"Kita akan segera sampai di pelabuhan kota."
Semua orang harusnya berkumpul di dekat pelabuhan kota untuk naik kapal.
Para pahlawan lain sudah pergi duluan, menggunakan kereta yang disediakan kerajaan.
Aku bertanya-tanya kenapa mereka nggak menggunakan skill teleport yang mereka bualkan sebelumnya.
Filo menikmati perjalanan kereta yang pelan—dia menyukai perjalanan semacam itu, dan sudah lumayan lama kami nggak bepergian.
"Maaf, tuan Naofumi. Apakah kamu keberatan kalau kita mengambil jalan sedikit memutar?"
"Huh?"
Raphtalia mengindikasikan bahwa dia ingin mampir ke suatu tempat. Sangat jarang dia berbicara seperti itu. Tempat yang dia indikasikan gak terlalu jauh dari jalur kami.
"Tentu."
"Hore. Filo, bisakah kamu ikuti jalan kepedalaman saat jalannya bercabang?"
"Oke!"
Tak lama kemudian kami sampai di tempat yang dia minta. Itu adalah rentuhan sebuah desa.
Kami melewati puing-puing. Ada sumur yang tak diminum siapapun, bangunan-bangunan tanpa atap, dan dinding-dinding rumah yang terbakar. Sisa-sisa, reruntuhan bangunan berhamburan diseluruh tempat menandakan bahwa dulu pernah ada sebuah desa di sini.
Semuanya hancur dan membusuk, tapi mungkin masih belum terlalu lama. Tetap saja, itu nggak baru juga.
Aku melihat sekeliling dan mencoba mengira-ngira seberapa lama tempat ini ditinggalkan.
"...."
Kami terus melintasi reruntuhan ini, dan Raphtalia tetap diam sepanjang waktu.
Aku terus memeriksa apa yang tersisa, dan tak lama setelah itu aku melihat sebuah area yang dipenuhi dengan batu nisan.
Aku mendengar bahwa sebuah desa telah hancur saat gelombang pertama datang di Melromarc. Sepertinya ini adalah sisa-sisanya.
Lebih dari tiga bulan telah berlalu sejak aku sampai di dunia ini.
Aku mendengar apa yang telah terjadi sebelum para pahlawan dipanggil dan memperkirakan bahwa desa ini hancur sekitar empat bulan yang lalu.
Membayangkan bahwa ini adalah sebuah desa demi-human yang ramai empat bulan lalu membuatku sekali lagi sadar seberapa seriusnya ancaman gelombang itu.
"Mbakyu, sampai sejauh mana kau mau pergi?"
"Sampai ke tebing yang menghadap laut itu."
"Oke!"
Keretanya berderak saat melewati puing-puing jalan yang tak rata, dan aku menatap desa tempat Raphtalia dibesarkan dulu.
Kami sampai di tebing yang menghadap laut, dan Raphtalia turun dari kereta.
Di bibir tebing ada tumpukan batu. Lalu aku menyadari aku sedang menatap sebuah makam.
Dia berlutut disamping tumpukan batu itu dan mulai menggali tempat lain disampingnya. Aku nggak mengatakan apa-apa, tapi aku berlutut juga dan membantu dia menggali.
Aku gak tau apa yang dia lakukan.
Saat kami dalam pelarian, kami bertemu dengan bangsawan yang menculik dan menyiksa Raphtalia, dan ada mayat-mayat di ruang bawah tanahnya, mayat orang-orang dari desa Raphtalia.
Mungkin dia ingin melakukan pemakaman untuk mereka.
Dia mengambil beberapa tulang saat dia pergi. sekarang dia mengeluarkan tulang-tulang itu dari tas miliknya dan menaruhnya di tanah. Dia menimbunnya dengan tanah dan menepukkan tangannya berdoa.
Raphtalia mengatakan padaku bahwa tulang-tulang itu adalah sisa-sisa dari seorang anak, sahabatnya yang selalu ingin bertemu dengan Pahlawan Perisai.
Setidaknya anak itu bisa beristirahat disini sekarang, bukan di ruang bawah tanah yang lembab dan gelap itu.
Mungkin itu hanyalah sebuah contoh tentang kejamnya kehidupan.
Tapi meski demikian, aku berdoa semoga pemilik tulang-tulang ini bisa beristirahat dalam damai disini di bukit disamping laut.
....
Aku menyadarinya lagi—apa aku lupa? Aku menyadari bahwa Raphtalia telah kehilangan keluarganya empat bulan yang lalu.
