Chereads / help you kill you / Chapter 49 - murder (3)

Chapter 49 - murder (3)

Suara deras air shower terdengar didalam kamar mandi itu dibiarka menyala begitu saja. Alice menatap tubuh dan wajahnya di cermin besar itu dengan tatapan kosongnya. Mengamati bintik-bintik darah yang tersisa di wajahnya.

Aku berharap aku hanya bermimpi… kumohon ini hanya mimpi! Ya ini hanya mimpi dan saat aku membuka mata pasti semua akan kembali seperti semua. Alice membuka matanya dan tidak ada yang berubah. Dia melihat bajunya masih banyak noda darah dan tangannya berwarna merah pekat oleh darah. Bau amis darahpun merebak dimanapun dia menarik nafas.

Ini bukan mimpi…

Paman…

Dia mati…

"hahahaha… dia mati hahaha!" alice tertawa dengan ekspresi menakutkan seakan tidak percaya. Lambat laun tawa menyeramkan itu berubah menjadi tangis penyesalannya yang sangat parau hingga suaranya tidak bisa keluar. Alice merasakan hatinya sakit dan sedih,

"dia mati karna aku! Paman jo… maafkan aku! Semua karna aku!" meski paman jo telah menyakiti keluarga alice setahun yang lalu tidak terbersit paman jo akan mati semudah itu dan kenangan manis paman jo masih teringat di pikiran alice, bahkan dia serius dengan kata-katanya di kantor bahwa dia akan menyerahkan jo grup pada paman jo.

Alice mulai mengusap air matanya dan memandang tajam di cermin. Dia mulai melepaskan semua pakaian di tubuhnya dan membersihkan semua darah di tubuhnya dengan air shower yang mengalir. Dia menggosok tibuhnya dengan keras terutama wajah dan kedua tangannya yang berlumur darah paman jo.

"ini bukan darah…. ini hanya cat berwarna merah alice, ini bukan darah" suara alice menyakinkan dirinya yang masih ketakutan dan sesekali terlintas bagaimana peluru itu menembus kepala paman jo.

"aarrgg!" tubuh kurus alice mulai lemah, dia bersandar pada dinding shower itu.

Tangannya gemerataran karna dinginnya air dan kerasnya alice menggosok tubuhnya tadi.

Dilain tempat suara langkah kaki leon mulai mendekat menuju kamar mereka.

Aku rasa alice sedang mandi sekarang, gumam leon seraya duduk di kursi tunggal samping jendela kamar itu. Dia mulai menghidupkan tab kerjanya melihat kabar berita hari ini. Benar saja kematian paman jo menjadi topik panas malam ini.

Dddrrr… ddrrttt… getar smartphone leon terdengar menyala

Papa?

"halo pa" jawab leon

"apa kamu dibalik kematian direktur jo grup?" Tanya Jeremy khas dengan suara dalamnya yang menyeramkan bagi sebagian orang tapi tidak dengan leon. Dia masih tanpa ekspresi mendengar kalimat ayahnya itu.

"pa, bukankah aku sudah mengatakannya padamu untuk tidak ikut campur urusanku?" jawab leon dingin

"…." Jeremy hanya tersenyum pahit di balik telfonnya

"dan juga, kematian yang tidak sempurna seperti itu tentu saja bukan aku yang melakukannya, kau tau itu" sambung leon. Dia tau ayahnya ini hanya sekedar menggodanya.

"hahaha aku tau" jawab Jeremy

"sebenarnya ada apa papa menelfonku?" Tanya leon langsung pada intinya.

"kamu tahukan beberapa hari lagi lea akan kembali dari kuliahnya untuk liburan musim panas?"

"ya" jawab leon singkat

"bersiaplah…"

"aku tau" jawab leon singkat dan menutup panggilan itu.

Beberapa detik kemudian dean menelfon

"bos, aku sudah menemukannya"

"bagus, bawa dia ke tempat biasa"

"baik bos" dean mematikan panggilan telfonnya dan tersenyum senang seperti tidak terjadi sesuatu. Kaki kirinya menginjak tubuh seorang pria yang berlumuran darah tak berdaya.

