Shi Guang menahan tawanya dan tidak meneruskan topik itu, dan memutuskan untuk berujar, "Jadi, kita akan ke pantai untuk kelas besok, untuk melihat kemegahan laut."
Pantai paling luas di kota ini—Pantai Lei—berada di ibukota provinsi. Tapi Shi Guang yakin Lu Yanchen pasti belum pernah ke sana. Bahkan kalaupun sudah, ia yakin Lu Yanchen pasti hanya lewat dan tidak berada di sana selama lebih dari dua detik.
Tanpa berpikir, Lu Yanchen menolak dengan ketus, "Tidak mau!"
"Kita hanya akan melihat laut. Aku tidak memintamu masuk ke air. Berapa lama kau bisa tahan melihat laut, kita akan lihat nanti. Kalau kau tidak bisa melihat lagi, kita akan pergi."
"Tidak!" Lu Yanchen menolaknya lagi. Ia bahkan mengambil rencana pembelajaran dari meja dan mengangkat tangan seperti akan merobeknya.
Dengan reaksinya yang cepat, Shi Guang meraih tangan Lu Yanchen dan menatapnya dengan mata terbelalak. "Tidak! Kau tidak boleh merobeknya!"
Lu Yanchen menatap ekspresi serius di wajah Shi Guang untuk waktu yang lama, sebelum berkata lambat-lambat, "Lepaskan."
Shi Guang menggeleng dan menjawab dengan dua kata yang tegas, "Tidak mau!"
Tatapan Lu Yanchen gelap dan misterius, dan ia berkata dengan nada sedikit mengejek, "...Kau segitu senangnya memegang tanganku?"
Memegang tangannya? Siapa juga yang mau memegang tangannya? Shi Guang jelas-jelas mencoba mencegahnya merobek rencana pembelajaran itu, dan ingin protes dengan diam dan tegas. Tapi ia tiba-tiba merasakan kehangatan merambat dari lengan Lu Yanchen entah dari mana, membuatnya melepaskan pegangannya.
Ia menggebrak meja dengan pelan, "Kalau kau mau merobeknya, silahkan kalau begitu. Lagipula aku punya salinannya di komputerku. Kalau kau robek, aku bisa mencetaknya lagi. Akan kukirimkan salinannya ke ibumu juga, dan memberitahunya. Kau hanya bisa menyembuhkan vertigo airmu kalau kau tetap mengikuti pelajaran dengan rajin!"
"Sekarang kau berusaha mengancamku dengan membawa-bawa ibuku!" nada suara Lu Yanchen begitu dingin, sampai temperaturnya nyaris mendekati nol, dan mengirimkan rasa gemetar ke hati Shi Guang.
Shi Guang merasakan kulit di punggungnya merinding, dan karenanya ia tidak berkata apa-apa, dan hanya berani terus menatap Lu Yanchen. Bahkan kalaupun ada sedikit ketakutan di hatinya, ia tetap menyokongnya dengan keberanian.
Tapi lomba menatap di antara mereka adalah bentuk perang mental; Shi Guang mengakui mentalnya tidak sekuat Lu Yanchen.
Matanya mulai terasa lelah, dan ia merasa tidak nyaman. Apa yang harus ia lakukan?
Tiba-tiba, sebuah ide muncul di pikiran Shi Guang, dan ia tersenyum.
Cahaya matahari sore itu terasa sangat hangat; sinarnya memancar dengan lembut dari jendela kaca dan memencar menyinari wajahnya sedikit demi sedikit. Samar, namun lembut, matanya mendapat kehidupan ketika keduanya berkilau seperti cermin hitam, memancarkan semangat.
Lu Yanchen menemukan dirinya tertegun selama beberapa saat, dan merasa seperti telah kembali ke tahun itu… tahun ketika ia hanyalah siswa tahun ketiga di SMA, duduk di bawah pohon dan menonton anak-anak lain bermain basket. Di dekatnya, ada seorang anak perempuan yang berdiri di balik pagar sekolah, terlihat sangat manis dengan senyumannya walaupun berdiri di bawah terik matahari.
Alisnya berkedut seraya ia melemparkan rencana pembelajaran itu ke meja dan melangkah pergi.
Shi Guang tidak menunggu lagi, dan menyambar berkas itu dari meja dan berlari mengejar Lu Yanchen. "Tunggu! Mau ke mana kau?"
Lu Yanchen terus berjalan dan mengabaikannya.
"Kelas kita akan segera dimulai," Shi Guang menghadang jalannya.
"Aku tidak akan hadir! Aku mau berganti pelatih."
Dahi Shi Guang benar-benar menegang—nyaris terlihat garis-garis hitam di sana. Ia tak bisa berkata-kata.
Ketika ia tidak ingin mengajar, Lu Yanchen bersikeras menolak penggantian pelatih. Sekarang ketika ia ingin mengajar dengan sepenuh hati untuk membalas budi, Lu Yanchen ingin berganti pelatih.
Ia bisa pingsan gara-gara pria ini! Astaga!
"Kau ingin berganti, sekarang? Kau merasa ini ada gunanya?"
Menatap Shi Guang, Lu Yanchen menjawab santai, "Malah sangat berguna."
Sekali lagi, ia memasang ekspresi seperti tersenyum dan tidak tersenyum di saat yang sama; Shi Guang tidak paham apakah pria itu bercanda atau mengejeknya.
Bibir Shi Guang berkerut, dan ia bergumam pelan, "Kekanakan!"
Lu Yanchen tidak menjawab, dan memilih untuk memutarinya dan berjalan pergi.
Shi Guang tidak lagi mengejarnya, hanya berseru di belakangnya, "Kita anggap kau tidak masuk hari ini! Aku akan menunggumu di pavilion barat Pantai Lei besok, kalau begitu!"