Chereads / Assalamualaikum Ustadz, Ana.. / Chapter 2 - Pernyataan

Chapter 2 - Pernyataan

Ada keraguan yang menyelimuti hatinya, Maira berusaha menghilangkannya tapi sulit sekali rasanya. sekarang adalah hari pernikahannya, tapi perasaan cintanya pada orang lain semakin membumbung tinggi. sebelum akad dilakukan, Maira diam-diam menghubungi Ustadz Galih dan memintanya bertemu di belakang rumah.

"Ustadz saya ..."

"Ada apa? Apakah kamu tidak bahagia dengan pernikahan ini?"

Maira tertunduk dalam. Pernikahan ini dia lakukan demi kedua orang tuanya. Ustadz Galih tersenyum tipis, ia tidak mengetahui sejak kapan muridnya mulai menyukainya dan bahkan kini, dialah alasan Maira menjadi bimbang dengan pernikahannya sendiri.

"Yakin dan serahkan urusan pada Allah Maira."

"Apakah ustadz menolak?"

Galih menghela nafas, "Maira, saya gurumu. Tidak berhak untuk memutuskan kehidupanmu. Dan lagipula, kita tidak ditakdirkan. Kamu akan menikah dengan orang lain dan percayalah Allah maha membolak-balikkan hati."

"Tapi saya tidak yakin ustadz."

"Lakukan tugasmu sebagai seorang istri sebagai mestinya. Walau pun pernikahan ini perjodohan yang mengikat kalian, berusaha lah mendapatkan cinta dan ridho suamimu Maira."

Maira menguatkan hatinya dan kembali ke kamarnya. Menunggu mempelai laki-laki datang dan mengucapkan akad. Saat suara pintu berderit, wanita itu mengangkat kepala dan melihat sesosok laki-laki asing masuk. Maira yakin dia adalah Muhammad Zamta, suaminya.

Zamta mengajaknya keluar untuk menandatangani surat nikah dan sesi foto bersama.

Resepsi dilakukan hingga jam 9 malam, dan setelahnya kedua mempelai istirahat di kamar Maira.

"Kita tidak perlu melakukan hal lain, pernikahan ini cuma sementara. Segera saya menemukan dia, saya akan menceraikanmu dengan baik-baik dan memberikan kompensasi." Zamta berujar sambil tiduran di kasur.

Maira menanggapinya dengan biasa. Karena hatinya belum jatuh pada sosok suaminya. Wanita itu tetap memakai jilbabnya dan ikut berbaring disebelah Zamta. "Oh ya, besok saya ada tugas keluar negeri. Saya akan keluar dalam sebulan. ini nomor saya dan kartu debit saya." Maira menerima pemberian laki-laki itu dan menyimpannya baik-baik. Setelah itu tidak ada pembicaraan lagi, mereka asyik dengan dunia sendiri dan terbuai ke dalam mimpi.

Keesokan harinya, Maira tidak dapat menemukan sosok Zamta disebelahnya. Ternyata benar, laki-laki pergi keluar kota menuntaskan tugasnya. Keluarganya pun sudah tahu perihal itu. Maira adalah orang terakhir yang Zamta beritahu tentang pekerjaannya. Maira sedikit merasa sakit hati mengetahui kenyataan itu.

Usai shalat subuh, Maira ke dapur membantu ibu dan saudaranya masak.

"Oh ya, uang ibu sudah habis untuk belanja baju seragamnya Dinda, kamu udah dapat uang dari suamimu kan?" Ibu memandang Maira sekilas sambil mengaduk sup di dalam dandang.

"Iya Bu, mas Zamta sudah kasih Maira kartu rekeningnya."

"Ibu mau pakai kartunya buat beli belanjaan bulan ini. Mana kartunya?"

Tanpa pikir panjang, Maira mengeluarkan kartu hitam dari saku bajunya. "Ini Bu." Ibu maupun saudara perempuannya. Zainab Henay. menatap Maira dengan terkejut.

"Ah biar aku Bu yang belanja hari ini." tawar Zainab tersenyum manis ke arah Ibu dan Maira.

"Jangan beli macam-macam Nab. Ibu sudah masukkan daftar belanja di keranjang." Tegur Ibu curiga dengan Zainab. Bagaimanapun Zainab bukan anak kandungnya. Ibu merasa cemas memikirkan hal yang akan terjadi.

Zainab menyalami tangan ibu dan Maira, seraya meraih keranjang dari dekat Maira, ia berbisik pelan, "Enak ya Ra bisa nikah sama orang kaya. Kalau aku jadi kamu, udah kuhabiskan duitnya." lalu tersenyum penuh arti. Maira melihat itu hanya terdiam. Dia tidak mengerti maksud dibalik ucapan saudara angkatnya.

