"Oh, lihatlah aku ini... Bagaimana aku bisa lupa? Tuan He dulu pernah bilang: 'Sungguh menjijikkan tidur denganmu.' Kita melakukannya satu kali, empat tahun yang lalu, dan itu sudah cukup membuat Tuan He ingin muntah!"
Tubuh He Jichen membeku. Beberapa detik kemudian, ia menyadari semua itu memang adalah kata-kata yang pernah diucapkannya pada Ji Yi.
"Tuan He juga mengatakan bahkan jika aku berdiri telanjang bulat di depannya, dia sama sekali tidak akan tertarik! Aku salah; Seharusnya aku tidak menganggap remeh kekuatan dalam kata-kataku dan mencemooh Tuan He..."
Ketika Ji Yi berulang kali memanggilnya "Tuan He," gadis itu melontarkan kembali kata-kata yang pernah diucapkan He Jichen sendiri untuk menyerangnya dengan telak, sampai pemuda itu tak mampu berkata-kata lagi.
He Jichen merasa bola api di dadanya bisa meledak kapan saja. Ia kuatir akan kehilangan kendali sementara sekuat tenaga berusaha untuk mengontrol emosi. Namun pada akhirnya, ia tidak dapat menahan perasaannya; hatinya terasa sakit dan dengan susah payah ia mengerahkan tenaga untuk dapat mengucapkan "Tutup Mulutmu ".
Sedangkan Ji Yi tidak berniat untuk berhenti. Ia pun terus bicara dengan senyum manis menghias wajahnya. "Tapi jangan khawatir, Tuan He. Kau bukanlah satu-satunya donatir di dunia ini. Kau mungkin menolakku, tapi pasti akan ada orang lain yang menerimaku dan ingin mengobrol denganku. Misalnya..."
Ji Yi memiringkan kepala dan terlihat seolah sedang berpikir dengan serius. Lalu ia sengaja meninggikan volume suaranya ketika mengeja nama seseorang, kata demi kata, "...Lin. Zheng. Yi..."
Ketiga kata itu layaknya kabel listrik yang memercikkan api di tubuh He Jichen.
Ia tidak tahan lagi dan segera mengalihkan tangannya dari dagu ke lengan Ji Yi. Dengan paksa ia mengangkat gadis itu, dan tanpa berpikir dua kali, ia mengayunkan tangannya ke wajah Ji Yi. Sebelum tangannya sampai ke wajah Ji Yi, ia berhenti, tangannya menggantung di udara.
Tetapi ia hanya berhenti sedetik sebelum tangannya menghempaskan tubuh Ji Yi ke sofa yang ada di samping mereka.
Sofa itu cukup lembut, jadi Ji Yi tidak terluka, tetapi kepalanya menjadi pusing setelah terhempas oleh kekuatan He Jichen yang brutal.
Sebelum sepenuhnya pulih, ia mendengar suara berdebum keras di dekat telinganya. "Bruakk!!!"
Tubuh Ji Yi gemetaran saat ia menoleh dan melihat bahwa He Jichen telah menendang meja kopi hingga terlontar dua meter jauhnya.
Jari-jemarinya sontak mencengkeram bantalan sofa, dan saat ia bertanya-tanya apakah He Jichen akan mencabik-cabik tubuhnya, ia mendengar suara langkah kaki dari arah belakangnya. Sebelum Ji Yi bisa menoleh untuk melihat apa yang terjadi, pintu kamar hotel dibuka, lalu dibanting hingga tertutup.
He Jichen pergi?
Ji Yi khawatir dia hanya berhalusinasi, maka ia pun menoleh dan dengan hati-hati memeriksa ke sekeliling kamar hotel. Ketika yakin bahwa He Jichen benar-benar sudah pergi, ia mengambil pakaiannya yang dikoyak oleh He Jichen. Belum sempat gadis itu menutupi tubuhnya ketika akhirnya ia membenamkan wajah di sofa, dan mulai menangis dengan pelan.
Tangisan Ji Yi yang tanpa suara berlangsung beberapa saat lamanya hingga matanya mongering dan terasa perih seolah tidak ada lagi air mata yang tersisa. Ji Yi akhirnya berusaha bangkit dari sofa dan meraih telepon hotel di sampingnya. Ji Yi menghubungi resepsionis, memberikan ukuran tubuhnya, dan meminta mereka membawakan pakaian untuknya. Kemudian dengan terhuyung-huyung gadis itu melangkah ke kamar mandi.
Ji Yi berdiri di bawah guyuran air hangat untuk waktu yang lama sebelum mendengar bel pintu berdering. Seketika ia tersadar dari lamunan, segera mematikan shower, dan mengenakan jubah mandi dengan panik. Ji Yi bahkan tidak punya waktu mengeringkan rambutnya sebelum berlari menuju pintu.