Chereads / CINTA SEORANG PANGERAN / Chapter 14 - Langit Berubah Menjadi Mendung

Chapter 14 - Langit Berubah Menjadi Mendung

Cyntia menatap pemandangan Kota New York dari jendela apartemen Alena. Gedung-gedung yang menjulang tinggi dipenuhi oleh kerlap-kerlip lampu yang menyilaukan. Kota yang tidak pernah tidur ini seakan selalu bersolek siang dan malam tiada henti memikat para pendatang baik yang legal ataupun ilegal untuk datang dan mencoba menghuni kota tersebut. Cyntia menghela nafas berat. Ia melipatkan tangannya di dada. Suara tangis Alena terdengar memilukan, sudah hampir dua jam Alena bertelengkup di atas ranjang. Parahnya lagi Alena tak mau mendengar bujukannya sama sekali. Alena sudah merasa kehilangan harapan sama sekali. Bahkan seandainya ia baru tingkat satu mungkin ia sudah pulang ke Indonesia.

Langit begitu gelap gulita seakan hendak melawan gemerlapnya kota. Suara petir mulai menyambar turut menyambut isak tangis Alena. Cyntia melihat posisi tubuh Alena sudah berubah dari telengkup kini meringkuk seperti kucing yang tersiram air.

Cyntia menyayangi Alena lebih dari sekedar saudaranya. Tetapi bukan karena secara finansial Alena sangat banyak membantunya. Tetapi karena Alena adalah sosok orang yang sangat baik hati, polos, lucu dan ramah. Ia ingat saat pertama kali bertemu Alena. Di depan gedung administrasi sambil membawa surat keterangan yang menyatakan bahwa Alena diterima di kampus itu. Penampilan Alena sangat menarik dengan kaos ketat dan rok warna pendek warna biru Alena bagai anggota cheerleader yang tersesat. Wajahnya yang cantik malah lebih menarik perhatian semua mahasiswa yang berpapasan dengannya. Kebetulan ia juga mahasiswa baru dan ia sudah menyerahkan surat keterangan kelulusan untuk ditukar dengan formulir isian. Kemudian ia menawarkan bantuan yang diterima oleh Alena dengan senang hati. Dari situlah akhirnya Ia dan Alena berteman baik. Bahkan kemudian Alena menawarkan apartemennya yang mewah untuk ditinggali bersama, hanya Cyntia menolak karena ia tidak ingin terkesan memanfaatkan Alena. Ia menyayangi Alena sepenuh hati dan tanpa pamrih. Apalagi kemudian Alena banyak membantunya yang akhirnya Cyntia terima dengan terpaksa.

"Apakah Kamu mau minum, sweetheart? " Tanya Cyntia sambil menatap punggung Alena yang turun naik. Alena menggelengkan kepalanya. "Aku hanya ingin tidur..." Suara Alena terdengar sangat parau.

"Tidurlah Alena.. mungkin besok suasana hatimu akan membaik. " Kata Cyntia sambil membetulkan letak selimut ke badan Alena. Ketika Cyntia mau pergi tiba-tiba Alena memegang tangan Cyntia.

"Mengapa cinta begitu menyakitkan?? " Tanya Alena pada Cyntia.

Cyntia mendesah "Itu karena Kau terlalu mencintainya.. " Kata Cyntia menjawab pertanyaan Alena.

"Apa kamu pernah mencintai seseorang? " Tanya Alena.

Cyntia tersenyum pahit, matanya menerawang. Untuk orang seperti dirinya yang berasal dari keluarga di bawah standar dengan wajah standar pula akan kesulitan untuk jatuh cinta pada mahasiswa - mahasiswa dari golongan kaum berada. Ia bagai pungguk merindukan bulan.

"Aku tidak berani. Kamu tau Alena gadis miskin seperti Aku harus tau diri. " Cyntia menjawab dengan hati tegar.

Alena menghapus air matanya yang masih menetes. Ia kemudian malah bangun dan duduk memeluk lutut. Selimutnya ia tarik dan Ia lempar ke ujung ranjang. Hatinya sangat sakit bagai disayat sembilu. Tatapan dingin Nizam selalu terbayang.

"Kamu tau Cyntia, selama ini Aku tidak pernah jatuh cinta. Aku terbiasa dikejar-kejar laki-laki. Terkadang Aku membenci pria-pria yang selalu sok cari perhatian pada ku. Aku selalu menhindari mereka. Sekarang mungkin Aku terkena karma mereka. Aku merasa wajah cantikku adalah suatu kesia-siaan belaka, karena buktinya Aku tidak mendapatkan pria yang Aku cintai. " Alena memeluk lututnya dan menumpukan dagunya pada lutut.

