Sebuah pedang terarah menuju leherku, dan retinaku berkedut karena bercampur dengan ketakutan pada kematian. Aku bersalto, menghindar sembari menendang jatuh pedang jahat itu. Aku tak tahu apa yang terjadi, akan tetapi rasa takut itu nyata dan membangkitkan insting untuk melarikan diri.
Dengan kecepatan angin, tangan ini menjambak satu tubuh tak berdaya ke dalam gendongan, membawanya lari ditengah umpatan dan rasa lelah dari pihak lawan. Aku tak berdaya, dan yakin bila nekat saja butuh satu karung keberuntungan agar menjadi paket lengkap saat diri ini diincar kematian.
Sebuah jurang curam menghentikan pengejaran ini, dan gerombolan pengejar itu tersenyum puas. Aku sendiri hanya bisa menimbang apa yang akan terjadi bila aku tak bisa menyelamatkan hidupku, dan hidup kawan yang bernafas dalam dekapanku.
"Aku mencintaimu." Bibir pucat itu tersenyum, dan membawa tubuhnya terjun ke dalam sungai.
"Tidakkkkk...." nafasku sesak bercampur dengan jerit seseorang yang kehilangan. Dan aku terbangun.
Nafas yang keluar dari paru-paru begitu panas, pendek, dan bercampur dengan sakit yang dikirim melalui jantung. Aku pernah kehilangan seorang ayah, namun sakit pada dada justru lebih menyakitkan ketika dibawa seseorang yang hanya ku kenal dari alam mimpi.
Sebuah bayangan seperti seorang ibu kandung yang merawatku bertahun-tahun begitu tergopoh-gopoh, ia membawakan air minum ke dalam kamar dan menyuruhku untuk tenang. Air itu tandas dalam satu tarikan nafas, seperti aku ini fakir yang sudah melalui perjalanan jauh.
"Mimpi yang sama?"
Aku mengangguk, Ibu hapal sekali dengan ekspresi tak tenangku pada waktu tidur. Dia dan aku sama herannya dengan mimpi yang terus berulang itu, yang saking seringnya bahkan tak bisa disembuhkan dengan ramuan dari dukun ternama, dan dukun itu malah memberikan satu ramalan bahwa mimpi itu akan membimbingku di masa depan. Ku harap itu tak akan terjadi.
"Basuh tubuhmu, aku akan menyiapkan baju, dan sarapan untukmu" Ibu menepuk pundakku dan menyeret langkah kaki gempalnya menuju dapur. Aku bisa mencium bau yang sedap usai mandi, bau yang akan menyemangatiku untuk satu hari penuh.
Makanan yang ibu buat mungkin hanyalah sebuah roti yang dimakan bersama sayur dengan cita rasa kare, tanpa daging tentunya, karena bagi kami daging sangatlah berharga, jadi kami akan menyimpan uang untuk memasaknya di hari raya, dan walaupun begitu, aku tetap menyukainya.
Sebagai seorang juru masak kerajaan, aku memiliki bakat ibu yang membantuku, namun cita rasa sajian dalam mangkuk tanah ini tak bisa dibandingkan dengan apapun di dunia.
Setelah sekerat roti dan semangkuk kare, aku pamit untuk pergi bekerja, dan langkah kakiku begitu mantap, seolah mimpi tadi pagi tak pernah ada, seolah aku tak mengingat kata-kata cinta yang diucapkan sosok yang rupanyapun aku tak tahu.
Lima langkah menuju istana, lengkingan teriakan memanggil namaku, diikuti derap langkah kuda yang membawa pemilik suara itu. Awal, pria berbadan tegap menjulang yang selalu menganggapku seperti teman, ia membuat kudanya meringkik saat berhenti Tepat menghadang jalan.
"Salam, wahai kesatria yang mulia" aku membungkuk, menjadikan tubuhku lebih rendah dari kudanya.