Dia kuat. Mungkin lebih kuat daripada yang kusadari.
Dia kehilangan keluarganya, tapi dia bertahan. Dia memberitahuku bahwa dia mengalami masa-masa yang sangat berat sebelum dia bertemu aku.
Ketika aku akhirnya pergi dan kembali ke dunia asalku. Apa yang akan dilakukan Raphtalia?
Filo punya Melty, tapi Raphtalia gak punya siapa-siapa.
Terkadang dia menanyai aku kenapa aku ingin kembali ke dunia asalku. Mungkin dia mengkhawatirkan hal yang sama—tentang apa yang akan terjadi saat semua ini berakhir. Mungkin dia takut bahwa aku akan meninggalkan dia sendiri.
"Aku....."
Suara Raphtalia sangat pelan. Itu hampir seperti bisikan. Aku mendengarkannya dalam diam.
"Aku... Aku akan hidup untuk mereka semua. Aku ingin menyelamatkan semua orang dari kemalangan akibat gelombang. Datang kesini sekarang, aku merasa lebih kuat lagi daripada aku yang sebelumnya."
"Aku tau. Dan sekarang kita punya dukungan negeri. Kita bisa menyelamatkan lebih banyak orang sekarang."
Orang-orang menolak bekerja sama denganku karena aku adalah Pahlawan Perisai, dan karena itulah, lebih banyak orang telah tewas.
Tapi sekarang aku punya dukungan. Sekarang kami bisa melawan gelombang bersama-sama. Aku berharap untuk menyelamatkan lebih banyak orang daripada yang kami mampu sebelumnya.
"Aku minta maaf atas semua masalahnya."
"Hentikan itu. Hal terpentingnya adalah... yah... ayo berangkat."
"Kamu benar. Aku pergi! Ayah... Ibu... Rifana..."
Raphtalia melambaikan tangannya pada makam itu dan naik ke kereta.
Saat gelombang berikutnya berakhir, aku harus lebih memikirkan tentang Raphtalia.
Itu adalah tanggungjawabku untuk memastikan kebahagiaannya.
Gimana dengan desanya dan semua hal yang telah hilang dari dia? Apakah ada cara untuk mengembalikan semua itu?
Saat kami mengalahkan bangsawan yang telah menyiksa dia, Raphtalia berkata, "Aku akan mendapatkan kembali bendera yang kulihat hari itu. Aku akan mendapatkannya kembali."
Aku gak bisa menghidupkan orang yang sudah mati— tapi pasti ada orang yang selamat.
Kami menemukan seorang anak yang masih hidup di ruang bawah tanah bangsawan itu. Aku yakin namanya Keel.
Bisakah aku mengumpulkan orang-orang yang selamat dan menemukan sebuah tempat bagi mereka untuk memulai kembali?
Ya, aku menyakinkan diri. Saat aku punya peluang untuk melakukannya, aku akan mencari mereka. Aku harus melakukannya demi Raphtalia.
Kalau tidak, aku gak yakin aku bisa memaafkan diriku sendiri.
* * * * *
Rencananya adalah semua pahlawan bertemu di pelabuhan kota dan menaiki kapal yang sama. Sudah pasti, keberangkatan kapalnya sudah dijadwalkan, jadi meskipun para pahlawan sudah pergi duluan sebelum kami, itu gak akan membuat mereka sampai di kepulauan itu lebih cepat. Saat kami sampai, mereka semua tampak jengkel karena menunggu.
Setelah apa yang kami lalui dan semua yang kami diskusikan, kenapa mereka masih saja bersaing untuk menjadi yang terbaik? Mereka ini memang sekumpulan orang idiot.
Masih ada waktu sebelum waktu keberangkatan kapal yang dijadwalkan. Semuanya berbaris di dinding laut, menunggu untuk menaiki kapal.
Pria yang ada diantrian didepanku tampaknya memiliki banyak sekali waktu luang. Dia gelisah, seperti dia gak tau apa yang harus dilakukan.
"L'Arc, bisa tenang sedikit gak sih?"
"Aku tau, aku tau! Tapi mau gimana lagi. Kapal-kapal membuatku begitu bersemangat."
Haaaa. Pria ini terdengar kayak anak kecil.
Sepertinya mendengar aku menghela nafas, dia berbalik dan menghadap aku.
"Ada apa, bocah?"
"Bocah?"
