Chereads / T.I.M (treasure in murder) / Chapter 43 - Chapter 42; Case 2: Perdagangan organ bagian 30

Chapter 43 - Chapter 42; Case 2: Perdagangan organ bagian 30

Mendengar pertanyaan yang Aksa katakan membuat Rei yang tertidur di samping Aileen penasaran dengan siapa yang di maksud 'mereka' oleh Aksa. Apa yang sebenarnya mereka bicarakan?, mereka berarti bukan cuma satu orang. Aileen tidak suka keramaian yang berarti yang di maksud 'mereka' oleh Aksa ini sangat dekat dengan Aileen.

"Belum, aku gak mau liat mereka khawatir gara-gara luka di leher aku Mas."

Jawabannya dengan suara yang terdengar kecewa. Kenapa dia terdengar kecawa? sengin itukah Aileen bertemu dengan 'mereka' ini? Aksa menghela nafas mendengar perkataan Aileen, membuat Rei bingung dengan alasan mengapa Aksa tiba-tiba menghela nafas seperti itu.

"Kamu ini, yaudah kalau gitu biar Mas aja yang ngunjungin mereka besok. Kebetulan Mas juga kangen sama semua keponakan-keponakan Mas."

Aileen terdengar tertawa kecil sementara Rei terdiam mencoba memproses semua informasi yang baru saja dia dapatkan. Keponakan? Sebentar... keponakan dari mana?!! Aksa kan tidak punya keponakan!! Dia anak tunggal dan dia tidak punya keluarga lain selain ayah dan ibunya!! Apa yang dia maksud dan kenapa Aileen tertawa begitu?!! Yang maksudnya keponakan itu siapa?!!

"Mas terlalu ngemanjain mereka, aku udah ngabarin Kinan kok mas. Dia ngomelin aku selama satu jam lewat telpon di rumah sakit"

Aksa tertawa mendengar perkataan Aileen sementara Rei mulai memikirkan siapa siapa orang yang bernama Kinan itu. Saat ia kembali membeli makanan Aileen memang sedang menelpon. Dari suaranya sepertinya anak laki-laki dan dia mengomeli Aileen kalau dia harus hati-hati. Tapi dia tidak menguping pembicaraan mereka saat itu karena ia merasa hal itu tidak terlalu penting. Setelah Aileen menelpon ia juga tidak bertanya kepada Aileen siapa anak laki-laki itu?!!

"Jelas lah dia marah, kamu nekad sih. Kinan makin hari makin mirip sama kamu padahal kalian gak punya hubungan darah. Lucu banget rasanya liat dia ngomelin kamu."

Mendengar perkataan aksa Rei menghela nafasnya, ternyata itu anak angkat Aileen. Tapi tunggu Aksa bilang mereka. Bukankah itu berarti Aleen punya lebih dari satu anak angkat?

"Oh iya Aileen, gimana Riku? Dia ngobrol sama kamu gak waktu itu?"

Mendengar nama lain yang di sebut oleh Aksa Rei kembali bertanya-tanya lagi siapa Riku.

"Aku sempat ngobrol kok sama dia, dia bilang dia pingin aku cepet sembuh biar aku bisa nemenin dia baca buku dan main game lagi"

Suara Aileen terdengar agak sedih, Aileen sepertinya sangat ingin main dengan anak bernama Riku ini. Apa dia anak angkatnya juga?

"Heran aku, sekarang kan rasis antar warna kulit udah ilang kok malah jadi rasis sama yang punya mata merah sih?"

"Manusia takut sama hal-hal yang gak bisa mereka mengerti. Kalau Riku lahir dengan rambut putih kondisinya bisa di mengerti karena dia mungkin terkena albino tapi Riku bukan albino. Karena matanya merah dan rambutnya hitam jadi..."

Rei terdiam mendengar perkataan Aileen. Kenapa ia merasa ciri-ciri anak bernama Riku ini sama dengannya? Apa ini cuma kebetulan? Iya, mungkin memang begitu. Lagipula dia tidak pernah melakukan hubungan seks dengan Aileen. Aileen mungkin teringat padanya saat melihat anak itu dan memutuskan untuk merawatnya. Mungkin begitu. Tapi bagaimana kalau anak itu benar anaknya? Memikirkan versi kecil dirinya berlarian di taman dengan Aileen yang tersenyum entah kenapa membuatnya merasa senang sekaligus makin merasa bersalah kepada Aileen.

