Chapter 47 - Bab 47

Walau itu hanya luka kecil di lehernya, tetapi luka itu mulai berdarah lagi. Chu Qiao menggeleng dan menjawab santai, "Tidak apa-apa. Ini hanya tergores."

"Kenapa kamu begitu sembrono?" Zhao Song menjawab dengan prihatin, dan merengut. "Aku akan segera memanggil dokter, ini harus ditangani dengan baik."

"Tidak perlu." Chu Qiao menahannya. "Ini hanya luka kecil. Tidak perlu membesar-besarkan masalah kecil."

"Tidak mungkin." Zhao Song cemberut tidak senang, tetapi dia tahu kata-katanya tidak berarti bagi Chu Qiao. Dia berbalik pada Yan Xun dan bertanya, "Pangeran Yan, bagaimana menurutmu?"

Yan Xun menaikkan alisnya perlahan, melihat ke wajah pucat Chu Qiao. Hubungan mereka selama bertahun-tahun membuat Yan Xun segera mengerti apa yang terjadi. Dia tidak bertanya lebih mendalam, dan hanya berkata, "Apa kamu benar tidak apa-apa?"

Chu Qiao mengangguk dan menjawab tegas, "Saya baik-baik saja."

Zhao Song melihat ke arah mereka berdua, dan merasa terasingkan dari pembicaraan. Dia dengan putus asa berusaha mencari topik baru, dan berkata, "Kalau begitu saya akan pergi mengambil obat." Setelah itu, dia berbalik dan pergi.

Chu Qiao duduk, satu baris di belakang Yan Xun. Dia membungkuk ke depan, berbisik, "Tadi itu anak buah Zhalu. Mereka mencuri brankas dari kemahmu. Saya sudah membunuh mereka."

Yan Xun menjawab, "Benda itu tidak berharga, memang hanya sebagai umpan. Kenapa kamu mempertaruhkan hidupmu untuk itu?"

"Anak buah Zhalu tidak layak!" Chu Qiao menyentuh lukanya sedikit dan menambahkan, "Ada kecelakaan kecil. Akhir-akhir ini apakah ada orang ahli yang datang ke ibu kota?"

"Seorang ahli di ibu kota?" Yan Xun mengerutkan kening, berusaha memahami apa yang dimaksud Chu Qiao. "Ada banyak sekali."

"Kakak Xun!" Suara yang sopan terdengar. Di tengah kerumunan, seorang gadis, berpakaian serba ungu dari kepala sampai kaki, dikelilingi oleh para pelayannya, berjalan mendekat dengan riang. Saat dia sudah dekat, senyumannya mendadak hilang. Dia menatap dingin pada Chu Qiao yang duduk di belakang Yan Xun dan berkata dengan nada memusuhi, "Kenapa dia ada di sini?"

Chu Qiao berdiri dan membungkuk hormat, "Putri Kedelapan."

Zhao Chun bahkan tidak melihat ke Chu Qiao, dan duduk di samping Yan Xun. Dia berkata dengan marah, "Kamu tidak pernah datang mencariku lagi beberapa hari ini. Apakah karena dia sudah kembali?"

Yan Xun berdiri dan berdiri di samping Chu Qiao, menjawab datar, "Yan Xun takut akan mengganggu saat tuan putri sedang istirahat."

"Oh, sekarang dia sudah pulang, kamu kembali memanggilku 'tuan putri'?" Ia menunjuk marah pada Chu Qiao dan berkata dengan nada dingin, "Siapa yang mengizinkanmu, budak rendahan, untuk masuk ke tempat ini?"

Saat dia mengucapkan kata-kata ini, Yan Xun menatapnya dingin. Yan Xun mengerutkan keningnya dan membalas, "Tuan Putri, dengan status anda, mengapa anda memaki seperti itu? Saya yang membawanya masuk. Apakah anda mau mengusir kami berdua keluar?"

Zhao Chun cemberut, matanya mulai merah. Dia menghentakkan kakinya dengan marah, tidak menjawab Yan Xun. Lalu dia menunjuk ke Chu Qiao dan berteriak, "Awas kamu!" Setelah itu, dia pergi dari sana. Para putri lain yang mengikutinya memberi pandangan memusuhi pada Chu Qiao lalu mengejar Zhao Chun.

Chu Qiao menghela napas dan berkata, "Kenapa kamu menyinggung dia sekarang? Seharusnya aku pergi saja."

Suara pria itu dalam bagaikan mata air jernih yang mengalir turun dari pegunungan - perlahan. Dia menjawab, "Aku harus sabar menghadapi dia ketika aku masih muda karena aku tidak punya pilihan lain. Kalau sekarang aku masih harus mentolerir sikap seperti ini, berarti semua usahaku selama bertahun-tahun sia-sia saja." Yan Xun duduk kembali di kursinya dan meminum sedikit arak. Dia tenang dan menguasai dirinya, raut mukanya menampilkan ketampanannya.Dia memakai jubah putih. Digabungkan dengan rambutnya yang hitam pekat, dia seperti seorang pria dalam lukisan.

