September 2018
Sena POV
Aku menatap langit yang mulai kelam saat aku keluar dari toko roti yang sudah jadi tempat aku bekerja selama 4 tahun ini.
'sepertinya mau hujan?' bathinku. Aku merogoh tas dan mencari smartphoneku dan menelfon bunda, karna sedari tadi aku belum melihat mobil bunda dimanapun.
"Hallo assalamualaikum bunda. Bunda dimana?" ucapku saat telfon diseberang sana sudah diangkat.
"Walaikumsalam sayang, bunda udah deket kok. Cuma kejebak macet aja. Kamu tunggu di halte aja ya. Takutnya kamu kehujanan,"ucap bunda.
"Yaudah, aku tunggu dihalte ya nda. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," ucap bunda lalu menutup telfon.
Aku mulai menelusuri jalan kehalte. Dan menatap jalanan sekitar yang mulai padat, karna ini memang jam pulang kerja.
Hujan mulai berjatuhan, membasahi bumi. Orang-orang mulai berlarian mencari tempat berteduh, tapi tidak untukku. Aku menikmati hujan yang berjatuhan ke badanku, seakan hujan mengajakku menangis bersama. Hujan mengingatkanku dengan rasa sakit yang teramat dalam. Orang-orang menatapku aneh, karna aku masih menelusuri jalan ke halte dengan badan yang mulai basah kuyup. Aku menatap langit, lalu menghela nafas. Membiarkan hujan membasahi wajahku sebentar. Lalu memulai perjalanan lagi ke halte.
Sesampainya di halte, aku duduk di ujung halte. Entah kenapa halte kali ini tidak begitu ramai. Aku menatap sekitar, dan pandangan ku jatuh pada cafe yang berada di seberang jalan. Aku tau cafe itu, karna aku juga sering kesana. Pandangan ku berhenti pada sebuah keluarga yang sedang tertawa renyah sambil menikmati makanan mereka. Ada ibu, ayah, dan 2 anaknya. Hatiku mulai teriris mengingat hal itu pernah aku rasakan. Air mata mulai berjatuhan, rasa sesak mulai memenuhi rongga dadaku. Rasa sakit mulai mengerayangi hatiku. Aku rindu mami, papi, dan kak Rafa. Lagi-lagi pengandaian mulai terjadi di otakku.
Seandainya 4 tahun yang lalu, aku tidak datang ke pesta itu. Tidak meminum minuman haram itu. Mungkin aku juga tidak akan berakhir bangun di kamar hotel. Dan mengetahui kalau keperawananku sudah direnggut oleh lelaki yang tidak aku tau wajah atau siapapun dia.
Aku masih ingat dengan jelas, aku menelusuri kamar hotel saat itu, berharap semoga dia meninggalkan pesan atau kartu namanya untukku, tapi yang terjadi aku tidak menemukan hal apapun, kecuali bekas darah di kasur dan bekas kamar mandi yang habis dipakai sebelumnya. Aku mulai menangisi hal bodoh apa yang sudah terjadi, kenapa aku tidak mengingat hal apapun yang terjadi semalam.
Setelah satu bulan kemudian setelah aku mulai melupakan kejadian itu, aku mual. Awalnya aku mengira itu karna asam lambungku. Ternyata saat aku memeriksanya kerumah sakit, aku terkejut. Aku benar-benar tidak mengira kejadian saat itu membuahkan hasil.
Aku hamil.
Aku panik, aku takut, aku marah, aku kecewa,aku menangis, aku kalut dan mulai berpikiran menggugurkan anak ini. Namun setelah aku berpikir dengan tenang, aku memutuskan untuk mempertahankannya.
Orang tua ku yang saat itu masih di luar negeri, dan kakakku yang saat itu masih di Jerman membuatku mengambil keputusan untuk pergi. Aku hanya meninggalkan surat di atas meja kamarku, lalu pergi membawa barang-barangku. Dan memutuskan meninggalkan mereka. Aku tau, setelah mereka tau apa yang terjadi padaku, mereka akan mengusirku.
Dan disinilah aku. Kota Padang. Siapa yang akan menyangka aku disini? Aku tinggal bersama bunda Rahmi. Bunda adalah kakak mami. Meski dulunya aku hanya bertemu bunda sesekali, tapi aku tau bunda adalah orang yang bisa menjagaku, menjaga rahasia keberadaanku. Kenapa aku berani datang ke sini? Padahal bunda masih keluargaku? Karna aku tau mami tidak punya waktu untuk datang ke sini.
Seandainya malam itu aku tidak pergi, mungkin aku masih baik-baik saja. Tapi sudahlah, nasi sudah jadi bubur.
Aku menghapus sisa air mataku, saat melihat mobil jazz berwarna putih yang mulai mendekat, mobil bunda.
Aku tersenyum kecil dan masuk kedalam mobil.
"Hai sayang, lama ya nunggu bundanya?" ucap bunda.
"Enggak kok bun," ucapku mengambil tangan bunda menyalaminya dan menciumnya sekilas.
"Kamu kehujanan? Kok basah kuyup begini? Ambil handuk dan selimut di jok belakang, untung bunda bawain buat persiapan aja. Bunda kan tau kamu paling gak suka make payung. Badan kamu mulai dingin sayang," ucap bunda melihat keadaanku yang basah kuyup.