Kalau anak itu benar anaknya dia sudah jadi ayah yang benar-benar buruk, pergi meninggalkan Aileen di saat ia benar-benar membutuhkannya.

"Ya udah sampai nanti mas, nanti aku panggil kalo makan malam udah siap ya?"

"Iya."

Aileen mematikan panggilan video call nya dan melirik ke arah Rei yang tampak berbaring sambil memegang tangannya.

"Kucing nakal, kamu gak bener-bener tidur kan?"

Merasa kalau dia sudah ketahuan Rei membuka sebelah matanya dengan lemas.

"Aku udah setengah tidur tahu, kalian aja yang ngeganggu tidur aku."

'Dasar tukang ngeles, bilang aja takut aku omelin'

Pikir Aileen sambil memutar kedua bola matanya.

"Oh... benarkah? Kalau begitu kenapa kamu gak ngelepasin tangan aku?"

Tanyanya lagi sambil menatap tangan Rei yang masih memegang tangannya.

"Tangan kamu kecil dan halus jadi enak di genggam di tambah di sini gak ada guling jadi ku pegang aja tangan kamu."

Jawaban Rei yang kelewat jujur membuat Aileen agak kaget dan menaikkan sebelah alisnya.

"Sejak kapan kamu ngomongnya jujur banget?"

Rei tampak memiringkan sedikit kepalanya dan berkata.

"Kamu ngarepin apa dari orang yang lagi sakit?"

'Lagi sakit juga ini anak tetep aja minta di tampol.'

Umpatnya di dalam hati sambil menatap laki-laki itu dengan tatapan datar.

"Kalau begitu lepasin tangan aku, kamu udah makan malam duluan kan? Yang lain belum makan termasuk aku."

Mendengar perkataan Aileen laki-laki itu dengan sedikit tidak rela melepaskan tangan Aileen. Setelah Rei melepaskan tangannya, Aileen menyelimuti tubuh Rei kembali memasang infus pada lengannya yang sempat tidak dia lakukan karena Rei yang tadi menahan tangannya dan pergi ke luar ruang apartemennya untuk memasak meninggalkan Rei yang berbaring di ranjang pasien sambil memikirkan percakapan terakhir antara Aileen dan Aksa. Keduamatanyapun tanpa sengaja melihat foto kecil yang Aileen pajang di meja kerjanya. Itu adalah Foto Aileen bersama bayi yang umurnya mungkin sekitar satu tahun bersama seorang anak SD yang sepertinya adalah Kinan dan tiga anak perempuan lain. Bayi itu memiliki mata berwarna merah mirip seperti warna matanya juga rambut hitam yang membuat anak itu benar-benar mirip dengannya. Lebih tepatnya versi kecil dari dirinya. Semua orang di foto itu juga tampak tersenyum termasuk juga Aileen yang tampak menatap bayi dalam gendongannya dengan penuh kasih sayang.

Melihat foto Riku yang tampak sangat mirip dengannya ia mulai kembali memikirkan kemungkinan. Apakah mungkin ia pernah melakukannya dengan Aileen? Namun semakin ia mencoba untuk mengingat kepalanya semakin tertasa pusing. Pada akhirnya dia memutuskan untuk tidur meski ada banyak pertanyaan yang muncul di benaknya.

***

Di tempat lain seorang laki-laki sedang berdiri di sebuah laboratorium. Tubuh seorang perempuan cantik berambut coklat tampak berada di dalam sebuah tabung berisi cairan dengan kabel yang terpasang di beberapa bagian tubuhnya dan selang yang di masukkan kedalam mulutnya agar ia bisa bernafas. Laki-laki itu menyentuh tabung kaca itu dan tersenyum dengan penuh cinta pada wanita yang ada di dalamnya.

"Sebentar lagi sayang. Sebentar lagi dan kamu akan segera sempurna. Bersabarlah sedikit lagi. Aku hanya perlu menemukan perempuan dengan suara yang paling indah untuk ku ambil pita suaranya agar kamu semakin sempurna."