Aku ini 20 tahun. Aku gak suka dipanggil bocah.
Aku mengamati dia. Rambutnya dipotong pendek dan berdiri bergaya seperti paku.
Dia pasti membuatnya berdiri menggunakan semacam bando. Atau mungkin memang rambutnya seperti itu secara alami?
Harusnya kau jangan berbicara pada orang dengan gaya rambut kayak gitu. Mungkin itu normal di dunia ini—tapi itu gak wajar di duniaku.
Dia cukup tampan. Para cewek kemungkinan menyukai dia.
Matanya menunjukkan kepercayaan diri. Dia tampak seperti seseorang yang bisa kau andalkan.
Otot-ototnya menonjol dari tubuhnya, jelas-jelas dibentuk melalui pertempuran. Bahunya lebar. Aku yakin dia berpengalaman dalam pertarungan.
Sangat sulit untuk memperkirakan umurnya. Kalau aku harus menebak, aku akan mengatakan dia mungkin di akhir 20'an.
Dia memancarkan kesan seorang petualang keren dan berpengalaman. Karena suatu alasan, sebuah sabit besar menggantung di pinggangnya.
"Aku bukan bocah. Aku 20 tahun."
"Oh, maafkan aku kalau begitu. Aku gak bermaksud apa-apa. Tadi cuma asal nyeplos saja saat aku bertemu dengan orang yang lebih muda dariku."
Aku menatap cewek yang menyuruh dia untuk tenang. Sepertinya aku bisa mengasumsikan mereka bepergian bersama.
Hal pertama yang kau perhatikan dari cewek itu adalah kulit putihnya yang cantik—yang seperti gading.
Rambutnya aneh—warnanya hijau kebiruan dan berkilauan saat terpapar cahaya. Tapi rambutnya Raphtalia juga begitu.
Rambutnya dikepang tebal, dan disampirkan secara anggun pada pundaknya.
Matanya membuat dia tampak lembut, tapi kau bisa paham kalau dia memiliki sisi kaki yang gak bisa diajak kompromi. Lagi, sesuatu tentang dia mengingatkan aku pada Raphtalia.
Dia memakai gelang besar di kedua tangannya, kedua gelang itu berhiaskan permata besar, dan sebuah Template:Fuigana di keningnya.
Dia mungkin salah satu cewek paling cantik yang pernah kutemui.
Permata yang berkilauan membuat dia terlihat lebih cantik. Itu seperti dia berkilauan—sebuah permata dari seorang wanita.
Ada satu kesan lain yang mengingatkan aku pada Raphtalia. Dia terlihat... serius.
"L'Arc, tenanglah. Nggak bisakah kau melihat kau mengganggu orang lain?"
"Maaf, maaf."
"Aku nggak marah. Sepertinya sudah hampir waktunya berlayar."
Aku menunjuk kapal, dan memang, para antrian bergegas maju saat pelanggan pertama menginjakkan kaki mereka pada tangga naik.
Di barisan paling depan, terlihat sangat sombong dan berbangga diri, adalah Ren, Itsuki dan Motoyasu. Jadi mereka menunggu lama cuma untuk itu. Dasar orang-orang menyedihkan.
"Hei!"
Barisannya mulai bergerak sekarang, sehingga pria yang ada didepanku akhirnya mulai berjalan.
"Master!"
Kenapa Filo sudah ada diatas kapal dan melambai padaku?
Filo seharusnya menunggu keretanya dimasukkan, tapi dia sudah ada ditangga kapal.
Kami berhasil mendapatkan ijin khusus untuk mengangkut kereta meskipun kami nggak menggunakannya di Cal Mira.
Aku melambai pada dia, dan Raphtalia serta aku naik ke kapal.
Aku memutuskan untuk datang ke ruangan kami terlebih dahulu. Semua pahlawan seharusnya punya ruangan yang disiapkan untuk mereka dan party mereka, tapi karena suatu alasan, ruanganku campur dengan para penumpang biasa yang lainnya.
Sekelompok ABK mendatangi kami.
"Kami minta maaf atas ketidaknyamanannya!"
Apa mereka pikir mereka akan dipecat kalau aku marah sama mereka? Takut aku akan memenggal kepala mereka?
"Para Pahlawan yang naik sebelumnya telah mengambil semua kamar yang disediakan, dan mereka bahkan memgambil ruangan kapten. Kami mencoba berbuat sesuatu tapi sepertinya semua ruangan telah penuh, dan...."