Aku hanya tersenyum kecil, beginilah perhatiannya bunda, hufft jadi kangen mami.
Aku mengambil handuk dan selimut kecil di belakang, dan tersenyum kecil saat menyadari ada anak kecil yang tertidur sangat lelap disana. Padahal diluar hujan dan petir, apalagi jalannya juga sedikit bergelombang tapi hal itu tidak mengganggu tidurnya sama sekali.
Dia anakku. Azzam Bifakhri Dirgantara.
Aku memang sengaja tidak memberi nama anakku dengan embel-embel nama keluarga. Karna aku takut keluargaku akan lebih cepat mengetahuinya, mengingat nama keluarga kami yang cukup dikenal.
"Dia menangis meminta bunda mengajaknya untuk menjemputmu. Tapi malah berakhir ketiduran saat macet tadi," ucap bunda saat tau aku memandangi anakku sendiri.
"Terimakasih bunda, sudah menjaga azzam."
"Dia cucu bunda juga dan kamu itu anak bunda. Gak ada kata terimakasih dalam kasus bunda jika itu bersangkutan dengan keluarga bunda sendiri sayang. Kau tidak melupakan apa yang sering bunda katakan itu kan sayang?" ucap bunda tersenyum kecil sambil menatap jalanan.
"Iya iya bunda. Aku tidak lupa kok," ucapku. Aku amat sangat tau bunda begitu menyayangiku.
"Mamimu pulang ke Jakarta sabtu ini, tidakkah kau ingin menemuinya? Bunda rasa, ini saatnya keluarga mu mengetahui siapa Azzam sayang," ucap bunda benar.
"Entahlah bunda. Aku masih takut," karna emang nyatanya aku masih terlalu takut menghadapi apa yang terjadi saat keluargaku tau?
"Bunda berencana menemui ibumu, bunda merindukannya. Kau tau, dulunya mamimu itu hanya gadis biasa. Tapi cintanya pada papimu membuatnya berubah. Ia mengikuti kemanapun suaminya pergi, namun itu memang kewajiban seorang istri. Tapi bunda tau, sesibuk apapun mamimu mengikuti suaminya, dia pasti merindukanmu anaknya dan Rafa abangmu. Dan bunda yakin, saat dia tau kamu punya Azzam, mamimu akan tetap menerimamu dengan tangan terbuka. Itulah hati seorang ibu nak. Jika kau takut pada ayah mu, bukankah ada ibu yang akan menjagamu dari rasa takut? Jadi kenapa kau tidak mencoba untuk pulang?" ucap bunda.
Aku tau apa yang di bilang bunda itu benar. Aku,, takut dengan apa yang akan terjadi nanti. Dan aku takut, keluargaku kecewa padaku dan berakhir dengan membenciku.
"Akan aku pikirkan bun."
"Yah setidaknya kamu mencoba memikirkannya sayang."
"Iya bun."
Setelahnya hanya suara hujan yang terdengar. Sampai akhirnya kami tiba dirumah.
"Ondeh uni bia lah awak se nan manggedong azzam, nyo lah barek mah uni" (* duh kak biar aku saja yang gendong azzam, dia berat kak) ucap Ratih saat ia melihatku menggendong azzam. Dia ini anak angkat bunda. Bunda juga lah yang bertanggung jawab biaya untuk kuliah kedokterannya. Dia anak yatim piatu, dia juga pintar dan anak yang sholehah. Itulah yang membuat bunda mengangkatnya menjadi anaknya. Mengingat anak bunda kak Rahmi dan kak Mia yang sudah menikah lalu mengikuti suami mereka merantau kalau kata orang Minang.
"Ndak baa do Ratih, uni se lah" (* gak papa Ratih, Kakak aja) ucapku. Meski ini bukan kotaku, tapi aku sangat menyukai orang-orang disini. Selama 4 tahun disini, membuatku belajar bahasa Minang. Meskipun bunda selalu berbahasa Indonesia padaku, tapi ratih selalu mengajariku berbahasa Minang selama ini.
Dia hanya mengangguk lalu mengambil barang apa saja yang tertinggal di mobil. Dan mulai bercerita apa saja sama bunda. Dia memang anak yang supel.
Aku menidurkan Azzam di kasur kami, ya dia memang tidur bersamaku. Aku memandangi wajahnya, dia benar-benar tampan untuk anak seusianya. Matanya yang sipit, hidungnya yang sedikit mancung, pipinya sedikit tembem, tapi itu pas di wajahnya, mengingat badannya yang tidak terlalu gemuk, rambutnya yang berwarna sedikit kemerahan, dan bibirnya yang mungil, namun punya senyum yang begitu lebar, ahh anakku benar-benar tampan. Dan aku tau, wajahnya benar-benar mencetak ayahnya, dan aku juga tau ayah dari anakku adalah lelaki yang tampan. Mengingat pria itu, membuatku merasa,,, entahlah. Sedikit sakit hati mengingat betapa pengecutnya pria itu, tapi ada sisi lain dari hatiku yang membuatku merasa,,, membutuhkannya.
Aku menyelimuti Azzam, bukan saatnya aku mengingat tentang pria itu. Akupun mulai membereskan diriku dengan mandi. Hari ini benar-benar hari yang melelahkan.
•••Sena•••