Ujarnya sambil tersenyum ketika seorang laki-laki berambut kuning yang memakai kacamata berbingkai hitam dan tindik di salah satu telinganya masuk kedalam ruangan itu sambil membawa sebuah koper. Laki-laki yang tadinya menatap perempuan di depannya itu mengalihkan perhatiannya pada Mahesa yang tampak berjalan ke arahnya.

"Aku bawa barang yang kamu minta. Sepasang mata berwarna hijau, ginjal, dan pankreas untuk melengkapinya."

Ujar Mahesa sambil tersenyum ramah pada ilmuan gila di depannya.

"Pita suara? Bagaimana dengan pita suaranya?"

Tanya laki-laki itu tidak sabar, Mahesa tahu mau seindah apapun suaranya suara pendonor dan suara orang yang di donorkan pita suaranya tidak akan sama. Laki-laki di depannya ini hanya gila dan ingin yang terbaik untuk bahan penelitiannya.

"Ada tiga kandidat perempuan dengan suara yang mungkin kamu inginkan. Aku udah mengirimin rekaman suara mereka. Kamu cuma harus memilih dan aku akan mengambil pita suara, pipa udara dan kelenjar tiroid nya. Ini adalah bagian yang paling beresiko kamu tahu kan?"

Pencangkokan tenggorokan adalah operasi yang paling jarang di lakukan karena kemungkinan berhasilnya yang hanya 50%. Bahkan dengan teknologi saat ini operasi ini masih jarang dilakukan dan tidak banyak dokter yang bisa atau mau mengambil resiko melakukannya.

Leher adalah sebuah struktur yang luar biasa rumit, banyak terdapat jaringan syaraf yang ukurannya lebih kecil daripada rambut manusia di sana dan karena itu ini adalah operasi yang beresiko.

"Ya aku tahu, kamu gak perlu mikirin apa yang akan terjadi kepada karya seniku. Kamu cuma harus ngelakuin apa yang ku minta dan kamu bakal dapet uangnya."

Tahu laki-laki itu tidak akan mendengarkannya Mahesa memutar kedua bola matanya dengan wajah yang tampak malas.

"Aku cuma ngengetin doang, jangan mengeluh ntar kalau gagal di bagian itu."

"Kamu gak akan mendengar keluhan dariku, paling aku bakal minta kamu ngumpulin bahan lagi kalau yang ini gagal."

Jawabnya santai seakan wanita itu cuma seekor tikus percobaan yang bisa dia buang dan di ganti dengan yang baru jika seandainya mati. Tapi Mahesa punya pemikiran lain. Mencari target yang benar-benar sehat seperti kedua perempuan yang jadi korban sebelumnya sangat sulit. Ia tidak mau mencari korban yang merepotkan seperti mereka lagi sekalipun dia di bayar mahal.

"Bunuh orang hobi aku tapi nyari target kayak mereka itu gak gampang, dan lagi penelitian kamu ini... apa kamu yakin bisa berhasil?"

"Hah? Kamu ngeraguin aku?"

Tanyanya agak tersinggung yang di balas gelengan oleh Mahesa.

"Perempuan itu emang bertahan sejauh ini, tapi kamu yakin mau terus mengoprasi dia? Berapa persentase operasi kali ini akan berhasil? Lima puluh persen. Bukankah membuang-buang waktu kalau kamu harus mengulangnya dari awal lagi seandainya gagal?"

"Gak ada yang namanya buang-buang waktu dalam penelitian. Ketika kamu ingin mengetahui sesuatu kamu harus berusaha meskipun kau harus memulainya dari minus. Bahkan kalaupun aku gagal setidaknya aku harus tahu di mana kesahlahanku jadi aku gak akan ngelakuin kesalahan yang sama."

Mendengar perkataan laki-laki itu Mahesa mengernyit jijik. Dia beralih menatap perempuan yang tampak masih tidak sadarkan diri di dalam tabung raksasa itu. Untuk pertama kalinya Mahesa merasa iba pada seseorang.

"Kalau aku jadi perempuan itu aku bakal lebih baik mati dari pada di jadiin kelinci percobaan sama kamu."

Perkataan Mahesa malah dijawab tawa ringan oleh laki-laki itu.

"Nah, kamu bukan dia, lagian dia gak punya pilihan."