Para pahlawan yang naik duluan? Beneran nih? Mereka mengambil ruangan kapten? Mereka pikir mereka itu siapa?
Yah, kurasa mereka memang memiliki party yang besar. Mereka mungkin memisahkan ruangan pria dan wanita.
Aku juga membuat sebuah permintaan aneh—meminta mereka membawa kereta baru milik Filo. Gak ada gunanya mengeluh saat ini.
Tetap saja, akan aku pastikan Ratu mendengar tentang ini nanti.
"Kami telah memberi kompensasi para penumpang lain karena melanggar perjanjian kami dengan mereka dan menurunkan mereka dari kapal untuk memberi ruang untuk anda. Mohon tunggu sebentar lagi."
"Sungguh? Berapa biaya yang dibayar para petualang biasa untuk pergi ke Cal Mira di saat seperti ini?"
Aku menanyai staff tentang harga tiket rata-ratanya.
"Ya. Yah biasanya cukup mahal. Tapi kali ini negeri telah menitahkan perjalanan dan mencetak tiket, jadi tiketnya dijual langsung dengan harga yang lebih murah dari biasanya. Tetap saja, tiketnya terjual habis."
Sepertinya negeri terkadang menguasai kepulauan itu untuk leveling para abdi negeri—tentara, para petualang setia, dan sebagainya. Itu memungkinkan bagi orang-orang untuk menyelinap ke kepulauan itu, tapi perairannya biasanya terlalu berbahaya untuk perahu-perahu kecil.
Itu seperti mencoba mendapatkan tiket ke konser bintang pop.
Kerajaan menanggung biaya perjalananku kesana, yang mana artinya.... tunggu sebentar—apakah kepulauan itu bagian dari Melromarc?
Aku merasa gak enak sama para petualang yang diusir dari kapal, dan hanya dikompensasi dengan biaya pembatalan kontrak yang kecil.
"Kalian gak perlu melakukan itu. Kalau aku bisa dapat tempat untuk istirahat, kami gak masalah berbagi tempat."
Aku mempertimbangkan bertanya apakah ada ruang lebih di ruangan yang diambil oleh para pahlawan, tapi aku harus memikirkan tentang Raphtalia dan Filo juga—mereka mungkin nggak mau bersama dengan yang lainnya.
Aku gak bisa melupakan bahwa kami semua bertikai adu cek-cok saat kami mencoba melakukan perbincangan sederhana di istana.
Anggota party Ren mungkin gak terlalu buruk. Tapi jumlah mereka cukup banyak, jadi aku yakin mereka gak punya ruang lebih.
Mungkin ada ruang di ruangan Itsuki atau Motoyasu, tapi kemungkinan akan ada masalah kalau kami bersama mereka.
"Bodyguard" Itsuki pernah memulai perkelahian dengan Raphtalia, Motoyasu bersama Lonte.
Percuma saja—aku harus menyerah. Sehingga kami menerima sebuah ruangan normal di lambung kapal.
"Bukan tanda yang bagus, kan?"
"Memang benar."
Kami selesai bicara dengan para staff, dan kami dipandu ke ruangan kami. Kami berdiri diluar, berhenti sejenak, dan membuka pintunya, lalu....
"Oh hei, bocah!"
Aku segera menutup pintunya lagi. Itu adalah bocah raksasa yang sebelumnya.
"Raphtalia, aku minta maaf, tapi bisakah kamu pergi menanyai staff apakah kita masih bisa ganti ruangan."
"Kenapa? Apa masalahnya?"
"Hei, bocah—ada apa?"
Pria itu membuka pintunya dari dalam dan mengeluarkan kepalanya.
"Sudah ku bilang jangan panggil aku "bocah". Usiaku gak jauh darimu."
"Kurasa kau benar. Terus, ada apa?"
"Gak ada. Sepertinya kita harus berbagi ruangan."
"Benarkah? Yah kalau kita akan berbagi ruangan, kita mungkin bisa jadi teman! Masuklah! Jangan berdiri di lorong terus."
Dia mengeluarkan senyum hangat dan menyuruh kami masuk.
Sesuatu tentang dia membuatku jengkel. Dia seperti si pemilik toko senjata—kupikir aku mungkin akan gila menghadapi dia.
"Ijinkan aku memperkenalkan diriku terlebih dulu. Namaku L'Arc Berg—panggil aku L'Arc."
"Salam kenal. Namaku...."
