Chereads / Jalan Menuju Surga / Chapter 61 - Mengunjungi Puncak Bihu di Malam Hari

Chapter 61 - Mengunjungi Puncak Bihu di Malam Hari

Malam, saat turunnya hujan badai tersebut merupakan malam terkenal dari semua malam. Tidak ada secercah cahaya bintang pun yang bisa terlihat di kegelapan yang menyelimuti seluruh Green Mountains.

Jing Jiu berdiri dalam diam di atas Puncak Bihu, pakaian putihnya melambai tanpa suara, diterpa hembusan angin malam.

Puncak gunung dari Puncak Bihu berbeda dari puncak - puncak gunung yang lainnya. Puncak gunung itu datar dan berukuran sangat besar dan terdapat sebuah danau di tengahnya, yang mana airnya berwarna biru gelap.

'Bihu' berarti 'danau biru'. Jadi nama Puncak Bihu datang dari danau tersebut.

Ada sebuah pulau di tengah - tengah danau biru itu dan terdapat sebuah istana yang berdiri di pulau tersebut. Istana itu sangat dingin dan menakutkan, ketika dilihat di tengah hujan badai yang sedang terjadi ini.

Pimpinan Puncak Bihu tidak tinggal di istana tersebut. Penghuni tempat itu adalah orang yang lain.

Jing Jiu menatap istana itu tanpa berkata - kata dan ia juga tampaknya sedang berpikir dengan begitu serius.

Kesembilan puncak gunung di Green Mountains dilindungi dengan sangat ketat, semua karena tempat ini, Puncak Bihu yang paling dilindungi. Ada begitu banyak formasi pedang yang tersebar di seluruh tempat ini.

Namun entah bagaimana caranya, Jing Jiu bisa dengan mudah sampai ke puncak gunung ini tanpa ada orang yang menyadari kedatangannya. Baginya, tempat ini seakan tidak terlindungi oleh formasi pedang.

Jika ia adalah seorang pendekar pedang level Broken Sea, mungkin hal itu bisa saja terjadi. Namun ia hanyalah seorang murid muda yang baru saja mencapai level Inherited Will. Bagaimana mungkin ia bisa melakukan itu semua?

Formasi Green Mountains telah menyiapkan jalan di langit malam yang terhubung langsung ke atas Puncak Bihu, yang mana bentuknya mirip seperti sebuah lubang yang terdapat di formasi tersebut.

Hujan pun terus turun dari langit malam itu, yang terkadang diterangi oleh sejumlah kilatan cahaya petir. Saat petir menyambar pulau yang ada di tengah danau biru itu, petir itu terlihat seakan sedang menghancurkan istana yang ada di sana hingga hancur berkeping - keping.

Ombak putih yang mulai naik di danau itu, dihujani oleh air hujan yang turun dengan begitu derasnya, namun guntur dan petirnya menghilang tanpa suara, seakan ditelan oleh istana yang ada di sana. Benar - benar suatu pemandangan yang sangat aneh.

Ketika ia memandang pulau yang ada di bawah guyuran hujan lebat itu, Jing Jiu pun terlihat menjadi begitu serius.

Dari desa kecil itu, kemudian ke Pine Pavilion Selatan, lalu Sungai Sword Washing, sampai ke Puncak Shenmo, Jing Jiu mampu menghadapi semua hal dan juga semua orang dengan ketenangan yang luar biasa.

Namun, malam ini keadaannya tidak lagi sama.

Ia tahu, bahwa istana itu adalah tempat rahasia, dimana Sekte Green Mountains menyimpan Thunder - Soul Wood, yang membutuhkan kekuatan guntur untuk membantu pertumbuhannya.

Istana tersebut tidak dijaga oleh murid - murid Sekte Green Mountains, karena White Ghost, yang merupakan salah seorang dari empat principal guards dari Green Mountains... tinggal di sana.

Hujan yang turun menjadi semakin lebat, namun gunturnya menjadi semakin jarang terdengar. Jing Jiu pun dengan tertatih berjalan ke danau biru itu.

Dengan kemampuannya saat ini, ia bisa saja berjalan di atas permukaan danau, namun ia memilih untuk tidak melakukannya.

Itu semua karena, ia takut kalau ada murid dari Puncak Bihu yang mungkin akan melihatnya, ketika mereka kembali dari perjalanan menunggang pedang mereka.

