Kotor, menjijikkan, membuat perut mual...
Kata-kata yang tajam itu terasa bagai pisau-pisau terbang tak kasat mata yang satu per satu menusuk jantung Ji Yi.
Wajahnya memucat, dan jari jemarinya gemetar sembari mendekap pakaiannya..
Setelah semua yang terjadi antara mereka, Ji Yi ternyata masih belum kebal terhadap rasa sakit akibat hinaannya. Tadinya ia berpikir bahwa jika ia berpura-pura tidak mendengar apapun yang dikatakan pemuda itu, ia tidak akan merasa terluka. Siapa sangka kata-kata He Jichen ternyata mampu menyerang titik kelemahannya?
Meski demikian, gadis itu tetap pantang memperlihatkan kesengsaraannya pada He Jichen
Ji Yi lantas menundukkan kepala untuk menyembunyikan emosi yang dirasakannya, dan memaksa dirinya agar tidak terpengaruh oleh kata-kata He Jichen yang pedas itu.
Segalanya terasa sama seperti ketika Ji Yi berlari mengejar pemuda itu untuk menyatakan perasaan padanya empat tahun yang lalu; Ji Yi memasang wajah datar yang persis sama.
Reaksi Ji Yi yang biasa saja sangat mempengaruhi He Jichen, membuatnya kehilangan kendali dan ingin terus melukai perasaan gadis itu.
"Untungnya, empat tahun yang lalu itu adalah malam pertamamu. Jika tidak, tidak hanya hal itu sangat memuakkan, tapi juga sangat kotor. Tapi sekali lagi, meskipun itu adalah malam pertamamu, aku..." He Jichen sengaja menekankan kata "pertama"—ia tahu betapa menyakitkannya kata itu bagi Ji Yi. Karena ia juga sangat terluka, ia ingin agar gadis itu ikut bergabung dalam penderitaannya. Tubuh Ji Yi yang rapuh mulai gemetaran hebat saat ia berulang kali mengucapkan kata yang brutal itu. Saat ia mengucap kata "pertama" untuk ketiga kalinya, wajah Ji Yi berubah begitu pucat bagaikan tembus pandang. Genangan air terbentuk di sela bulu mata Ji Yi seakan hampir jatuh. He Jichen mendadak berhenti. Ruangan itu menjadi sunyi senyap.
Suara tarikan napas mereka terdengar begitu jelas.
He Jichen menatap wajah cantik Ji Yi dari dekat. Seketika itu juga, tubuh dan hatinya terasa begitu hampa. Segenap tenaganya habis terkuras.
Ia sadar bahwa ia sudah berbicara di luar batas.
Ia terus mengatakan hal yang salah sejak empat tahun silam, ketika Ji Yi menyatakan perasaan padanya.
Ia juga tahu meskipun ia mengatakan hal yang salah, gadis itu tetap tidak akan peduli.
Perlahan, cengkeraman He Jichen di dagu Ji Yi mulai mengendur, hingga akhirnya terlepas
.
Dengan kepala tertunduk, ia lantas bangkit dan menatap Ji Yi beberapa saat lamanya. Gadis itu masih meringkuk di lantai, mendekap pakaiannya. He Jichen lalu mengalihkan pandangan tanpa berkata apa-apa.
Di luar jendela, matahari bersinar terang, menyilaukan matanya.
Rasa letih yang tak pernah ia rasakan sebelumnya mendadak menyerang He Jichen, membuatnya merasa tak berdaya. Dengan kelelahan yang akut, ia berkata, "Keluar!"
Ji Yi jauh lebih bandel dari perkiraannya. Bahkan setelah He Jichen merobek pakaiannya, gadis itu tetap tak bergeming ketika ia menyuruhnya pergi.
He Jichen tidak punya tenaga lagi untuk marah. Tanpa menoleh sedikitpun pada Ji Yi, ia bergegas keluar dari ruang olahraga..
He Jichen sangat memahaminya. Pemuda itu tahu benar bahwa meski ia tidak lagi berada di apartemen itu, Ji Yi tidak akan mau berlama-lama tinggal di sana. Maka pemuda itu membuat keputusan untuk mengunci gadis itu di dalam ruang olahraga sebelum beranjak pergi.