Jejak darah.
Rein mengusak hidung, memutuskan pura-pura tidak melihat dan mencoba melanjutkan langkah menelusuri koridor. Namun, kakinya tertahan oleh suara-suara di balik pintu kamar tujuh belas.
Menempelkan telinga di daun pintu, Rein mendapati indra pendengaranya menangkap kata-kata kemurkaan yang sepertinya milik pria di balik pintu sana.
Itu sepertinya sedang ada adu agrumen, suara tinggi wanita juga tangisan bocah ikut terdengar, kemudian disusul dengan debuman keras.
Oh, ini tidak baik!
Rein mencoba memutar knop, mengetuk-mengetuk pintu. Namun, tidak membuahkan hasil.
"Permisi! Tuan dan Nyonya, maaf bukannya saya ingin ikut campur, tapi bukankah berkelahi tidak baik?! Terlebih lagi Anda memiliki seorang putera. Bukankah membicarakan dengan kepala dingin lebih bijak?! Permisi!"
Terlahir dan terbiasa tinggal di lingkungan keluarga yang harmonis, sulit bagi Rein untuk mengabaikan cekcok yang meledak-ledak seperti itu.
Pasti bocah di dalam sana sangat tertekan, mendapati orangtuanya bertengkar.
Sebagai balasannya hanya ada suara-suara aneh di dalam sana. Rein mulai tak tenang, berusaha mendobrak pintu.
"Pergilah dari rumahku!" Raungan histeris wanita terdengar, Rein mengerjapkan mata. Berlalu pergi tanpa lupa menendang pintu dengan kesal.
Dasar tidak tahu diuntung, orang baik ini berniat menolongmu, mengapa kau memberikan pantat dingin!
Rein menghentikan langkah kala pintu nomor tujuh belas makin berisik, maniknya yang indah melirik ke sana kemari. Fakta bahwa tidak ada satupun tetangga yang mau melerai membuatnya sedikit terkejut.
Mungkinkah orang-orang di sini tidak terganggu? Atau terlalu lelah untuk menghentikan perkelahian rumahtangga.
Mengedikan bahu dengan tak acuh, Rein cepat-cepat menghampiri pintu nomor delapan belas.
Baiklah, mungkin Rein harus mendengarkan kalimat Takazawa agar tidak terlalu banyak ikut campur.
Memasuki kamar apartemen nomor delapan belas, Rein langsung disuguhi pemandangan kardus-kardus besar, ia membongkarnya dan mulai menata ruangan dengan barang-barang pribadinya.
Meski ia hanya membawa sedikit barang, tetapi karena ruang apartemen ini kecil itu tampak seperti ia telah menjejelkan semua yang ia punya.
Itu begitu sempit, Rein tidak terbiasa berada di tempat yang pengap. Namun, menilik dari harga sewa yang relatif murah, ini sepadan.
Rein tidak akan banyak mengeluh.
Meski hanya membutuhkan waktu lima jam untuk beres-beres, tetap saja bagi Rein yang notabene adalah anak laki-laki manja dari keluarga berada yang tidak pernah bekerja keras, ini seperti telah mengambil separuh nyawanya.
Cacing di perut mulai melantunkan lagu keroncong, delivery akan terlalu lama, jadi satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah memasak mie instan.
Bagi beberapa orang itu hanyalah sepotong kue, tapi Rein menganggap ini adalah sebuah perang hidup dan mati.
Berdoa semoga panci tidak meledak dan terlempar seperti kali terakhir, Rein mengulurkan tangan mencoba menyalakan kompor dari jarak jauh dengan fostur siap melarikan diri. Melihat itu baik-baik saja, Rein memasukan air dan mulai memasak dengan hati tenang.
Membutuhkan beberapa menit untuk mendapatkan semangkuk mie instan, meski terlalu matang itu lebih baik daripada kelaparan, setelah makan mie instan dia jatuh tertidur seperti orang tewas.
....
Yang disebut mati itu tidak berlebihan. Rein tidur sekitar jam dua belas siang ketika ia kembali membuka mata itu sekitar jam tujuh malam.
Mungkin jika Takazawa tidak menggedor pintunya hingga engsel pintu nyaris lepas, Rein yakin ia akan terbangun besok pagi.
"Sudah kubilang! Kebiasaan burukmu itu harus dihilangkan! Jika aku tidak datang apa yang akan terjadi?! Kau tidak akan pernah bangun lagi untuk selama-lamanya!"
Rein menguap, menopang pipinya dengan tangan kanan, sementara tangan lain sibuk mengaduk segelas kopi.
"Rein! Apa kau mendengarkanku?!"
"Dengar."
Faktanya omelan Takazawa masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Pemuda tinggi yang sibuk di dapur mendengkus, jelas terlihat tak percaya melihat tampang Rein. Bocah itu bahkan belum tersadar sepenuhnya.
"Sementara aku kembali ke Jepang, kau harus bisa mengurus diri sendiri. Terkadang, aku ingin kembali ke masa lalu, aku benar-benar menyesal telah berjanji pada orangtuamu untuk mengurusmu."
Rein mendongak menatap wajah frustasi pemuda bermanik monoloid itu dengan seringai kecil.
"Sayang sekali, time travel tidak ada. Kau tidak bisa menarik kata-katamu."
Memakan bakso bakar dengan serampangan, Takazawa berujar kelewat lelah, " Nah, kau harus meringankan bebanku. Ingat ini nanti kau harus bisa berbaur dengan orang-orang di sini, kau harus ramah, tolonglah mereka, tapi tentu saja kau harus tahu batasannya---"
Bla bla bla Takazawa memberinya petuah sampai mulutnya berbusa dan kerongkongannya kering. Rein menghabiskan kopi dalam sekali teguk, menyandarkan kepalanya di meja dan berulang kali mengangguk menanggapi.
Rein ingin tidur, matanya sudah tidak kuat untuk terus terbuka, ia hanya ingin bercinta dengan kasurnya, bahkan dia mengabaikan wangi semerbak dari bakso bakar berlumur kecap dan dengan paksa mengusir Takazawa dari apartemennya.
"Tunggu! Aku harus memastikan kau menuruti nasihatku! Kau mendengarkanku, kan?"
"Cerewet! Aku dengar! Pergilah aku mau tidur!"
Dan baam! Pintu ditutup begitu saja, nyaris mengenai hidung indah Takazawa. Untuk sesaat yang bisa pemuda itu lakukan hanya diam bagai patung, sebelum dengan khawatir meninggalkan apartemen sahabatnya.
Takazawa berharap Rein benar-benar mendengarkan nasihatnya untuk tidak berurusan dengan hal yang menyangkut apartemen nomor tujuh belas.
Sayangnya Takazawa tidak tahu bahwa Rein sama sekali tak acuh pada kata-kata yang ia ucapkan.
Jika pemuda keturunan Jepang itu tahu Rein tidak mendengarkan wanti-wantinya, mungkin ia akan kembali ke apartemen teman kecilnya itu.
Tidak peduli jika akan ditendang karena mengganggu acara bogan bocah itu.
....