Hari sudah siang, Zainab belum juga muncul di rumah sejak kepergiannya ke pasar membuat Maira dan ibu cemas.

Ayah melihat anak dan istrinya berjalan mondar-mandir di halaman rumah pun heran dan bertanya dengan lembut. "Kalian kenapa? siapa yang kalian tunggu? Menantu dan suamimu?" sambil melirik ibu dan Maira secara bergantian.

"Bukan ayah, Ibu dan Maira sedang nungguin Zainab. Dari jam 8 tadi sampai sekarang belum pulang."

"Iya ayah, Maira takut sesuatu terjadi pada Zainab."

Ayah menghela nafas panjang. "Sejak kapan ibu ngizinin Zainab ke pasar? Setiap kali dia pergi bawa uang, bukannya pulang dengan membawa hutang banyak?" tanya Ayah dengan hati-hati. Sepertinya ibu lupa.

"Ah ibu lupa Ayah." Benar. Ibu lupa. Ayah menepuk jidatnya dan menatap nanar kedua orang tersayangnya. "bagaimana ini Maira ... uang suami kamu. Aduh Zainab."

"Apa Ibu? Uang suami Maira? Nak Zamta?"

"Iya ayah."

Ayah beristighfar dengan lirih. "Ya Allah. Aduh bisa gawat ini." lalu Ayah masuk ke dalam rumah dan meraih handphone. Di telponnya sang menantu. Maira dan Ibu ikut masuk ke rumah dengan wajah panik.

"Assalamualaikum nak Zamta."

"Waalaikumussalam. Ya, ini siapa?"

"Ini ayah Rio, ayah Maira."

"Eh ayah, maaf Zamta tidak mengenal suara ayah. ada apa ayah?"

"Bisa kamu blokir kartu rekeningmu?"

"Kenapa ayah?"

"Maira kehilangan kartunya dan sepertinya adik Maira, Zainab memakainya untuk belanja di pasar. Ayah takut, uang kamu terkuras dengan banyak."

"Baik ayah, Zamta akan segera menyuruh pihak bank memindahkan isi kartu ke kartu baru."

"Alhamdulillah, terimakasih dan maaf nak menganggu."

"Tidak apa-apa ayah."

Setelah berbincang ringan dan mengakhiri telpon, mereka bertiga menghela nafas lega. "Lain kali jangan lupa lagi." tegur Ayah pada Ibu dan Maira.

***

Zamta menghubungi pihak sentral bank dan menanyai berapa jumlah uang yang keluar dari tabungannya. Memeriksa rincian laporan dari orang bawahannya sambil berdiri mengamati indahnya suasana kota Jogja di atas gedung berlantai tingkat. "Bagaimana? Apakah kamu mendapatkannya?"

"Ya pak, Nona Zainab sekarang berada di Mall. Tapi yang saya dapat dari orang-orang suruhan saya disana, nona sedang melakukan amal zakat. Belanjaannya telah siap di dalam jok mobil. Tidak ada yang mencurigainya. Apakah kartu anda harus diblokir segera?" tanya Imran, pegawai kepercayaannya dengan hati-hati.

Zamta tercenung. "Tidak perlu dan keluarlah."

"Terimakasih pak. Saya permisi."

"Hmm."

Beberapa detik kemudian, sebuah pesan dari orang asing masuk ke dalam telponnya. Zamta mengerutkan dahi. Siapa gerangan?

'Terimakasih telah percaya padaku, Zamta.'

Kerutan dahinya semakin dalam. Zamta berpikir keras. Kenapa bukan istrinya yang belanja dan memakai uang hasil kerjanya? Kenapa harus digantikan orang lain? Tunggu ... untuk apa dia mempermasalahkan hal sekecil itu. Terpenting dia membiayai wanita itu secara lahiriah.

Zamta menggelengkan kepala dan segera menyingkirkan pesan asing itu. Omong-omong, darimana adik iparnya mendapatkan nomor telponnya? Apakah itu kerjaan Maira?

Zamta menghela nafas panjang. Dihubunginya Imran lewat telpon. "Imran, kirimkan handphone dengan kartu baru. lalu salin nomor orang tuaku, mertua, Maira dan dia ke dalam kontaknya. Segera bawa itu kemari setelah selesai." Setelahnya, Zamta mengeluarkan kartu dari handphone lalu mematahkannya tanpa belas kasihan.