Manik Jenni tampak sedikit basah, belum lagi degup jantungnya yang sedikit tak beraturan. Kabar dari Jack cukup mengejutkannya.
Beberapa kali Jenni mengusap maniknya dengan selembar tisu, bahkan supir taksi yang kini telah membawanya menuju tempat tujuan nya kali ini tampak tak tega dengan Jenni.
"Pak ... bisa lebih cepat?" tanya Jenni pada supir taksi di sela isakannya.
Sungguh hatinya sangat hancur.
Apa yang sebenarnya terjadi ? Bukankah sebelumnya baik baik saja? Mengapa ia menjadi gila kerja dan berakhir di rumah sakit?
Hal itu yang terus menerus berputar di kepalanya menjadi sebuah tanda tanya besar untuk dirinya.
Setelah sepuluh menit Jenni meminta supir taksi tersebut mempercepat lajunya. Kini Jenni telah sampai di rumah sakit yang di katakan oleh Jack.
Perlahan Jenni turun dari mobil tersebut, dan melangkahkan kaki nya menuju rumah sakit yang Jack beritahu.
Sebelum benar benar masuk ke dalam lobby rumah sakit, Jenni mengusap terlebih dahulu cairan bening yang menampung di kedua kelopak maniknya.
'Kau harus tenang Jen,' lirih Jenni dalam hati.
Setelah nya Jenni membuat panggilan singkat pada Jack, menanyakan dimana posisi Daniel saat ini.
Tak butuh waktu lama, Jack mengangkat telefon Jenni, dan memberitahukan dimana kamar atasannya itu berada.
Langkah kaki terburu buru ia lakukan mencari ruang rawat inap Daniel.
Dadanya terasa sesak mendengar kabar yang tak ia duga itu.
Ceklek
"Bang!" pekik Jenni saat membuka kamar Daniel.
Daniel yang melihat kehadiran Jenni dengan kelopak manik nya yang sembab, langsung merasa sedih dan merasa salah dibuatnya.
Bodoh!
Itulah yang dapat Daniel rutuk pada dirinya sendiri.
"Mengapa kau bisa tahu aku berada di sini, atau—"
Daniel segera melirik Jack yang sedang berdiri membeku di tempatnya.
Tatapan tajam Daniel sesaat membuat bulu kuduk Jack seakan berdiri.
"Jangan menatap seperti itu padanya," ujar Jenni cepat.
Daniel hanya dapat menghela nafasnya pelan. Sungguh jika Jenni sudah mengatakan seperti itu ia tak dapat berkutik apapun. Ia kalah dengan gadis itu.
"Baiklah aku tak akan memarahinya asal kau memelukku, kau tak boleh iri," ujar Daniel pada Jenni, dan terakhir beralih menatap Jack tajam.
Jack hanya menganggukan kepalanya cepat dan menundukkan kepalanya.
"Sudah Jack, kau pulang saja, biar aku yang menemaninya," ujar Jenni dengan lembut pada Jack.
Sontak Jack gugup dibuat nya. Ia bingung apakah harus menurutinya atau tidak.
Melihat tingkah Jack yang seperti itu, dengan cepat Jenni membuka suaranya kembali.
"Sudah tak apa, kau pulang saja, kau tak usah takut, jika ia marah padamu, aku yang akan membelamu," ujar Jenni santai.
Jack mau tak mau hanya menganggukan kepalanya, dan menuruti perkataan Jenni berpamitan untuk pulang.
Setelah kepulangan Jack, Daniel telah menggelengkan kepalanya dan melipatkan kedua tangannya di dada.
"Jadi sepertinya kekasih ku mulai mencuri sekretarisku heum?" celetuk Daniel.
Jenni tak mempedulikan perkataan Daniel, melainkan dengan santainya ia duduk di tepi ranjang Daniel dan mengusap pipi Daniel.
"Kau baik baik saja?"
Deg
Seketika Daniel membeku.
'Apa benar ini Jenni yang kukenal?'
"Mengapa kau menjadi seperti ini? Tak bisakah kau tak memaksakan pekerjaan mu itu? Apa harus pingsan seperti yang dikatakan Jack dan berakhir disini baru kau dapat menghentikan pekerjaan mu itu?" lirih Jenni tanpa sadar menitikkan cairan bening dari kedua maniknya.
"Oh sayang ...," lirih Daniel pelan, dan langsung menghambur ke pelukan Jenni.
Ia memeluk erat kekasih nya.
"Maafkan aku sayang," ujar Daniel menggantungkan kalimat nya sembari menghirup nafasnya dalam dalam. "Aku tadi banyak pikiran, dan untuk itu demi menghilangkan pikiran itu aku mengerjakan semua pekerjaan pekerjaan itu, dan ternyata tubuhku tak sanggup menahannya," lanjut ucap Daniel pada Jenni.
Jenni menggelengkan kepalanya pelan, dan mengatakan pada Daniel mengapa tak menghubungi dirinya, siapa tahu dia dapat menghiburnya, ataupun membantu memberikan solusi lebih baik, bukan seperti sekarang yang berakhir di rumah sakit.
Daniel menghela nafasnya pelan.
"Maafkan aku,"
Mau tak mau Jenni hanya menganggukan kepalanya, dan setelah nya melepaskan pelukan dengan kekasih nya itu.
"Kau sudah makan?" tanya Jenni pada Daniel.
Daniel menganggukan kepalanya pelan, dengan sorot manik nya menatap nampan yang berada dimeja yang ternyata nampan tersebut berisi makanan hanya seperti disentuh satu sendok saja.
"Kau tak memakannya sampai habis?" Omel Jenni tiba tiba.
Daniel hanya terkekeh pelan, sambil menggarukkan tengkuk lehernya.
"Makanan itu tak enak Jen," ujar Daniel pelan.
Jenni menghela nafasnya pelan, sambil mengatakan pada Daniel bahwa ia akan pergi sebentar membeli makanan untuknya.
Refleks Daniel menggelengkan kepalanya melarang Jenni pergi keluar.
"Aku hanya membeli makanan sebentar untukmu,"
Lagi lagi Daniel menggelengkan kepalanya seperti anak kecil tidak ingin ditinggalkan oleh orang tuanya.
"Baiklah, kalau begitu aku akan disini, aku akan memesankan makanan terlebih dahulu agar diantarkan ke rumah sakit ini," ujar Jenni mengalah.
Sebuah senyuman tulus terukir diwajahnya. Sungguh di kepala Daniel memang menurutnya Jenni lah hanya satu satu nya obat untuk dirinya seorang.
"Terimakasih."
Jenni hanya dapat membalas sebuah dengungan pelan pada Daniel, dan mengatakan pada kekasih nya itu untuk selalu memberitahu nya jika ada hal yang membuat nya banyak pikiran, dibandingkan harus menjadi Workholic, yang biasanya memang pemuda itu lakukan.
"Oke, Tuan Puteri, Pangeran ini akan menuruti perkataanmu," ujar Daniel dengan cengiran kecil yang menghiasi wajah tampannya.
——
Leave a comment and vote