Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Menggapai Takdir Bersama

novitahcf
--
chs / week
--
NOT RATINGS
3.9k
Views
Synopsis
"Pangkal benang akan tetap berada pada tempatnya sementara ujungnya dibawa pergi oleh jarum untuk membuat jahitan yang indah dan bermanfaat. Bisakah sebuah persahabatan diibaratkan seperti itu? Haruskah salah satu di antara mereka tetap diam tak beranjak dari posisinya meskipun yang lain dibawa pergi oleh orang lain untuk sebuah takdir yang mungkin lebih indah? Meskipun hal itu membuat jarak yang akan terus bertambah di antara keduanya?" -Aira Cahya Putri - "Maafkan aku atas keterlambatanku menyadari keberadaanmu. Kau yang selalu ada untukku, namun aku dengan mudahnya berpaling darimu. Maafkan aku karena cinta sesaat ini membutakanku dan membawaku pergi dari cinta sejatiku, yaitu dirimu. Aku tahu kalau permintaanku terlalu belebihan, tapi bisakah kau tetap di sampingku? Bisakah kau memberiku satu kesempatan lagi? Karena aku berjanji bahwa aku akan selalu di sisimu." -Kevin Gilang Pratama-
VIEW MORE

Chapter 1 - Kehadiran Tokoh Utama Baru

"Pangkal benang akan tetap berada pada tempatnya sementara ujungnya dibawa pergi oleh jarum untuk membuat jahitan yang indah dan bermanfaat. Bisakah sebuah persahabatan diibaratkan seperti itu? Haruskah salah satu di antara mereka tetap diam tak beranjak dari posisinya meskipun yang lain dibawa pergi oleh orang lain untuk sebuah takdir yang mungkin lebih indah? Meskipun hal itu membuat jarak yang akan terus bertambah di antara keduanya?" -Aira Cahya Putri -

"Maafkan aku atas keterlambatanku menyadari keberadaanmu. Kau yang selalu ada untukku, namun aku dengan mudahnya berpaling darimu. Maafkan aku karena cinta sesaat ini membutakanku dan membawaku pergi dari cinta sejatiku, yaitu dirimu. Aku tahu kalau permintaanku terlalu belebihan, tapi bisakah kau tetap di sampingku? Bisakah kau memberiku satu kesempatan lagi? Karena aku berjanji bahwa aku akan selalu di sisimu." -Kevin Gilang Pratama-

***

Jakarta, 2013

Suasana koridor SMA Pertiwi yang semula sepi kini telah terusik dengan suara derap langkah yang terkesan terburu-buru. Terlihat seorang gadis cantik dengan rambut sebahu yang diikat asal-asalan tengah berlari-lari kecil sambil membawa secarik kertas yang tengah digenggamnya. Rok sekolah yang dipakainya sedikit mengusik langkah kaki jenjangnya. Wajar saja, gadis yang bulan Februari lalu telah genap berumur 17 tahun itu terbiasa menggunakan celana panjang dalam kesehariannya. Entahlah, gadis dengan nama lengkap Aira Cahya Putri itu sudah nyaman dengan predikat cewek tomboy yang disandangnya. Ia tak terlalu mempermasalahkan penampilannya. Asalkan pakaian itu nyaman dan enak dipakai, itu sudahlah cukup. Tak heran jika sang ibu sedikit kewalahan menasihatinya untuk berpenampilan dan bersikap lebih feminine.

Senyum sumringah terukir di wajah Aira dan itu sukses menambah kadar kecantikannya. Tak ada hal lain yang terpikirkan di otaknya saat ini selain menemui manusia sedingin es tapi otaknya secemerlang berlian yang tak lain adalah sahabatnya sendiri. Gadis itu sudah tahu di mana manusia itu berada. Ya, di mana lagi kalau bukan perpustakaan. Tempat paling membosankan dengan ratusan tumpukan buku yang sama sekali tak menarik di matanya. Ditambah lagi dengan suasana hening yang bagi gadis itu seakan menguarkan aura kematian, mengingat ia adalah tipikal gadis cerewet dan paling tidak suka dengan kesunyian.