"Aku seorang petualang. Dan dia adalah Therese."
Ampun deh.... Dia berbicara menyela aku. Sudah pasti kami berbagi ruangan dengan orang yang amat sangat menjengkelkan.
"Salam kenal. Namaku Therese Alexanderite."
"Namaku Raphtalia."
"Dan aku Filo!"
"Senang bertemu kalian!"
"Um, maaf, tapi apa Therese dari negeri lain? Aku agak kesulitan memahami dia."
"Huh? Oh... ya. Therese?"
L'Arc memanggil Therese agar mendekat.
Dia mengulurkan tangannya dan menyentuh sabit yang menggantung di pinggang L'Arc dengan ujung jarinya. Tiba-tiba, sebuah bola sihir mengambang.
"Bisakah kau memahami aku sekarang?"
"Oh, ya. Aku bisa memahamimu sekarang."
"Tee-hee. Aku minta maaf karena kelupaan. Aku akan menggunakan sihir untuk membuat diriku dipahami, jadi harap dimaklumi."
Wow... Aku gak tau ada sihir semacam itu.
Tapi sebenarnya, kurasa perisai telah melakukan hal yang sama untukku sejak aku datang kesini. Gak seorangpun yang memiliki sebuah senjata legendaris, kan?
Aku menyadari bahwa aku adalah satu-satunya yang belum memperkenalkan diri.
Ruangannya diatur dengan tiga ranjang, tersusun secara vertikal sebagai ranjang susun, di kedua sisi ruangan—itu adalah sebuah pengaturan yang akan memungkinkan 6 orang berbagi satu ruangan.
Raphtalia, Filo dan aku akan menggunakan satu sisi ruangan. Mereka berdua menggunakan sisi ruangan yang satunya, tapi itu akan menyisakan satu tempat tidur yang masih kosong.
Staff sudah memberi pertimbangan yang cukup untuk tidak mengisi tempat tidur terakhir, jadi kami berlima berbagi ruangan ini.
"Huh? Sepertinya kapalnya sudah berlayar."
Dengan goyangan kapal menjauh dari dermaga, aku merasa kemarahanku mereda. Goyangannya semakin terasa, dan akhirnya pemandangan yang terlihat melalui jendela ruangan mulai bergerak.
Dengan demikian perjalanan kami yang penuh kekhawatiran dan kecemasan dimulai. Mungkin cuma bayanganku saja.
"Jadi, bocah, siapa namamu?"
Kalau nggak aku kasi tau, aku pasti akan di panggil "bocah" terus sepanjang perjalanan.
Kalau Ren, Itsuki, atau Motoyasu mendengar panggilan baruku, gak ada yang tau apa yang akan mereka lakukan dengan itu. Aku menganggap itu gak layak membiarkan kemungkinan itu.
"Namaku Naofumi."
"Naofumi?"
Aku mengangguk, dan L'Arc mengeluarkan tawa keras.
"Hahaha! Apa yang kau katakan? Itu adalah namanya Pahlawan Perisai. Kalau kau mau pakai nama samaran, kau mungkin harus menggunakan yang lebih baik lagi."
"Akulah Pahlawan Perisai."
"Kurasa bukan. Pahlawan Perisai bukanlah seorang bocah."
"Maaf?"
"Dengar. Pahlawan Perisai itu adalah seorang cheater. Dia mencuri dari saku-saku orang yang dia kalahkan. Dia bukan orang baik."
Kurasa aku gak bisa menyebut dia seorang pembohong.
Saat Glass mengalahkan Lonte, aku meraih sakunya dan mengambil beberapa Magic Water dan Soul-Healing Water.
Meski begitu, orang macam apa yang akan membicarakan tentang seseorang yang baru saja ditemui? Manusia bisa melakukan hal terburuk dengan sebuah senyuman.
Itu gila. Sama seperti Lonte!
"Mahluk tak bermoral seperti itu gak mungkin orang baik—kan?"
"Orang-orang sering mengatakan aku gak kelihatan seperti orang baik."
"Sudah hentikan. Kau gak buruk-buruk amat, bocah. Kau punya sopan santun."
Kami terus bericara muter-muter, dan pada akhirnya Raphtalia cuma bisa memegang kepalanya dan mulai mengerang.
Terserahlah— kurasa kalau kau berpandangan demikian, aku mungkin bukanlah orang yang bermoral dimata orang luar.
"Aku bahkan nggak tau harus berkata apa..." gumam Raphtalia.
