Yang Sitong merasa terluka sekaligus tersiksa. Matanya berlinang dengan air mata; meski begitu, itu bukan air mata kesakitan. Selain rasa sakit, ada kecamuk kebencian yang membuncah di dalam dadanya.
Bibirnya kini gemetar tak terkendali. Sudah berkali-kali ia ingin bertanya pada Lu Yanchen apakah pria itu sejak tadi berdiri di luar dan mendengarkan teriakan minta tolongnya. Akan tetapi, ia selalu menemukan bahwa kata-katanya tercekat di tenggorokannya.
Pria itu membelalak ke arahnya dengan tatapan yang sedingin es, seakan Yang Sitong adalah musuhnya.
Yang Sitong membelalak ke arah Lu Yanchen dengan intens, ingin melihat perubahan sekecil apapun dalam emosi Lu Yanchen. Akan tetapi, tak ada yang berubah.