Sudah beberapa hari ini Rafa pulang sangat larut. Mungkin akibat terlalu rindu dengan suasana Jakarta dan juga teman-temannya. Meskipun masih harus bekerja sejak pagi, Rafa tetap bisa menikmati malam di jakarta, minum dan menghabiskan malam dengan para perempuan cantik. Sangat menyenangkan.
Beberapa kali ketika ia pulang, ia selalu melihat Alana berada di ruang keluarga, menyalakan tv dengan laptop dan segelas kopi hangat. Entahlah apa yang gadis itu lakukan hingga masih terbangun di jam 2 pagi, pikirnya. Alana akan pindah ke kamarnya ketika melihatnya pulang dan beberapa kali kembali untuk mengambil camilan yang berbeda di kulkas tanpa ada pembicaraan apapun diantara mereka.
Rafa mengakui, bahwa jarak yang ada antara ia dan Alana adalah ulahnya. Sebisa mungkin Rafa menjaga jarak dari Alana. Bahkan berbicara pun sebaiknya tidak. Semua untuk kenyamanan dirinya sendiri.
Flashback on
"Rafa kamu tahu, kan? Adikmu itu tidak seperti anak perempuan kebanyakan."
Rafa merasa aneh dengan perkataan Papa nya. Mereka sedang menonton bola saat ini, tapi kenapa tiba-tiba membicarakan adiknya? Dengan wajah serius pula. Tidak biasanya.
"Siapa yang Papa maksud? Al? Atau Berlian?"
"Berlian punya kehidupan yang normal dan sempurna sebagai anak perempuan, Rafa. Dia disukai banyak orang, lembut dan cerdas." Ucap Papa masih dengan begitu serius.
"Maksud Papa Alana ga normal, jelek, urakan dan bodoh?" Tanya Rafa sambil tertawa puas.
Melihat Papa hanya tersenyum tipis, Rafa langsung berhenti tertawa. Dan merasa perkataannya sedikit kelewatan.
"Oke, Oke. Alana gadis yang pintar. Tapi ayolah, Pa. Poin pertama dan kedua.. hmm mungkin Al belom sadar kalau usianya udah mencapai usia gadis dewasa." Ucap Rafa sambil mengangguk-nganggukkan kepalanya setelah berfikir sebentar.
"Alana bukannya jelek, Rafa. Dia cuma terlalu sibuk sampai lupa merawat dirinya sendiri."
"Dia anak yang paling tidak suka diatur diantara kalian bertiga. Paling tertutup dan terlalu mandiri." Lanjut Papa setelah jeda yang cukup lama.
"Kalo itu aku juga setuju sih, Pa. Haha."
"Alana tidak berasal dari keluarga sembarangan, Rafa. Mama nya perempuan yang cerdas, sangat cantik dan baik hati. Suatu hari dia pasti akan jadi wanita cantik dan anggun."
Apa ini? Papa nya menceritakan Mama nya seakan orang lain. Apa jangan-jangan Papa nya pernah berselingkuh dan melahirkan Alana? Tiba-tiba saja pemikiran negatif memenuhi kepala Rafa.
"Papa percaya kamu bisa jadi pasangan yang bisa menjaga dia dengan baik."
w- what? Pembicaraan macam apa ini? Pikir Rafa.
"Pa, yang bener aja! Papa mau aku menikah sama Alana? Dia itu adikku, Pa!"
"Bagaimana kalau bukan?"
"Papa bercanda? Ga lucu, Pa"
"Kamu bisa liat dokumen kelahiran Alana. Di sana jelas tertulis nama orangtuanya. Kamu juga tau kalau Alana tidak ada di daftar ahli waris Papa, kan?"
"Pa-
"Itu karena dia lebih kaya dari kamu sejak lahir."
"Pikirkan itu baik-baik, Rafa"
Hening. Tidak ada balasan yang keluar sedikitpun dari Rafa. Ia sibuk mencerna semua perkataan Papa nya.
"Jangan jatuh cinta pada perempuan mana pun kecuali Alana. Ini menyangkut janji Papa dengan sahabat lama. Pertandingannya selesai, Liverpool unggul 2-0. Papa mau istirahat."
Rafa hanya bisa terbengong mendengar itu. Ia berusaha mencerna perkataan Papa nya baik-baik, dan merasa sedikit tertipu.
Flashback off.
Nyatanya, hingga hari ini Rafa tidak bisa mencintai Alana sedikit pun. Sejak Rafa melihat dokumen-dokumen itu dan mendapat konfirmasi dari Mama tentang kebenaran semua perkataan Papa, entah bagaimana Rafa kini melihat Alana sebagai wanita. Pada dasarnya Rafa adalah anak yang penurut dan jika saja, jika saja Alana secantik Berlian mungkin ia tidak akan ragu untuk menerima Alana. Namun katakanlah ia jahat karena setelah melihat Alana sebagai wanita, Rafa merasa Alana tidak pantas bersanding dengan dirinya.
Baginya, Alana adalah wanita aneh yang jelek dan berantakan. Pintar pun karena berusaha sangat keras. Sementara dirinya? Dirinya sempurna. Mendapatkan Alana sebagai wanitanya akan menyakiti ego nya. Karena itu Rafa sangat menentang perkataan Papanya. Bahkan Rafa mengatakannya dengan lantang ketika pertengkaran hebat mereka dua tahun lalu.
Satu hal yang ia dan mungkin juga keluarganya syukuri adalah Alana anak yang begitu sibuk dengan dunia nya, sehingga jarang berada di rumah dan tidak perlu mendengar kekejaman perkataannya waktu itu.
"Bang."