Wajar saja jika sahabatnya sedang berada di tempat itu. Dapat dipastikan bahwa dia sedang berkutat dengan buku-buku tebal dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi Ujian Nasional, mengingat mereka adalah siswa SMA yang sudah memasuki tahun terakhir.

Aira mempercepat langkahnya saat matanya menangkap siluet sahabat yang dicarinya itu. Secarik kertas tadi dia arahkan tepat ke depan mata sahabatnya, menghalau pandangannya yang terlampau serius saat membaca.

"Kevin, lihatlah ini!" suruh Aira dengan antusias.

"Apa yang kau lakukan? Mengganggu saja." jawab Kevin dingin.

"Yak, aku sudah merelakan waktu makan siangku hanya untuk ke sini dan seperti itu responmu? Menyebalkan sekali." protes Aira tak terima dengan sikap sahabatnya.

"Maaf, aku tak bermaksud seperti itu. Jadi ada apa sampai kau mau datang ke sini?" jawab Kevin yang akhirnya mengalah.

"Lihatlah! Aku mendapat nilai 6 di ulangan Fisika. Ah, senang sekali. Jika digambarkan rasanya seperti memenangkan jackpot terus banyak bunga-bunga bertebaran di sekelilingku. Benar-benar luar biasa".

"Padahal baru dapat 6 dan kau hebohnya sudah seperti ini." Kevin menghela napas melihat sikap sahabatnya.

"Hei, setidaknya berilah penghargaan sedikit padaku. Kenapa hobimu hanya meledekku saja sih? Menyebalkan."

Demi apapun, Aira benar-benar kesal dengan sikap sahabatnya yang terlampau dingin dan cuek itu. Sumpah serapah tak henti-hentinya keluar dari mulut gadis itu yang sudah pasti ditujukan untuk sahabatnya. Dua tahun berteman dengan orang itu membuat Aira paham bahwa seorang Kevin Gilang Pratama adalah spesies langka dengan sikap dingin dan cuek yang tak tertandingi. Aira tak habis pikir dengan jalan pikiran Kevin. Sebenarnya bukan hanya jalan pikiran Kevin yang salah, tapi perasaan Kevin juga salah. Bagaimana mungkin dia tak punya niatan hanya untuk sekedar menghibur dan menyemangati sahabatnya yang telah mengalami kemajuan, walaupun hanya sedikit.

"Kudengar kau ada ulangan Matematika besok." ucap Kevin memecahkan keheningan yang terjadi beberapa detik yang lalu.

"Hmmm." Hanya gumaman kecil yang keluar dari mulut Aira, pertanda ia masih kesal dengan ucapan sahabatnya tadi.

"Kalau begitu, ayo kita belajar bersama sepulang sekolah nanti! Aku tahu kau tak akan paham mempelajari rumus-rumus rumit itu sendirian. Kupastikan hanya uap panas yang akan keluar dari otakmu dan tahap selanjutnya akan didominasi dengan suara dengkuran yang menggema."

"Kau memang paling pintar dalam hal mengejekku. Baiklah, aku terima tawaranmu tadi."

Memang seperti inilah persahabatan mereka, layaknya hubungan cinta dan benci. Terkadang saling menaruh perhatian, saling membantu, dan tak jarang saling mencemaskan keadaan satu sama lain. Namun tak jarang pula perdebatan mencuat di antara keduanya. Entah itu karena sikap dingin Kevin, entah karena sikap cerewet Aira, atau bahkan karena sifat kekanakan keduanya yang sama-sama tak mau mengalah.

***

Bel tanda pelajaran usai telah berbunyi, memaksa Aira untuk tersadar dari tatapan bodohnya sejak tadi. Dapat ditebak jika tatapan itu menyiratkan bahwa dirinya tidak paham dengan semua yang telah diajarkan oleh Pak Gino, guru paling killer di matanya. Semua rumus rumit yang diucapkan gurunya sejak tadi sukses membuat otaknya meraung kepanasan. Jadi mau bagaimanapun, semua ucapan gurunya tidak akan ada yang menempel dan membekas di otaknya.

