Chereads / Mahler's castel / Chapter 4 - Rahasia

Chapter 4 - Rahasia

Mariana mencoba masuk kedalam sidang pemgadilan yang berlangsung, dua orang keamanan melarangnya bahkan mendorongnya hampir terjatuh, ia berlari dengan highhels nya dan menerobos masuk.

"Hallo," sapa begitu semua orang melihat kearahnya, ia menjentikkan jari lalu melangkah ke depan jaksa.

"Kau merusak sidang ini," tuding pengacara yang tetap duduk dengan tenang.

Mariana hanya mengedipkan matanya.

"Kalian sangat susah di hubungi, Lord, hanya mengirim salam."

Si Jaksa memegang dadanya.

"Apa kau kaget? Kau bahkan tidak punya jantung," kata pengacara itu seakan muak dengan respon Jaksa.

Mariana kembali menjentikan jarinya ia sudah berada di luar ruangan, langkahnya sangat anggun hingga mereka yang berada di lorong terus menatapnya.

"Sidang akan di lanjutkan minggu depan," Jaksa mengetuk palu, semua hadirin keluar bersamaan dengan itu pengacara Demian mengikuti langkah Stevan menuju ruang jaksa.

Keduanya adalah Royal vampire yang menyamar sebagai jaksa dan pengacara, ia juga memiliki tugas yang di berikan Lord mereka, ia sangat menghormati Danial meskipun pada awalnya Danial adalah teman.

Ia ingat bagaimana Danial bertaruh pada insiden itu, lalu melihat kedua orang tuanya terbantai di depan seluruh Royal vampir sebab, Ayahnya adalah Lord terdahulu meskipun ibunya adalah separuh zero.

Ibunya yang separuh zero menjadi awal konflik diantara zero dan Royal, di katakan separuh zero karena ibunya hanya seperti vampir biasa bahkan terlihat seperti manusia, ia tidak memiliki rasa haus darah, tubuhnya hangat, tapi ia lahir dari rahim seorang zero.

Demian ingat bagaimana ibu Danial memperlakukan teman-temannya sangat lembut, sampai peristiwa mengerikan terjadi Danial masih memegang tusuk rambut ibunya, sebelumnya Josep menyembunyikan Danial saat perang terjadi, entah begitu penyerangan semakin brutal ia di sana melindungi beberapa royal dan ikut menyerang.

Mencabik, memengal, menghancurkan hingga castel royal berubah menjadi kota mati, Danial melangkah menuju mayat ibunya yang mengenggam sedikit abu ayahnya, "kenapa kau tidak menjadi abu? Kenapa kau membiarkan ku melihat ini semua?."

Demian dan stevan menyelusuri hutan pinus, ia melangkah masuk ke dalam hutan dan menyebrangi bukit, ia melihat Green paradise dari atas, hanya terlihat seperti lereng gunung biasa.

Semua berkat Danial, saat Joseph mengangkatnya menjadi Lord setelah kekacauan, semua royal yang tersisa mulai menjalani kehidupan vampir mereka.

Demian dan Stevan memberi hormat kepada Lord Danial, ia duduk diatas batu menatap aliran sungai.

"Kenapa kau disini?" tanya Demian.

"Kapan, zero, akan menyerang lagi?"

Keduanya saling tatap.

"Saat hari itu datang, apakah aku bisa melindungi kalian?"

"Aku akan membantu mu," Demian menepuk pundak temannya.

Danial menatap langit yang perlahan menggelap, seakan tertutup bayangan besar, ia berdiri dan menatap dengan saksama langit yang terus menggelap.

"Pusat kota," Demian menatap Stevan.

Immanuel menyelusuri tangga kastil yang sudah berlumut, pemciumannya terhambat oleh lembabnya hawa dingin di sana, ia membuka sebuah ruangan yang hampir seluruhnya tertutup dengan tanaman rambat berwarna hijau, baunya yang menyengat membuat penciuman siapapun samar-samar.

Ia menyibak tanaman rambat pada lantai itu, ada sebuah pintu itu menunjukkan adanya ruangan bawah yang tersembunyi.

Ia membuka kekuatan segel dengan tanda yang di berikan oleh Danial, terlihat tangga curam menuju kebawah ia berjalan, ia bersiul untuk jarinya dan api kecil ada di jari telunjuknya menerangi langkahnya, ia terus masuk, hingga ada pintu jeruji di lorong, setelah memperlihatkan tanda di telapak tangannya ia di persilahkan masuk.

Berbeda dengan keadaan sebelumnya, di sana banyak ilmuwan dan dokter yang sibuk menguji coba serum, peralatan lengkap dengan mesin-mesin canggih, beberapa dari mereka mengunakan otoped untuk berjalan.

"Itu dengan listrik, jadi mereka tidak membuang tenaga serta kekuatan mereka," kata seseorang di belakangnya.

Wanita dengan kursi roda listrik tersenyum padanya, ia menekan tombol dan menjalankannya ke sebuah ruangan miliknya.

"Apa, Lord, mengirim mu?"

"Ya,"

"Immanuel, bisakah kau duduk, sampaikan ini pada,Lord," katanya sambil meraih pulpel dan secarik kertas.

"Emma, dari mana semua peralatan ini?"

"Sama halnya di dunia manusia, kita punya pengembang, peretas juga mekanik yang hebat," jelasnya.

"Oleh karena itu, kau memilih untuk menjadi, professor?"

Emma mengangguk, "aku berpikir akan membalas jasa mendiang, Tuan Embero, dan Nona Embero dengan ini."

"Why?"

"Karena kita bukan hidup di zaman sihir lagi, kita hidup di zaman teknologi yang serba bisa."

Immanuel berkerut.

"Kau akan tahu, setelah menyampaikan ini pada, Lord," Emma menyerahkan amplop tersebut.

Immanuel mengangguk.

"Immanuel, hal ini hanya kau dan aku yang tahu selain, Lord, kau tahu kan ini sangat rahasia."

"Oke," ia membuka pintu langkahnya berhenti, "Emma, kau masih merindukan manusia itu?"

"Hem, aku akan menemukannya jika dia masih hidup," jawabnya enteng.

Immanuel tertawa kecil seakan kesal mendengarnya, "bahkan sudah tujuh tahun berlalu, apa kau akan membuat penemuan keabadian atau manusia berumur panjang?"

"Tidak, merasakan batas umur dan waktu adalah keistimewaan kaum manusia."

Immanuel beranjak dari sana, pintu tertutup rapat, Emma menatap foto didepannya, ia tersenyum, "apa rambutmu sudah memutih? Apa cita-cita mu tercapai memiliki labotorium sendiri?"

"Emma, ada sesuatu yang harus kau periksa," seorang pegawainya berdiri didepan pintu membawa beberapa berkas.

Emma terbelalak begitu melihatnya.