Zara Naura. Nama lengkap seorang gadis yang tengah terduduk manis di atas kursi di pinggiran ruang kelas. Ia tengah mengaduk-aduk isi tas, untuk menemukan ponsel yang tengah berbunyi itu. Hingga akhirnya suara itu berhenti, dan jemarinya menggenggam benda berbentuk kotak itu.
Dengan cepat tangannya menekan satu tombol, untuk melakukan panggilan balik. "Hallo, Assalamualaikum.." ucapnya ketika tersengar sambungan telpon.
"Waalaikumussalam.. Zara, Zara. Kamu dimana, aku mau menceritakan sesuatu." ucap seseorang diseberang sana dengan nada yang begitu tergesa-gesa.
"Aku sebentar lagi mau ke taman wifi. Mau nugas di sana.. kita bertemu di sana aja ya?" Tanyanya yang lebih mirip dengan pernyataan. "Aku tutup ya, Assalamualaikum.."
***
Seorang gadis tergopoh-gopoh mendekati seseorang yang tengah serius dengan tugasnya. "Assalamualaikum Zara."
"Eh.. Waalaikumussalam Nifa." Gadis yang bernama Nifa itu mendongakkan kepalanya .
Zara menutup semua bukunya, lalu menyodorkan buku menu kepada Nifa. "Aku jus jambu saja, akhir-akhir ini pencernaaku kurang berjalan denga mulus." Ucapnya. Zara hanya mengangguk.
Setelah menuliskan pesanannya dan pesanan Nifa, ia mengangkat tangan sebagai petunjuk bahwa ia memanggil pegawai kantin di Taman ini. "Jadi apa yang mendesakmu kemari?" Tanyanya to the point, sambil menyodorkan lost menu itu.
Nifa menghembuskan nafasnya, "Kau selalu saja begitu, Ra." Ia membenarkan posisi duduknya, "Aku juga akan langsung ke intinya saja. Jadi beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan teman lamaku, dia bilang mau mencari pasangan hidupnya-"
"Jangan bilang, kau akan memberikanku sebagai ganti dirimu?" Telisiknya dengan suara yang was was. "Jangan kau sembarangan lagi, Fa. Kau harus ingat kejadian beberapa waktu lalu, aku masih bersyukur karena semua itu gagal."
"Tidak. Tidak. Zara, dengarkan aku dulu. Dia memang ingin menemukan pasangannya, aku tidak bermaksud untuk menjodohkanmu dengan dia. Akan tetapi dia yang memintanya sendiri untuk bertukar CV langsung." Jelasnya.
Pegawai kantin datang dengan pesanan mereka ditangannya, "Ternyata pria itu sudah mengenal kamu sejak lama. Tapi pria itu hanya menahan untuk menjemput takdirnya yang terbaik. Entah kapan, tapi sepertinya sudah lama. Dia telah yakin terhadapmu, akan tetapi ketika ia memutuskan untuk bertindak ia mengetahui kau masih terguncang dengan kejadian beberapa waktu lalu."
"Zara.. ia memberikanmu kesempatan untuk mengenali perasaanmu sendiri." Ucapnya tenang dan meyakinkan.
"Lalu, apa hubungannya denganku? Okay, dia memang yakin terhadapku. Tapi aku tidak tau dia siapa, dan aku tidak yakin terhadapnya." Balasnya.
Nifa hanya menahan dirinya untuk sabar dalam menghadapi Zara. Ia yakin, dia masih menyimpan trauma itu dalam lubuk hatinya dan memori terdalamnya. Ia benar-benar merasa bersalah terhadap sahabatnya itu, kegagalan pada waktu itupun ia ikut andil di dalamnya.
"Dengar Nifa, aku tak mau berurusan dengan CV itu lagi."
"Apa yang kamu bilang Zara?" Ucap Nifa marah. "Lalu kau mau ambil jalur apa untuk membina rumah tangga? Pacaran? Oh tidak bisa. Aku tidak akan membirkanmu melakukan hal tersebut. Kau mau aku dituntut atas kelakuan konyol mu itu?" Ucapnya setengah tertawa.
"Aku tidak akan berbaik hati lagi padamu sekarang. Mau sampai kapan kau terus seperti ini? Atau kau tidak akan pernah menikah sama sekali?" Tanyanya dengan nada yang dibuat setenang mungkin. Emosinya kini sudah naik. "Okay, itu memang semua salahku, yang tidak mendengarkan cerita masa lalu mu terlebih dahulu. Dan tidak melakukan seleksi ketat dulu pada laki-laki itu. Tapi, itu juga salahmu."
"Jika kau tidak tertutup padaku, jika kau menganggapku sahabat, aku akan tau semua itu. Dan aku tak mau membuat kesalahan untuk semakin menjauhkan dirimu dariku."
"Bisakah kau beri aku ruang sebentar untuk bernafas?" Tanya Zara dingin. Nifa hanya mengangguk.
Mereka menghabiskan waktu dengan mengunyah makanannya masing-masing dalam keheningan.