Buru-buru Aira keluar dari kelas dan menuju pintu gerbang sekolah. Tujuan utamanya hari ini adalah tempat tidur. Dia ingin segera membaringkan diri di pulau kapuknya yang mungkin akan terasa berkali-kali lipat lebih nyaman dari biasanya. Dua jam berkutat dengan Matematika memang membuat otaknya jengah dan lelah. Sepertinya tidur adalah solusi terbaik menurutnya.

Angan itu terbuyarkan ketika sebuah suara baritone memasuki indra pendengarannya. Aira menoleh ke belakang, melihat siapa yang telah mengusik bayangan indahnya. Aira memutar bola mata dengan malas melihat siapa pemilik suara itu. Lelaki yang tak lain adalah Kevin itu mulai mendekat ke arah Aira, mengikis jarak yang begitu jauh di antara keduanya. Sebersit ingatan tentang rencananya siang tadi mulai hinggap kembali dalam otaknya. Pantas saja sahabatnya ini telah melesat cepat hingga sampai tepat di depannya saat ini. Padahal bel pulang baru terdengar beberapa menit yang lalu.

"Ra, kurasa kita tidak bisa belajar bersama hari ini." ucap Kevin saat ia sudah berada di depan Aira.

"Kenapa? Bukankah tadi kamu sendiri yang menawarkan diri untuk mengajariku?" tanya Aira.

"Windy mengajakku menonton konser Seventeen sore ini. Berhubung Seventeen mengadakan konser di Indonesia, dia langsung merengek-rengek mengajakku untuk menemaninya. Kau tahu sendiri, dia tak akan melewatkan satupun konser cowok-cowok ababil itu. " jawab Kevin dengan ekspresi tidak suka.

"......"

"Tapi wajahnya benar-benar sangat lucu. Jadi kuikuti saja maunya. Kau mau bergabung dengan kami?" tawar Kevin pada Aira.

"Oh, tidak usah. Aku langsung pulang ke rumah saja." jawab Aira sedikit kecewa.

"Ya sudah kalau begitu, aku pulang duluan ya. Windy sudah menungguku." Ujar Kevin sambil melambaikan tangan dan berlalu meninggalkan Aira.

Aira termenung sejenak. Pikirannya dipenuhi oleh kenyataan yang sekarang dihadapinya. Kevin adalah orang yang paling tidak suka membuat orang lain merasa tidak nyaman. Terbukti selama ini, ia tidak pernah membuat Aira menunggu lama jika mereka membuat janji untuk bertemu. Rekor terlama Aira menunggunya hanyalah 15 menit dan itupun karena Kevin harus mengantarkan ibunya ke rumah sakit terlebih dahulu lantaran penyakit maag ibunya yang mendadak kambuh.

Setidaknya itu dulu, sebelum Windy singgah di kehidupan Kevin dan mengambil peran penting dalam drama kehidupannya. Gadis itu telah mengubah alur cerita pada kehidupan Kevin. Menulis cerita baru yang banyak melibatkan dirinya, membuang Aira, dan menjadikan dirinya dan Kevin sebagai pemain utama dalam drama itu.

Aira tersadar dari lamunan singkatnya. Ia hanya mampu menatap punggung tegap yang perlahan menghilang di balik pintu gerbang sekolah itu dengan tatapan sendu. Hatinya berdesir perih menyadari kenyataan ini. Bahwa pemilik punggung tegap itu sekarang telah menjadi milik orang lain. Dua tahun bersama Kevin tak ayal membuat Aira menyimpan perasaan kepada lelaki itu. Rasa sukakah? Rasa cintakah? Ataukah hanya sekedar rasa nyaman? Entahlah, Aira juga masih bingung dengan perasaannya. Yang jelas ia merasa sakit ketika mengetahui fakta bahwa Kevin telah berpacaran dengan Windy. Betapa beruntungnya seorang Windy Sofia Rosellini yang dapat memikat hati Kevin hanya dalam waktu satu bulan semenjak kepindahan Windy ke sekolahnya. Aira tersenyum pedih, dua tahun kebersamaannya dan Aira pun tak mampu membuat Kevin terpikat olehnya.

To Be Continued