"Sekarang apa rencanamu? Apa kita akan mengatur strategi lagi atau bagaimana? " Cyntia melangkah mendekati ranjang dimana Alena duduk. Air mata Alena masih turun berderai tapi isak tangisnya tidak sekencang tadi. Alena terdiam membisu rasa cinta, benci, amarah mengaduk-ngaduk perasaannya jadi satu. Ia mengigit bibirnya sendiri, apa begitu sulit mendapatkan hati seorang Nizam. Tetapi kemudian Alena menjawab pertanyaan Cyntia.

"Aku tidak tahu. Aku merasa sangat putus asa. " Suara Alena terdengar lirih.

"Aku pikir Alena, sekarang saatnya Kamu untuk berpikir lebih realistis. Untuk apa Kamu mencintai kalau hanya mendatangkan penderitaan bagimu. Lagi pula kalaupun Kamu mendapatkan cintanya, apa Kamu yakin akan hidup bahagia dengannya. Walaupun kalian memeluk agama yang sama tapi gaya hidup dan budaya kalian jauh berbeda. Selama ini Kita tidak pernah tahu Dia berasal dari keluarga siapa. Dia sosok yang sangat misterius. Dia juga tidak pernah terlihat bergaul dengan siapapun. Dia hanya duduk menyendiri. Membaca buku atau kitab sucinya. Dia juga sangat dingin dan tidak pernah menyentuh wanita. Mungkinkah Kalian dapat bersatu?." Cyntia bicara panjang lebar.

Alena kini membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Kedua tangannya Ia jadikan bantalan kepala. Matanya menatap langit-langit kamar yang dihiasi ukiran kayu yang sangat indah.

"Aku mencintainya Cyntia, sangat mencintainya. Dia seakan ada di urat nadiku. Bau tubuhnya bagaikan udara yang tidak bisa tidak selalu terhirup bagai suatu keharusan. Matanya yang tajam selalu mengoyak hatiku yang rapuh. Aku sangat mencintainya melebihi hidupku sendiri.. " Air mata Alena kembali menganak sungai di pipinya. Lalu Alena kembali bertelengkup dan mulai mengisak kembali.

Cintya menarik nafas panjang, Ia berjanji tidak akan meninggalkan Alena dalam kondisi seperti ini. Ia khawatir Alena akan gelap mata dan melakukan sesuatu yang mengerikan. Bahkan Ia kini berpikir untuk menghubungi Edward meminta bantuannya mengatasi depresi yang dialami Alena.

"Alena.. Aku pikir ada baiknya Kita menghubungi Edward." Kata Cyntia hati-hati.

Alena menggelengkan kepalanya. "Tidak, jangan. Ia tidak pernah tahu kalau Aku mencintai Nizam. Aku takut Ia akan terluka." Jawab Alena.

"Menurutku Alena kalau Kau tidak terus terang malahan akan semakin menyakiti dia. Mengapa Kamu tidak mencoba untuk belajar mencintai dia. Selama ini Dia selalu ada untukmu. Tetapi Kamu selalu mengabaikannya. Sekarang mungkin saatnya Kamu melupakan Nizam dan mencintai Edward. Ayolah Alena mari untuk berpikir jernih. " Cyntia mengusap-ngusap punggung Alena dengan lembut.

Alena terdiam merasakan pergolakan batin antara nafsu dan akal sehat berkecamuk berupaya saling mendominasi. Terlalu banyak air mata yang keluar dan rasa yang menyesak membuat Alena sulit berpikir jernih.

"Aku ingin tidur Cyntia. Temani Aku malam ini, Aku tidak ingin tidur sendiri."

Cintya mengangguk lalu ia menarik selimut yang teronggok di ujung ranjang menyelimuti tubuh Alena.

Cyntia lalu berjalan mendekati kulkas. Isi kulkas Alena hanya berisi buah-buahan, minuman dan sayuran. Tidak ada makanan ringan atau pun kue-kue berat. Pantas saja badannya begitu ramping. Walau ramping tapi Alena memiliki buah dada yang besar dan membusung ditambah pinggulnya yang padat berisi membuat Alena benar-benar bisa melelehkan hati siapapun. Kecuali Nizam ya Nizam makhluk itu. Kenapa Ia begitu keras kepala. Tetapi kemudia Cntya menyadari bahwa cinta memang tidak dapat dipaksakan. Ia hanya berharap Alena dapat mengalihkan perasaannya pada Edward.

Diluar langit semakin mendung, petir dan kilat sesekali menyambar dan hujan pun kemudian tercurah di Kota New York seakan ingin menggantikan air mata Alena yang terkuras habis. Cyntia mengambil sebotol minuman jus mangga dan sebuah pisang kemudian

duduk di sofa menonton televisi sambil menikmati makan malamnya yang tidak biasa.