"Begitulah pendapatku! Bocah ini gak kelihatan seperti orang yang mencurigakan bagiku."
Kurasa dia gak akan percaya padaku.
Tapi tetap saja, aku gak tahan dipanggil bocah.
"Baiklah, gimana dengan ini...."
Aku mengangkat perisaiku dan mengubahnya ke bentuk yang berbeda, satu per satu, didepan dia.
"Apa itu meyakinkanmu kalau aku Pahlawan Perisai?"
"Nggak juga. Kau tau, aku baru memburu seorang Pahlawan Perisai palsu beberapa saat yang lalu, dan dia melakukan hal yang sama sepanjang waktu."
"Apa?"
"Sebelumnya kami direpotkan oleh sekelompok Pahlawan Perisai palsu. Mereka muncul disana-sini. Memburu dan menangkap mereka pada dasarnya merupakan sebuah pekerjaan utama. Bocah—sejujurnya kau memang agak mirip dengan posternya. Meski poster-poster itu sudah gak ada lagi. Kusarankan kau berhenti berbohong sebelum seseorang melemparmu dari kapal."
Orang-orang menyamar menjadi Pahlawan Perisai? Itu benar, anggota dari gereja telah mengklaim sebagai Pahlawan Perisai saat mereka melakukan tindakan kejahatan. Itu merupakan upaya untuk menghancurkan reputasiku.
Sementara itu, aku berpura-pura menjadi orang suci yang didampingi dewa burung dan meninggalkan kota istana seraya aku bepergian ke desa-desa menjual barang-barang. Jadi aku bisa menjauh dari cengkraman gereja untuk beberapa saat.
Kalau kupikirkan lagi, high priest menggunakan sebuah replika dari senjata legendaris. Itu sangat kuat, tapi apa yang paling mencolok bagiku adalah bahwa replika itu bisa berubah bentuk sama seperti perisaiku. Sehingga, setidaknya, itu pasti memungkinkan bagi mereka untuk menduplikasi penampilan sebuah senjata legendaris.
Sialan. Kalau perisaiku gak bisa meyakinkan dia atas keaslianku, maka aku gak punya ide lain lagi.
Aku pikir dia akan mempercayai aku hanya karena aku terlihat seperti gambar di poster—tapi sepertinya dia meragukan aku.
Tentu, wajah jepang memang relatif langka disini, tapi kau melihat orang-orang seperti itu dari waktu ke waktu. Kenapa bisa begitu?
Para pahlawan dipanggil kesini sebelumnya—nyatanya mereka di panggil secara periodik. Beberapa dari mereka pasti telah meninggalkan keturunan. Maka itu akan menjelaskan hal itu?
Kalau ada orang lain diluar sana yang menyamar menjadi Pahlawan Perisai—dan kalau mereka terlihat mereka seperti orang jepang juga— terus gimana caranya aku membuktikan diriku?
Mungkin aku bisa meminta sebuah gambaran resmi dari ratu. Kurasa Filo akan cukup untuk membuktikan keraguan di luar sana.
Raphtalia juga... Masyarakat mungkin telah mendengar tentang demi-human tipe rakun yang cantik yang bersama Pahlawan Perisai.
Aku gak bisa menjelaskan kenapa, tapi aku merasa seperti dia gak akan mempercayai aku meskipun aku menunjukkan wujud monster Filo pada dia. Kalau dia sudah melihat poster buronan, dan kalau dia melihat bola kristal yang memuat video tentang aku didalamnya, dan dia masih gak mempercayai aku maka dia itu mungkin orang idiot.
Aku belajar membaca orang saat aku adalah seorang pedagang, dan intusisi itu memberitahuku bahwa orang ini cuma agak lambat memahami. Jadi aku menyerah.
"Baiklah. Aku gak peduli. Panggil aku sesukamu."
"Masa bodo ya, bocah?"
"Apapun yang aku lakukan atau kukatakan gak berubah pikiranmu. Jadi aku menyerah."
"Tuan Naofumi, hati-hati dengan perkataanmu."
"Tidak makasih. Aku gak punya tenaga."
"Oke, yah—baik. Senang bertemu denganmu, Bocah Perisai."
Apapun itu, kami cuma perlu menghibur bajingan ini selama perjalanan—tidaklah penting membenarkan dia.
Dengan begitu kami berbagi ruangan dengan petualang gak diketahui, seraya kapal kami perlahan menuju ke kepulauan Cal Mira.
****