seseorang yang berada di ambang kematian. Jiuwei berbalik kemudian sosok putih itu hilang di telan rimbunnya pepohonan.

Tbc