"kalian dengar apa kata bos?"

"bawa dia" sambung dean memerintahkan segerombolan pemuda bertubuh kekar dan sebagian bermuka seram. Mereka mengangguk mendengar perintah dean serasa menyeret pemuda yang terkapar itu menuju tempat yang dimaksud kedua pria tampan itu.

Beberapa menit kemudian alice keluar dari kamar mandi dengan baju mandi putihnya, ruangan kamar itu kosong. Alice mendekati meja di dekat sofa kamarnya, ada selembar kertas dan juga susu hangat di sana.

"ada yang harus aku kerjakan, jika kamu sudah selesai mandi telfon aku dan jangan lupa minum susunya. Love u - leon" begitu tulisan di kertas itu. Alice sedikit tersenyum membacanya dan mengambil ponselnya untuk menelfon leon

"alice.." kata leon di balik panggilan

"iya, kamu kemana?" Tanya alice dengan suaranya sedikit sedih

"ada yang harus aku bereskan disini…"

Aarrghh.. terdengar suara raungan kesakitan di balik panggilan leon itu membuat alice bertanya-tanya

"suara apa itu?" Tanya alice

"bukan apa-apa, oya apa kamu sduah minum susunya?"

"iya sudah, trimakasih"

"gadis pintar… tidak usah menungguku, kamu istirahat saja duluan dan jangan pergi kemana-mana"

"iya"

"ingat jangan melakukan sesuatu yang tidak masuk akal alice, aku akan segera kembali" suara leon terdengar dingin namun sedikit cemas. Dia sadar gadisnya pasti memikirkan sesuatu hal yang buruk dan menyalahkan dirinya untuk apa yang terjadi siang ini. Ada perasaan menyesal leon meninggalkan alice sendirian di rumah.

"cepatlah pulang" alice merasa seperti dia beberapa hari lalu yang sendirian saat kehilangan satu persatu anggota keluarganya. Itu sangat menyakitkan bagi alice.

Panggilan telfon itupun berahir. Setelah mengenakan piyama tidurnya alice berjalan menuju ruang kerja leon. Mengidupkan sebuah computer apple imac milik leon dan mulai mencari semua tempat kursus melukis di kota itu.

-----

Dilain tempat. Didalam sebuah gudang tua yang kosong. Dean dan beberapa anak buahnya diam berjaga menunggu perintah dari leon. di hadapan leon terdapat kursi kayu dengan seorang lelaki duduk terikat berlumuran darah dan badan yang lemah.

"siapa yang menyuruhmu?" suara leon terdengar dingin dan dalam.

"uhuk.. uhuk.." lelaki itu terbatuk mengeluarkan darah dan hanya tersenyum

"masih tidak ingin mengatakannya?" leon menyeringai dan melirik dean. Mengerti isyarat bosnya, dean memerintahkan salah satu anak buahnya untuk memukuli pria di kursi itu lagi.

Aarrgghh… erangan kesakitan terdengar dari mulut pria itu.

"haha aku tidak akan mengatakannya meski aku mati"

"oh.. benarkah? Sayang sekali aku tidak berniat membuatmu mati begitu mudah saat ini" jawab leon dengan suara yang begitu mencekam bagai iblis tampan yang siap menyiksa pria itu perlahan-lahan.

Tubuh pria itu mulai gemetaran dan jauh di lubuk hatinya ketakutan mencekam terasa. Meski dia sudah banyak membunuh banyak orang dan juga menyiksa mereka sebagaimana dia siksa sekarang ini, namun rasanya sedikit berbeda.. aura pembunuh mengerikan dari pria tinggi dan tampan didepannya tidak bisa di tandingin oleh siapapun. Dia hanya sempat merasakan aura ini ketika bosnya marah dengan kejadian tahun lalu namun hanya sekilas. Sedangkan leon dia bisa merasakan aura itu selama leon berada di tempat ini.

