Hanya ada Ji Yi seorang diri yang tersisa di dalam ruangan besar itu.
Gadis itu tidak tergesa-gesa untuk segera pergi. Ia tetap duduk di posisi semula dengan tenang. Setelah beberapa saat, dia mengarahkan pandangannya ke kursi yang sebelumnya diduduki oleh He Jichen. Pandangannya terkunci pada kursi itu dalam waktu yang lama.
Sementara itu, pelayan nampak sedang membersihkan meja dengan berisik. Suara nyaring mangkuk dan piring yang membentur satu sama lain membuat Ji Yi tersadar dari lamunannya. Perlahan dia mengerjapkan matanya yang sedikit perih karena menatap begitu lama. Lalu dia bangkit berdiri, mengambil tasnya, dan meninggalkan restoran Yuhuatai.
Dengan mengendarai taksi, Ji Yi tiba kembali di sekolah. Tak terburu-buru kembali ke asrama, gadis itu melangkahkan kakinya menuju ke lapangan olahraga.
Dia melihat sekelompok orang sedang bermain sepak bola sambil sesekali berteriak. Ji Yi berjalan mengelilingi kelompok itu. Setelah berjalan melalui area terdalam dari lapangan, dia akhirnya menemukan tempat yang sepi untuk duduk.
Setelah cukup lama tenggelam dalam lamunannya, Ji Yi lupa apa yang dipikirkannya pertama kali ketika dia duduk. Saat tersadar, kata-kata Lin Ya pada malam itu terngiang di telinganya, "Ijinkan aku mengenalkan kalian ke temanku, He Jichen."
He Jichen... Ji Yi tanpa sadar mengepalkan tangannya. Rasa sakit memaksanya untuk menerima kenyataan bahwa makan malam itu bukanlah mimpi dan sungguh-sungguh terjadi. Hal itu juga menyadarkannya bahwa setelah empat tahun, dia akhirnya benar-benar bertemu kembali dengan He Jichen.
Rasa sakit yang tak terperi dalam sekejap menyelubungi seluruh tubuh Ji Yi. Ingatan demi ingatan tentang kejadian empat tahun yang lalu melintas dengan semakin jelas di depan matanya.
Orang mengatakan bahwa "waktu adalah obat terbaik." Empat tahun telah berlalu dan Ji Yi mengira seluruh ingatan itu akan perlahan hilang seiring berjalannya waktu. Namun, ketika He Jichen muncul kembali secara utuh di depan matanya, dia menyadari bahwa rasa sakit itu selalu tersembunyi jauh di dalam raganya.
Ji Yi membutuhkan segenap kekuatannya untuk menenangkan diri. Awalnya dia berencana untuk duduk diam sejenak di lapangan seorang diri, tetapi tiba-tiba nampak kilatan petir di langit, dan gerimis hujan mulai jatuh ke tanah.
Di Beijing, hujan memang sering turun tiba-tiba di malam hari sepanjang bulan Oktober. Ji Yi pun segera bangkit dan berlari menuju asrama.
Saat dia hampir sampai di depan pintu asrama, Ji Yi melihat Bo He. Gadis itu hendak memanggilnya, namun dia melihat bayangan sosok yang tak asing baginya.
Orang itu adalah He Jichen. Dia sedang memegang payung sambil mengantarkan Lin Ya kembali ke asrama.
Tanpa menghiraukan lebatnya hujan, Ji Yi menghentikan langkah kakinya. Dia mengamati keadaan sekitar sebelum akhirnya mundur beberapa langkah dan bersembunyi di balik tiang lampu.
He Jichen dan Lin Ya berjalan pelan. Setelah Bo He dan beberapa gadis yang juga hadir saat makan malam mengucapkan selamat tinggal dan bergegas naik ke kamar mereka, He Jichen dan Lin Ya kembali melangkah menuju tangga asrama.
Sesaat kemudian, He Jichen dan Lin Ya berhenti.
Lin Ya tampaknya tidak buru-buru kembali ke blok asramanya. Dia justru berbalik menatap He Jichen dan mengatakan sesuatu padanya.
Dengan posisinya yang cukup jauh, ditambah dengan suara hujan yang cukup nyaring, Ji Yi tidak bisa mendengarkan percakapan keduanya. Namun keduanya tampak mengobrol dengan bahagia melihat bagaimana senyum Lin Ya semakin mengembang.
Pakaian Ji Yi sudah benar-benar basah kuyup, dan hembusan angin yang dingin membuat tubuhnya ikut menggigil.
Saat Ji Yi tidak dapat menahan lagi, Lin Ya akhirnya menaiki tangga di depan asrama.
Setelah Lin Ya menghilang ke dalam asrama, He Jichen terlihat masih terus berdiri disana beberapa saat sambil memegang payungnya. Lalu, dia berbalik seolah akan pergi.