Pada saat ini, angin bertiup masuk ke dalam tenda. Semua orang menoleh ke arah sebaliknya. Tirai menuju tenda bergerak. Seorang pemuda yang memakai jubah putih keunguan berjalan masuk. Dia tampil megah dan alisnya bagai pedang. Tatapan matanya dingin dan dia bagai lambang ketampanan. Dia seperti pedang yang tak pernah diayunkan, sisi tajamnya memberikan aura yang menakutkan. Namun, luka yang berdarah terlihat di lehernya, sangat tidak sesuai dengan seseorang yang memberikan aura seperti itu. Darah merembes keluar dari lukanya.

Pupil mata Chu Qiao mengerut dan dia mengerutkan keningnya.

"Tuan Keempat!" Pangeran Kedua Wei dan beberapa pangeran lainnya bergegas ke sisinya dan berseru bahagia, "Sudah tujuh tahun. Tuan Keempat, anda tampak semakin mengagumkan daripada sebelumnya!"

Zhuge Yue tersenyum dan menyapa semua orang satu per satu. Dia bersikap sopan, tertawa dan mengobrol dengan orang-orang. Dia bukan lagi paranoid dan penyendiri yang selalu curiga seperti dahulu. Dalam tujuh tahun, dia sudah berubah dari pedang biasa menjadi pedang berharga, yang mampu menampilkan kemilaunya kapan saja.

Di bawah cahaya terang, suasana bahagia meliputi seluruh tenda. Zhuge Yue, setelah selesai menyapa kerumunan, melihat ke sekeliling, dan akhirnya menatap ke meja di pojok paling belakang.

Yan Xun sedang minum dengan tenang, kepalanya bahkan tidak diangkat. Bahunya yang lebar menutupi para wanita di belakangnya, menghadang pandangan dingin Zhuge Yue.

"Pangeran Yan, bagaimana kabarmu?" Suara yang dalam terdengar.

Yan Xun mendongak, tertawa, dan berdiri. "Lama tak berjumpa, Tuan Keempat Zhuge."

Zhuge Yue tersenyum dan tertawa dingin. Dia memiringkan kepalanya sedikit, melihat ke belakang Yan Xun. Dia berkata dengan mendalam, "Xing Er, apa kamu tidak mengenaliku?"

Chu Qiao mendongak dengan wajah tenang. Bibirnya melebar, membentuk sebuah senyuman. Dia melihat ke mantan tuannya dan menjawab dengan hangat, "Tuan Keempat dikenal sampai ke seluruh dunia. Siapa yang tidak mengenali anda?"

Saat dia menyelesaikan kalimatnya, suara lonceng keras bergema. Secara keseluruhan ada sembilan dentang panjang dan lima dentang pendek. Suara itu bergema di seluruh perkemahan yang mencakup lebih dari sepuluh mil. Seluruh tenda mendadak hening. Semua orang berlutut di lantai dan menggema serentak, "Hormat kepada Yang Mulia!"

Tirai masuk tenda dibuka. Dengan angin utara yang bertiup, obor-obor api berkedip di malam hari. Di tengah keheningan, langkah kaki yang rapi bisa terdengar dari luar. Pasukan yang besar mengelilingi tenda kekaisaran. Aroma dari baju besi para pengawal, menutupi aroma daging yang kental.

Chu Qiao mendongak dengan hati-hati, tetapi hanya melihat sepasang sepatu bot kulit rusa yang melintas di atas karpet bulu beruang. Ukurannya normal seperti yang dipakai orang pada umumnya. Ada sulaman berbentuk naga warna-warni di sisinya. Pria itu berjalan dengan tenang dan perlahan, sama sekali tidak terburu-buru.

"Silakan berdiri." Suara yang dalam menggema dari atas. Suaranya tidak riang ataupun tegas. Bahkan sedikit serak. Namun, suara itu membawa tenaga yang menyamai ombak besar. Perlahan menyelimuti seluruh tenda, yang sebelumnya sangat berisik. Semua orang berdiri tetapi tidak ada yang berani menatap ke atas.

Suara Kaisar Xia bergema dari atas, "Duduklah. Qi Er, silakan lanjutkan."

Pangeran Ketiga, Zhao Qi, menjawab dengan hormat, "Baik, Ayah." Dia melangkah maju dan menyatakan, "Pesta ini secara resmi dimulai. Semuanya, silakan duduk."