"apa yang akan kamu lakukan padaku?!" Tanya pria itu gemetaran

"kamu akan tau sebentar lagi"

"bos ini yang kau minta" Kevin menyerahkan sebuah chip berbentuk kapsul kecil yang diminta leon. nafas Kevin sedikit terengah-engah karna baru saja tiba dan berlari kecil menghampiri leon.

"bos, kenapa tidak kita bunuh saja dia? Buat apa menyia-nyiakan benda berharga ini untuk orang tidak berguna ini?" Tanya dean

"hahaha" itu karna aku sudah berjanji pada alice untuk tidak membunuh orang-orang yang terlibat dalam masalahnya, dan pria ini seharusnya berterimakasih pada alice, jika tidak aku sudah memberikan kematian paling menyakitkan padanya

"benda seperti ini kita dapat membuatnya lebih banyak lagi, kamu tenang saja" jawab leon. mendengar itu dean hanya bisa diam menerima dan mulai memerintahkan orang-orangnya memegang kedua lengan pria itu erat. Salah satu memberikan dean pisau.

"biar aku sendiri yang melakukannya" kata leon sembari mengambil pisau itu dari dean.

"hei! Hei! Apa yang akan kalian lakukan?!" pria itu menjerit ketakutan

"bukankah kau sendiri yang bilang sampai matipun tidak akan memberi tau?"

"tapi tenang aku tidak akan membuatmu mati"

"tapi… membuatmu menginginkan kematian itu sendiri" sambung leon dengan suara yang selintas seperti suara desisan iblis.

"aaaarrrgghhhh!" pria itu berteriak mengaung kesakitan saat itu juga karna leon mulai menyayat tangan kanan pria itu dan memasukkan chip itu dengan paksa di sela dagingnya.

"sakit?" leon bertanya dengan senyum menyeringai

"aarrhh.." erangan pria itu memelan dan menyisakan air mata mengalir dari matanya. Darah segar mulai keluar dari sayatan itu.

"ups.. tapi aku belum selesai" kata leon lagi.

Dean kemudian memberikan benang dan jarum jahit yang biasa untuk menjahit luka saat operasi. Leon mulai menjahit sayatan itu perlahan-lahan membuat sensasi yang menyakitkan di setiap tarikan benangnya.

"aaaaaa!!!!!" teriak pria itu kesakitan

"bukankah aku begitu baik hati?"

"aarrgghh.. siapa sebenarnya kalian!" Tanya pria itu di sela nafasnya yang kesakitan. Hampir dia kehilangan kesadarannya.

"kami? Kamu tidak perlu tau siapa kami" raut wajah leon berubah mengeras dan dingin, mata coklat indahnya menggelap, rahangnya yang keras tanpa ada senyuman di wajahnya membuat leon menjadi iblis tampan yang sempurna.

"dan ingatlah ini, aku tak akan mengulanginya"

"chip yang kutanamkan di tanganmu berisikan racun. Bila racun itu mengenai tubuhmu atau kapsul itu pecah, maka beberapa detik kemudian kau akan merasakan kematian datang menjemputmu. Tenang saja racun itu tidak akan mudah membawamu ke neraka.. namun perlahan akan menyiksa tubuhmu dengan rasa sakit ribuan kali dari rasa sakitmu saat ini"

"chip itu hanya aku yang bisa mengendalikannya dengan sidik jariku, jika kau berniat mengeluarkannya atau ingin memotong tanganmu sekalipun dia secara otomatis sudah tersambung dengan jantungmu jadi dia berani melakukan hal itu maka jantungmu juga akan berhenti"

"cih.. kau pasti berbohong! Mana ada hal seperti itu" pria itu seolah meremehkan

"coba saja jika kamu tidak percaya.. karna aku juga butuh kelinci percobaan untuk membuktikannya" leon melirik Kevin. Kevin dengan senangnya tersenyum sambil mengangkat sedikit kacamatanya

"dari semua penemuanku selama ini, aku tidak pernah gagal bos" jawab Kevin penuh percaya diri

"kau dengar itu"

"cih.. sudah kukatakan aku tidak takut mati!"

