Seminggu berlalu setelah lomba itu. Kini hari ini adalah pengumuman lima besar untuk ke final. Natasha duduk gelisah ingin segera mendengar kabar dari Pak Bambang, tak henti-hentinya ia melihat handphone, siapa tahu Pak Bambang ada menghubunginya.
Arsen sedang makan, makanan yang tadi dipesan Natasha. Aroma mie bakso juga gorengan sama sekali sepertinya tidak menggugah selera Natasha. Ia bahkan tidak memperdulikan orang-orang yang berbisik-bisik karena dirinya yang sedang duduk di samping Arsen dengan gelisah.
Arsen menatap tajam sekitar, Ia tidak suka ditatap orang-orang seperti itu.
"Lo bisa diem gak?"
"Apaan sih Sen, gue lagi nunggu informasi dari Pak Bambang. Kalo makan, ya makan aja!"
"Mereka liatin Lo! Masalahnya Lo duduk disamping gue, gue gak suka diliatin kayak gitu."
"Tinggal marah aja kayak biasanya. Mereka juga pasti takut."
"Ck," Arsen berdecak lalu ia tak menghabiskan makannya. Ia pergi berlalu juga meninggalkan Natasha.
"Ish, kayak cewek yang lagi dapet aja," gerutu Natasha yang juga ikut bangkit meninggalkan kantin.
***
Natasha menatap layar di depannya. Sudah satu jam Ia bulak-balik memeriksa namanya, yang padahal hanya ada beberapa di depannya.
Tubuhnya meluruh. Kepalanya pusing sepersekian detik. Tepukan dibahunya membuatnya semakin sulit untuk menelan salivanya. Perlombaan ini bukan perlombaan biasa yang meraih tropi ataupun sejumlah uang. Perlombaan ini diadakan hanya untuk kelas sebelas dan diadakan pada tahun ini dengan hadiah beasiswa Jerman. Impian Natasha dari kelas sepuluh, beberapa lomba yang diikutinya selama ini sebagai latihan untuk lomba ini.
"Sayang sekali, akhir-akhir ini kamu terlalu sibuk dengan Arsen."
Natasha menatap Pak Bambang. Arsen. Entah kenapa Ia tiba-tiba sangat marah mendengar nama itu. Dadanya bergemuruh bahkan otaknya memutar bagaimana Arsen mengganggunya selama ini.
"Saya permisi Pak. Maaf sudah mengecewakan sekolah," ucap Natasha.
"Ya tidak masalah. Semoga ada kesempatan lain, mungkin nanti saya akan hubungi kamu jika ada info lomba dengan hadiah beasiswa," jawab Pak Bambang sambil mengangguk.
Natasha menganggukan kepalanya. Ia kemudian meninggalkan Pak Bambang, permisi.
Langkahnya terburu-buru, hari ini Ia akan menghindari orang-orang. Emosinya meluap begitu saja. Tahu rasanya ketika kita berharap, kita bemimpi dengan apa yang sudah dirancang, yang setiap hari diidam-idamkan tiba-tiba pupus sudah hanya karena gangguan dan masalah dari orang lain. Padahal ketika Natasha masih dengan tantenya itu, waktu belajarnya lebih banyak dibanding dengan Arsen sekarang.
Natasha bermimpi meneruskan sekolah di luar negri dengan beasiswa full. Ia akan mengambil jurusan Bisnis untuk meneruskan kemauan Papanya dulu. Menjadi wanita mandiri, pemberani, berpendidikan tinggi.
Berada di rooftop sekolah, mengamati langit yang masih biru dengan awan putih yang bergerak lamban. Angin kencang bahkan menerpa wajahnya, tak membiarkan sedikitpun Natasha meneteskan air mata.
Beberapa kali Natasha menghela napasnya, menghilangkan rasa tak nyaman yang singgah. Sesak.
Dering telepon sama sekali tak digubrisnya. Ia biarkan saja, bahkan telinganya seakan tidak mendengar suara deringnya itu.
***