Aku percaya akan bening merah. Kenapa? Karena aku bisa melihatnya.
Tak percaya?
Tak apa. Kamu punya gagasanmu sendiri.
Hal ini bermula ketika aku masih duduk di Taman Kanak-kanak. Waktu itu umurku masih 4 tahun 11 bulan.
Jelas bagiku, aku sedang bermain pasir di bak pasir dekat perosotan bewarna biru, tepat 3 meter di sebelah kanan dinding bangunan TK tempatku belajar apabila berdiri mengikuti matahari terbit. Sebuah ujung benang bewarna merah lebih menarik perhatianku daripada bermain pasir, aku sentuh ujung benang itu, aku terpana oleh warnanya yang semerah darah tetapi berkilau. Sepersekian detik aku tersadar dari panaan benang tersebut hinga ku raih dan ku lilitkan benang itu di pergelangan tangan kanan ku yang bisa di bilang cukup kurus itu. Telusur demi telusur, ku dapatilah ujungnya. Ujungnya berada di jari manis sebelah kiri seorang wanita berusia berkepala tiga yang ku ketahui dia adalah salah satu guru yang mengajar di TK tempatku sekarang.
"Bu Ning?" Sapaku.
Terlihat olehku ekspresi terkejut dari raut wajahnya. Dia duduk di bawah pohon jambu air yang tepat saat itu sedang berbunga mekar-mekarnya. Sungguh pemandangan yang indah apabila dilihat dari kejauhan.
Mulutku terkunci rapat setelah memotong jarak antara aku dengan si empunya target. Aku melihat cairan putih bening bak mutiara tembus pandang mengalir dari ujung pelupuk matanya hingga ke dagu nya yang setengah lingkaran itu. Hatiku teriris melihatnya, entah kenapa bisa begitu.
Seketika Bu Ning dengan secepat kilat menghapus bulir demi bulir cairan mutiara bening yang menghiasi pipi bulatnya sambil melemparkan senyum bak malaikatnya ke arahku.
Aan kenapa ada disini?" tanyanya tanpa menghilangkan senyuman malaikatnya.
Ya, namaku adalah Aan. Cukup tiga huruf abjad yang melambangkan namaku.
"Aan tadi lagi main pasir di bak pasir sana" balasku menjelaskan sambil menunjuk arah dimana bak pasir yang ku maksud.
"Aan melihat benang merah kusut, Aan ikuti dan Aan gulung benangnya, eh ujung benangnya ada sama bu Ning" jawabku dengan polos dan antusias.
Aku melihat ekspresi bingung bu Ning, senyumannya yang bak malaikat tadi menciut seperti balon kehilangan udara.
"Benang merah kusut?" tanyanya kebingungan.
"Iya, ini benang yang sudah Aan gulung" tukas ku sambil memperlihatkan pergelangan tangan ku yang sudah terlilit benang.
"Mana? Gak ada? Balas bu Ning mengerutkan dahinya yang sempit.
Gak ada ya? Jawabku bingung.
Ku cermati benang yang terlilit di pergelangan tanganku hingga benang tersebut pecah bak kaca yang terbentur benda keras; pecah menjadi serbuk-serbuk pasir dari pergelangan tanganku hingga ke jari manis bu Ning.
Aku melihat ekspresi terkejut buk Ning hingga ku tak dapat melihat sekitar ku. Samar-samar ku dengar suara panik bu Ning memanggilku hingga suara tersebut hilang tertelan bumi di pendengaran ku.
Bangun juga akhirnya" suara cempreng anak berambut pirang menyadarkan ku.
Udah fisik lemah, suka ngerepotin orang, sekarang apa lagi? Tukang pingsan?" celoteh si rambut pirang yang kuketahui adalah kembaranku yang bernama Abing.
Abing satu menit lebih muda dariku. Dia adalah refleksi kebalikan dari diriku yang lemah ini.
Kami bak pinang dibelah dua. Kami memiliki tinggi badan yang sama, semua nya sama kecuali warna rambut. Abing memiliki rambut pirang sedangkan aku hitam legam.
Maaf" ucapku.
Hahhhhh" terdengar olehku hembusan nafas berat dari kembaran ku itu.
Ayo pulang" pintanya sambil mengulurkan tangan kanannya kepadaku.
Bing, kamu juga punya benang? Ucapku sambil memperhatikan kelingking kanan Abing.
Benang apa? Balas Abing persis seperti mimik wajah bu Ning.
Oh iya, bu Ning mana? Timpal ku penasaran.
Bu Ning tadi pulang tergesa-gesa setelah menerima telpon entah dari siapa " jawab Abing kurang menunjukkan minatnya.
Benang apa kamu bilang tadi? Tanya Abing penasaran.
Benang apa? Jawabku dengan ekpresi bingung untuk mengalihkan pertanyaan Abing.
Salah denger kali ya" Suara pelan Abing menyakinkan dirinya.
"Abing yang pengertian" timpal ku dalam hati.
Aku tahu bahwa saudaraku itu tidak akan melanjutkan pertanyaannya setelah melihat mimik wajahku. Itu adalah senjataku.
Rabu, tepat tanggal 6 Mei jam 9.00 WIB, seminggu setelah kejadian itu, aku mendengar berita bahwa bu Ning telah bercerai dengan suaminya.
"Sungguh kasihan. " lirihku.
"An"! Suara cempreng memekakkan telinga itu menyadarkanku.
Apa? " ketusku sedikit kesal.
"Apa? Apa? Tak dengar di panggil dari tadi ha? " suara si pirang naik satu oktaf yang membuat bulu romanku berdiri seketika.
Hey kalian berdua! Asik ya ngobrolnya sampai gak denger saya panggil-panggil dari tadi." Teriakan seorang wanita paruh baya yang tengah duduk di meja paling depan ruangan belajar kami menyadarkan ku dan kembaranku dari perselisihan kami. Terlihat raut jengkel dari wajahnya yang kian menua itu, wanita itu adalah buk Ina, salah satu guru TK di tempatku berada.
Buk Ina memiliki kepribadian yang sangat bertolak belakang dengan buk Ning.