Akan tetapi, alasan utamanya adalah, karena ia tidak ingin lawannya terlebih dahulu menyadari kedatangannya.

Saat ia terjatuh ke danau dari anak sungai yang mengalir dari celah batu, ketika ia baru saja kembali dari pengalamannya saat ia hampir mati, ia mempelajari sebuah cara yang kaku, namun juga efisien untuk bergerak di danau tersebut.

Namun, kali ini ia tidak perlu berpegangan pada batu berat itu lagi.

Ia tenggelam ke dasar danau bagaikan sebuah batu dan kemudian, ia mulai berjalan maju.

Danau itu menjadi semakin dalam, tapi langkah kakinya tetap stabil seperti biasanya dan tidak menimbulkan suara sama sekali, bahkan hampir tidak mengganggu air yang ada di sekitarnya.

Ikan - ikan yang terganggu oleh hujan badai itu terus berenang tanpa henti, namun mereka seakan tidak menyadari kehadirannya.

Waktu pun terus berjalan dan Jing Jiu mulai memperlambat langkahnya, ekspresi wajahnya pun menjadi semakin serius.

Ia bisa merasakan suatu bahaya besar yang ada di depannya dengan sangat jelas, seakan ada makhluk suci yang sedang menunggu di sana.

Semakin dekat ia dengan pulau itu, semakin kuat bahaya yang ia rasakan.

Air danau itu pun menjadi semakin dangkal ketika ia semakin dekat dengan pulau tersebut dan sesekali, ia dapat melihat kilatan cahaya petir yang berwarna putih yang datang dari atasnya.

Jing Jiu pun lalu mulai mendaki ke pulau itu. Jalan yang dibuka oleh Formasi Green Mountains berada tepat di langit malam yang ada di atasnya.

Hujan badainya jauh lebih lebat disini, malam pun jauh gelap dan orang yang ada di sini bisa merasakan langsung kekuatan petir yang menakutkan dari jarak yang sangat dekat.

Namunk ancaman yang ia rasakan datangnya bukan dari langit.

Jing Jiu telah menyatu dengan badai itu.

Ia mengamati istana itu dari jarak yang sangat dekat tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Tempat ini adalah tempat kediaman dari peak guards, dan para murid dari Puncak Bihu dilarang untuk mendekati tempat ini, karena itulah ada begitu banyak binatang liar yang tinggal di pulau tersebut.

Ada suara yang tetap terdengar, bahkan saat hujan badai itu turun. Seberkas cahaya hijau yang redup muncul di tengah rimbunnya pepohonan.

Jing Jiu tahu, bahwa itu bukanlah mata dari hantu - hantu gunung, melainkan mata dari kucing - kucing liar.

Kucing - kucing liar itu sibuk menjilati bulu mereka yang basah, namun semua itu tidak ada gunanya dan mereka pun tidak menyadari kedatangan Jing Jiu.

Jing Jiu lalu melemparkan pandangannya ke arah istana yang berdiri kokoh ditengah hujan itu dan ia kemudian melangkah maju.

Ia hanya ingin memastikan, bahwa ia tidak mengeluarkan sedikitpun suara, ketika ia melakukannya.

Ia pun menahan nafasnya dan kembali melangkah setiap kali jantungnya berdetak sebanyak dua kali.

Namun, ada sepasang mata yang pandangannya tertuju padanya.

Bagaimana mungkin ia ditemukan dengan begitu cepat?

Tampaknya, ia akan berada di pihak yang lemah dalam negosiasi kali ini.

Itulah yang ada dalam pikiran Jing Jiu ketika ia melihat ke arah dari mana datangnya tatapan itu.

Pada saat itu, terdengar suara ledakan yang datang dari langit malam itu.

Kilatan petir yang begitu lebar menyambar ke bawah, menyinari semua bagian dari istana tersebut.

Dan di bagian sudutnya ada sebuah jendela.

Di sana terlihat ada seekor kucing putih yang sedang berbaring di pinggir jendela itu.

Bulu kucing itu basah, walaupun tetesan air hujan seharusnya tidak akan bisa mengenainya di sana.

Hujan itu membuat bulu kucing putih yang panjang itu menjadi basah dan kusut, yang membuatnya tidak nyaman untuk dilihat.

