Seluruh tubuh Lu Yanchen kini menguarkan aura dingin yang mengusir orang dalam jarak berkilo-kilometer darinya. Aura itu bahkan lebih menusuk daripada kata-kata marah atau ditonjok secara fisik.
Ia menangkap tatapan Shi Guang dengan ketepatan sempurna.
Menyadari Lu Yanchen sedang melihat ke arahnya, Shi Guang panik dan langsung mencari pengalihan dengan lanjut menyusun peralatan renang dengan tergesa-gesa, sambil berpura-pura ia tidak melihat apapun.
Lu Yanchen merengut.
"Aku di sini mencarimu!" Tak menyadari apapun yang salah dengan situasi itu, Yang Sitong terus tersenyum lembut pada Lu Yanchen.
Mengabaikan Yang Sitong, Lu Yanchen berjalan melewatinya dan menuju ke arah Shi Guang. Jantung Yang Sitong berhenti sekilas.
'Mungkinkah alasan Lu Yanchen memilih wanita itu untuk melatihnya adalah karena ia menyukai wanita itu? Kalau begitu, aku tidak bisa melepaskan wanita itu. Aku pasti tidak akan membiarkan wanita manapun berkesempatan untuk merebut Lu Yanchen-ku!'
Tubuh tegap Lu Yanchen berhenti di depan Shi Guang. Suaranya masih sedingin tombak es: membekukan dan kejam, "Kau tahu ini adalah gelanggang pribadi?"
Hari pertama Lu Yanchen memasuki gelanggang itu, apa yang dikatakan Shi Guang? 'Maaf, ini adalah gelanggang pribadi! Tolong keluar!'
Shi Guang terperanjat sekarang!
Membeku total, ia langsung berdiri. "Dia…,"
Ketika melihat tatapan Lu Yanchen, terlihat seperti ada embun es yang menumpuk pada Lu Yanchen selama ribuan tahun. Shi Guang tiba-tiba tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Aura dingin itu menyebar dan membuat seisi gelanggang itu terasa seperti terinfeksi aura membunuh. Jantung Yang Sitong seakan terhenti. Melihat semuanya dari pinggir, hatinya dipenuhi kebingungan.
Lu Yanchen marah!
Di matanya, jelas sekali Lu Yanchen sedang marah sekarang. Tak hanya itu, sikap menjaga jaraknya bahkan lebih dingin dari semalam.
'Karena ia sedingin ini sekarang, apakah dia akan memutuskan untuk tidak akan pernah menemuiku lagi setelah ini?' Dengan pikiran itu, Yang Sitong sangat gugup; ia merasakan dirinya nyaris tenggelam dalam rasa sakit yang menusuk hatinya.
"Yanchen…," Dengan menekan rasa sakit itu sekuat tenaga, ia memanggil Lu Yanchen dengan suara gemetar dan memaksakan senyuman, "Jangan marah… aku akan pergi."
Mengabaikan Yang Sitong, Lu Yanchen terus menatap Shi Guang dan tertawa ironis dan tidak berkata apa-apa seraya berjalan santai menuju ruang ganti.
…
"Maafkan saya, saya membuat Anda ditegur!" Yang Sitong menghampiri Shi Guang untuk meminta maaf. "Kami bersitegang kemarin. Karena ada rumor kalian berdua pergi ke pantai, saya salah paham dan kembali ke negara ini untuk menanyakan padanya. Ia pasti marah karena pikirnya saya tidak mempercayainya."
Pantai?
Shi Guang menggerakkan bibir dan bersiap menjawab, namun Yang Sitong tidak memberinya kesempatan. Dengan bersikap seakan baik-baik saja, ia lalu melanjutkan, "Saya percaya pada Yanchen. Ia pasti tidak akan melakukan apapun untuk mengkhianati saya. Saya pergi dulu untuk memikirkan cara membujuknya nanti. Kalau tidak, hanya Tuhan yang tahu sampai kapan ia akan marah begini."
Meski ia tahu ia adalah alasan Lu Yanchen marah pada Shi Guang, ia memilih untuk mengeluarkannya dari pikirannya. Baginya, fakta bahwa Lu Yanchen memilih untuk menegur pelatihnya daripada dia berarti pria itu masih memiliki perasaan terhadapnya.
Duduk di dalam mobilnya, Yang Sitong tidak langsung pergi. Ia justru menelepon seseorang dan berbicara dengan dagu terangkat, "Terlihat tidak ada yang aneh di antara Lu Yanchen dan pelatih wanita itu."
"Kau bertemu dengan pelatih itu?"
"Baru saja. Orang pinggiran dengan penampilan yang lumayan. Tapi dibandingkan denganku, ia masih jauh, sangat jauh di bawah. Lu Yanchen juga sama sekali tidak tertarik padanya, dan bahkan marah padanya karena aku."
"Bagaimana dengan pelatih itu? Apa dia terlihat tertarik dengan Lu Yanchen?"
"Kelihatannya tidak."
"Mungkinkah dia pura-pura?"
"Itu yang kukhawatirkan. Karena itu, aku memutuskan untuk tinggal lebih lama dan mengamati keadaan.