Chereads / Milyaran Bintang Tak Sebanding Denganmu / Chapter 338 - Pernahkah Kau Menyesali Sesuatu? (8)

Chapter 338 - Pernahkah Kau Menyesali Sesuatu? (8)

Khawatir bahwa He Jichen dapat melihat dirinya yang sedang gugup, untuk menutupi perilakunya yang aneh, Ji Yi berpura-pura seakan semuanya biasa saja ketika He Jichen berjalan menghampirinya. Dia menanyakan sesuatu untuk mengalihkan perhatian pria itu: "Apakah terjadi kesalahpahaman antara kau dan dia?"

Jika tidak, mana mungkin setelah sekian lama kami cukup dekat, aku tidak pernah melihatnya menaruh perhatian pada gadis lain sebelumnya?

"Bukan sebuah kesalahpahaman. Aku membuatnya marah," He Jichen menjelaskan.

Membuatnya marah? Lalu mengapa kau tidak memintanya untuk memaafkanmu?

Ji Yi mengerutkan kening dan mengutarakan pertanyaan yang ada dalam hatinya: "Lalu kenapa kau tidak membujuknya untuk memaafkanmu? Para gadis menyukai hal itu. Selama kau bersikeras meminta maaf dan membujuknya sedikit saja, dia pasti akan memaafkanmu. Bukankah ada nasihat di Weibo? Saat kalian bertengkar, berikan dia lipstick. Kalau satu lipstick tidak bisa menyelesaikan masalah, berikan dia dua, dan jika dua tidak juga bisa berhasil, berikan dia satu set!"

Nada suara Ji Yi yang serius hampir menghapus senyuman dari wajah He Jichen. Rasa kesepian tiba-tiba menderanya.

Jika dengan sedikit bujukan bisa membawa Ji Yi kembali padanya, dia pasti rela melakukan itu ribuan kali.

Sayang sekali di masa lalu, dia tidak tahu bagaimana cara mencintai. Dia sangat kebingungan, dan dia telah bertindak terlalu jauh, terlalu sering.

Ini adalah hal yang tidak ingin dibicarakannya lebih jauh. Dia takut bahwa Ji Yi bisa menangkap melalui ucapannya bahwa dialah si gadis Cola.

He Jichen menatap pantulan cahaya di permukaan air danau. Setelah terdiam beberapa saat, dia memilih jawabannya dengan hati-hati: "Aku dulu berusaha mendapatkan maaf darinya, tetapi seiring berjalannya waktu, aku sudah tidak menginginkannya lagi."

"Kenapa?" pekik Ji Yi.

Setelah terdiam, Ji Yi menambahkan. "Mungkinkah kau ingin… menyerah untuk mendapatkan..."

Sebelum Ji Yi sempat mengucapkan kata "dia", He Jichen kembali berbicara, "Pengampunan itu tidak ada."

Mendengar jawaban yang terus-terang dan yakin itu Ji Yi terdiam. Kemudian sebelum dia sempat bersuara, He Jichen kembali berbicara tanpa keraguan, "Aku tidak akan menyerah untuk mendapatkannya!"

"Aku hanya takut akan mengganggunya. Aku tidak ingin kesetiaan dan perasaanku yang dalam ini menjadi gangguan baginya."

Pemuda itu mungkin menyadari bahwa nada suaranya menjadi gelisah, maka ia pun menenangkan diri dan kemudian melanjutkan, "Tetapi sebenarnya tidak masalah jika dia memaafkanku atau tidak, karena aku tidak dapat melepaskannya. Sebaliknya, jika di antara kami berdua harus ada yang terluka, aku lebih memilih menanggung luka itu sendirian…"

Ketika mengatakan hal itu, He Jichen kembali memikirkan malam itu ketika dia mengetahui Ji Yi hampir kehilangan nyawa karena bayinya. Matanya menjadi tidak fokus, ia mengatupkan bibirnya, dan kemudian kembali berbicara. "Tetapi aku butuh waktu lama untuk mengerti tentang prinsip ini. Kalau saja aku mengerti hal ini sejak lama, mungkin aku…"

Rasa sakit yang tak terlukiskan menyekat tenggorokan He Jichen sehingga dia tidak dapat melanjutkan kata-kata selanjutnya: "…tidak akan berpisah dan menjadi seperti orang asing selama bertahun-tahun."

He Jichen terdiam cukup lama. Saat Ji Yi mengira bahwa dia tidak akan mengatakan apapun lagi, pemuda itu kembali berbicara. "…Tapi itu sudah bukan masalah lagi. Dia adalah hal terbaik dalam hidupku, tetapi sekaligus kenangan yang paling buruk."

Dia adalah hal terbaik dalam hidupku, tetapi sekaligus kenangan yang paling buruk.

Mencintai sampai seperti itu berarti dia pasti sudah jatuh cinta begitu dalam.

Ji Yi merasakan jantungnya seolah ditusuk dengan sesuatu yang sangat tajam hingga rasa sakit tak terperi menderanya.

Ji Yi ingin mengatakan sesuatu untuk menghibur He Jichen, tetapi pada saat itu, ia tak dapat mengucapkan sepatah katapun.

Kebisuannya membuat He Jichen menyadari betapa canggung suasana itu. Perlahan dia menguasai dirinya dan berpura-pura tenang ketika mengganti topik pembicaraan. "Sudah larut malam. Ayo kembali ke hotel."