Jika kau melihatnya untuk waktu yang lama, bulunya yang kusut itu akan terlihat seperti belati.

Kucing putih itu lalu menyipitkan matanya, membuatnya terlihat begitu malas dan tidak berbahaya.

Akan tetapi, pupilnya memancarkan kilau yang sangat menggoda, bagaikan mimpi yang tidak nyata atau mungkin bagai jurang yang tak berdasar, yang mengundang orang - orang yang melihatnya untuk masuk ke dalamnya.

Jika ada murid biasa yang melihat sepasang pupil yang dimiliki oleh kucing jadi - jadian itu, mereka pasti akan sangat ketakutan.

Namun, Jing Jiu sama sekali tidak takut, tapi ia tetap bersiaga.

Di atas Puncak Pedang, Zhuo Yi yang merupakan seorang pendekar pedang level Undefeated tidak bisa merasakan kehadiran Jing Jiu, yang membuatnya bisa mendekati orang itu tanpa disadari dan kemudian membunuhnya.

Namun, kucing putih ini justru bisa menemukan keberadaannya dengan begitu mudah.

"Lama tak jumpa." ujar Jing Jiu, sambil menatap kucing putih itu.

Di tengah hujan badai dan guntur yang sesekali terdengar, suaranya yang begitu rendah, bisa saja tertelan suara yang ada di sekitarnya, namun ia tahu, bahwa lawan bicaranya bisa mendengarnya dengan jelas.

Kucing putih itu lalu kembali memicingkan matanya, kemudian ia menoleh dan menyesuaikan postur tubuhnya untuk membuatnya merasa lebih nyaman. Sapaan Jing Jiu seakan tidak terdengar olehnya.

"Kepada siapa Lei Poyun memberikan Thunder - Soul Wood itu?" tanya Jing Jiu.

Kucing putih itu lalu menguap tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Ia benar - benar terlihat sangat malas, bahkan untuk seekor kucing.

Jing Jiu tahu, bahwa ini hanya penyamarannya saja dan lawannya ini sebenarnya telah siap untuk menyerangnya kapan saja ia mau.

Dengan level kultivasi nya yang sekarang, Jing Jiu tentunya bukanlah lawan bagi kucing putih tersebut. Ia bahkan tidak akan memiliki kesempatan untuk melancarkan serangan balasan.

Sesekali, terlihat petir yang menyinari istana tersebut.

Bahaya yang mengintainya telah berada di depan mata.

Tetesan air hujan terus berjatuhan di depannya.

Tatapan Jing Jiu menembus hujan yang sudah seperti air terjun itu dan tertuju pada kucing putih yang ada di pinggir jendela sana. "Sepertinya, kamu tidak terkejut melihatku dan ternyata kamu telah mengetahuinya sejak lama. Memang masuk akal. Kamu adalah yang paling sensitif dan juga awas di antara kalian berempat. Mereka bertiga mungkin masih belum menyadarinya, namun, tidak mungkin kamu tidak mengetahui hal yang begitu penting."

Kucing putih itu lalu memalingkan kepalanya dengan perlahan, ia kemudian mengarahkan tatapannya pada Jing Jiu.

"Aku telah mendapatkan jawabannya dan malam ini aku ke sini hanya untuk mendapatkan kepastian darimu." ujar Jing Jiu. "Aku akan berterus terang padamu, aku memang tidak ingin menyerah begitu saja."

"Empat tahun yang lalu, ketika kamu menyaksikan kecelakaan yang menimpaku, pernahkah kamu berpikir, kalau aku mungkin masih bisa selamat?" tanya Jing Jiu. "Bagaimana jika aku menggunakan tulang - tulangmu untuk mengasah pedangku?"

Kucing putih itu pun lalu memberdirikan ekornya lalu mengarahkan tatapanya pada Jing Jiu, bulu - bulunya meledak ke segala arah bagaikan ilalang di musim gugur, yang menyebar ke seluruh rawa, membuatnya terlihat begitu indah, namun disaat yang bersamaan, juga terlihat menakutkan.

Guntur dan petir yang ada di langit malam pun menjadi semakin ganas. Sementara hujan badai itu menjadi semakin lebat. Kekacauan pun menyebar baik di langit maupun di bumi.