"oh.. bagus… jadi kau tidak takut jika keluargamu hidup dengan kemalangan selama sisa hidup mereka karna kesalahanmu hahahaha"

Sial dari mana pria ini tau bahkan tentang keluargaku!

"siapa sebenarnya kalian!" teriaknya frustasi

"dengar!" aura leon semakin mencekam

"yang harus kau tau adalah… kau tidak pernah melihat kami dan jangan mencoba mencari tau. Katakan pada bosmu kau tidak melihat apa-apa dan lakukan pekerjaanmu seperti biasanya"

"ingat aku selalu mengawasimu" setelah leon mengatakan itu, dean memukul keras pria itu dan membuatnya pingsan.

"aku harus pulang kau urus sisanya" perintah leon sambil membersihkan tanganya dari darah pria itu.

"baik bos" jawab dean

"Kevin, aktifkan pelacak itu" perintah leon, sengaja leon tidak mengatakan bahwa chip itu berisi racun saja melainkan juga alat pelacak yang bisa melacaknya kapan saja. Dengan begitu leon dapat mengontrol pria itu dan menemukan lelaki dalang dari semua ini.

"baik bos"

------

"alice…" sesampainya di rumah leon langsung membuka pintu kamar dan mencari alice. Namun dia tidak menemukan alice di ranjangnya.

Kemana dia? Leon melihat pintu ruang kerjanya terbuka dan lampu menyala. Benar saja dia melihat alice yang tertidur di meja kerjanya dengan komputer masih menyala serta kertas berserakan berisikan alamat semua tempat les melukis di kota ini.

Leon tersenyum kecil. Kamu sudah berusaha dengan keras gumamnya mengelus rambut alice lembut. Leon menggendong alice perlahan memindahkannya dari kursi itu menuju kasur mereka.

"leon? kamu pulang" alice tersadar di gendongan leon. alice tanpa sadar mengerangkul leher pria itu dengan tangannya lemahnya dan mendekapkan wajahnya pada dada bidang pria itu.

"sepertinya kamu demam alice" kata leon. dia bisa merasakan hangat badan alice yang sedang merangkulnya

"em" jawab alice setengah tersadar dari tidurnya

"tunggu sebentar, aku akan mengambilkan obat" leon merebahkan alice di kasur dan pergi mengambil obat sirup demam di kotak p3knya.

"minumlah" alice meminumnya dengan sedikit lemah.

"sekarang istirahatlah"

"kamu mau kemana lagi?" Tanya alice

"hanya mengganti pakaianku, apa kamu takut aku pergi lagi?"

"iya"

"hahaha tenang saja… aku akan menyusulmu nanti"

Beberapa menit kemudian leon keluar dari kamar mandi denga piyama tidurnya dan berbaring di samping alice.

"dari mana saja kamu tadi?" Tanya alice pada leon yang merangkulnya lembut

"aku kira kamu sudah tidur, aku? Hanya sedikit urusan yang harus ku selesaikan"

"leon… jangan menyembunyikan sesuatu dariku, aku tau kamu pasti sedang berurusan dengan sesuatu yang tidak baik tadi" alice menduga itu karna mendengar teriakan seseorang saat sedang menelfon leon.

"baiklah baiklah… tadi aku menemui penembak itu"

"apa! Lalu?"

"dia tidak mau mengatakan yang sebenarnya"

"kamu tidak membunuhnya kan?!" alice semakin pusing dan cemas

"tentu tidak aku sudah berjanji padamu waktu itu"

"baguslah" alice merasa sedikit lega

"lalu?" tambahnya lagi

"aku hanya mengancamnya itu saja" jawab leon. namun tidak ada jawaban dari alice. Leon melihat alice ternyata sudah tidur terlelap mungkin karna efek obat yang tadi diminumnya dan kelelahan batin gadis itu.

"selamat tidur sayang" bisik leon seraya mencium kening gadis yang disayanginya.