Ia menggerutu sebelum menjawab, "sudah tujuh belas tahun kita hidup, dan saling mengenal, dan aku selalu berkata agar kita tidak perlu untuk memakai kata-kata normal."
"Aku hanya tak ingin hal ini menjadi kebiasaan, dan berlanjut saat kita ada di hadapan raja."
"Peduli setan, kita sahabat, Tuan juru masak, atau haruskah ku sebut namamu keras-keras, Jamal?"
"Terimakasih Tuan Kesatria, karena telah mengingat namaku."
Ia bergidik ngeri, "Apa aku harus menemui Ayah, agar ia merajam dirimu, aku geli dengan ucapan, dan tata kramamu, ku bilang panggil namaku!"
"Apa kau ada janji dengan Raja, Tuan Awal?"
"Yah, Ayah ingin berdiskusi soal militer dalam kerajaan, dan pengelolaan migran yang semakin banyak." Ia menatapku dengan tajam, "Aku juga ingin berdiskusi soal penghapusan gelar Tuan, dan hal lain agar aku bisa dekat denganmu."
Wajahku memucat, "Sebaiknya aku menyiapkan kepalaku untuk dipenggal, Tuan." Dan Pangeran Rohuk itu terkikik. Ia tak perah tahu rasanya tertekan dengan peraturan, hal biasa bagi para pangeran yang tinggal di negara ini.
Negara Rohuk adalah negara kecil namun cukup disegani dunia, dengan seorang raja yang tajam dalam penilaian terhadap materi, dan militer. Raja hebat dengan rakyat yang mencintainya. Kehidupan kami di negara ini cukup menyenangkan, meskipun dikelilingi gurun, namun pasokan makanan, dan alat transportasi, juga militer sangatlah baik.
Karena terlalu hebatnya negara kami, jumlah migrasi dari negara lain terus bertambah, terutama dari negara-negara yang memiliki konflik. Sejumlah anggota dewan memprotes kenaikan populasi migran pada raja, dan mulai memikirkan cara untuk menguranginya, namun raja yang pengasih itu membiarkan hal itu seperti angin lalu, sebagai gantinya, para insinyur terbaik dikerahkan untuk membangun kota, membuat mereka berpikir untuk memecahkan masalah pelik ini. Dan itu selalu berhasil.
"Jamal!" sebuah suara sarat emosi memaksaku berpaling hanya untuk melihat siapa yang memanggil. Kepala pelayan sudah akan menemui, dan hendak memarahiku, namun terhenti ketika matanya mengenali sosok sang anak raja yang duduk di atas pelananya. "Maaf, Tuan, kami membutuhkan Jamal sekarang, jadi kiranya..."
"Baiklah, Jamal, sampai nanti, aku akan menemuimu saat kau sudah selesai bekerja."
Aku mengangguk dan menyiapkan telingaku dengan omelan setelah Awal pergi.
"Jika kau tidak segera bergegas, aku akan melaporkanmu pada Raja, kau hanya budak yang mengenal Pangeran, jadi kedudukan lebih rendah dariku"
Aku membalik tubuhku menghadapnya, dan seketika mulut itu terdiam. "Aku bukan budak, aku juru masak"
"Lalu apa? Jika kau juru masak yang tidak memasak, maka kau tak lebih dari ayam yang tidak bertelur. Hari ini banyak tamu dari luar negri, aku harap masakanmu bisa menyelamatkanmu."
"Aku akan berusaha."
Kami mengambil jalan menuju dapur, melewati lorong yang dibuat oleh pilar-pilar tinggi. Tiga pilar sebelum aku memasuki dapur, sebuah dendang mengalun dari jendela yang tertutup sutra. Menghentikan langkahku yang menghipnotis arah tatapan mata ini. Sebuah siluet mempesona, ditambah lagu merdu yang membuatku berpikir bahwa penyanyinya adalah seorang dengan pribadi luar biasa. Dan angin semilir merobek batas dari sutra itu, mengenalkan kami lewat tatapan masing-masing.