Suara sizhu[1.Kelompok pemain musik, dengan alat musik petik dan tiup] mulai dimainkan. Dari jalur masuk di kedua sisi, sekelompok penari wanita berpakaian minim mulai masuk. Wajah-wajah mereka sangat cantik. Warna kulit mereka sangat putih. Mereka menari dengan menggoda, melambaikan lengan baju mereka. Berbagai makanan dihidangkan di meja-meja. Saat itulah suasana mulai ringan kembali. Perlahan, teriakan gembira dan suara tawa kembali berlanjut.

Zhuge Yue berdiri di hadapan meja Yan Xun. Pandangan dia dalam dan ekspresinya dingin. Dia melihat ke gadis muda di sisi Yan Xun, menatap wajahnya yang tenang dan akrab namun keras kepala. Dia mengangguk perlahan, berbalik badan untuk pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Jubahnya membuat embusan angin kecil saat dia berputar, membuat gelombang kecil di arak yang di meja.

Chu Qiao tiba-tiba merasakan rasa dingin merasuk di ujung jarinya. Sebuah perasaan mulai menumpuk di dalamnya, membuat dia cemberut. Gadis muda itu menutup matanya perlahan, mengambil napas dalam-dalam, lalu duduk.

Chu Qiao mendadak merasakan tangan di bahunya. Dia mendongak dan melihat mata Yan Xun, yang sedang menatapnya. Yan Xun hanya diam saja tetapi Chu Qiao mengerti pesan yang sedang ia sampaikan. Bertahun-tahun mereka melalui malam penuh dendam dan kebencian, kapanpun mereka merasa sedih dan tertekan, mereka akan menyemangati satu sama lain dengan cara ini: Teruslah menunggu dan bersabar, akan ada cahaya di ujung terowongan.

Chu Qiao mengangguk dengan diam, di tengah suara bising dan obrolan tak jelas di sekeliling mereka. Dia menengok ke arah ujung utara dari tenda, yang diterangi begitu cerah sampai hampir membutakan. Gadis itu membuka matanya dan melihat pria yang berada di tengah cahaya itu. Cahaya yang terang menutupinya, membuat wajahnya sulit dikenali. Hanya pola naga-naga di pakaiannya yang bisa terlihat dan mereka tampak seperti mengarah ke setiap orang yang memiliki niat buruk, memperingatkan mereka.

Dengan suara yang kencang, kemah di depan pintu tenda yang rumit itu ditarik membuka. Angin dingin yang menggigit langsung masuk ke dalam tenda. Di lapangan luas di depan, banyak barisan obor bisa terlihat. Dilihat sekilas, sekitar 300 meja bisa terlihat. Orang-orang yang dianggap tidak pantas untuk masuk ke tenda utama, duduk di luar, mengelilingi tenda utama. Mereka mengosongkan lapangan, meninggalkan area kosong yang luas. Suasana sangat menggemparkan, melampaui di dalam tenda. Saat tirai tenda diangkat, sorakan kencang terdengar dari luar.

Pada saat ini, suara kaki kuda yang nyaring dan cepat mulai menggema. Semua orang mendongak dan melihat ratusan kuda perang mendekat dari jauh. Kecepatan mereka melaju mendekat sangat menakutkan. Di saat semua orang terkejut, 100 prajurit berbaju besi putih keluar dari formasi mereka. Mereka melompat tinggi ke udara, dari tempat mereka berdiri semula, ke atas kuda dengan satu gerakan yang bersih, tegas dan serentak.

Para bangsawan yang menonton memberikan sorakan menggelegar. Di antara para prajurit, satu orang menonjol dibanding yang lainnya. Dia memposisikan dirinya di tengah lapangan, memegang parang di tangan kiri dan perisai di tangan kanan. Dia mengendalikan kudanya dengan kedua kaki, terus memperlihatkan pose yang berbeda dan melakukan gerakan-gerakan yang berbeda. Gerakannya semulus air yang mengalir, namun dia juga menampilkan keahlian tempur. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Jenderal yang memimpin itu masih muda. Dia memakai helm baja yang menutupi wajahnya. Dia sangat tegas dan teguh dalam memberikan perintah serta mempertahankan postur yang tegap. Dia adalah lambang dari prajurit yang gagah berani.

Pada saat ini, semua prajurit menyimpan parang dan perisai mereka di balik para kuda. Lalu, mereka mengeluarkan busur silang mereka yang terpasang di pinggang mereka masing-masing. Mereka mulai mengisi busur silangnya dengan panah, menggunakan kaki mereka untuk menyokong mereka sendiri di sanggurdi. Dengan posisi terbalik, mereka melepaskan panah mereka lewat bawah perut kuda. Dengan suara yang tajam, 100 panah melesat bersamaan menuju papan target yang sudah disiapkan.

Dengan suara benturan, panah panah bertenaga besar itu memecahkan papan target yang tebal itu. Papan targetnya tidak jatuh ke tanah, melainkan mental secara horizontal dan terpasang di salah satu pohon pinus. Banyak di antara 100 panah itu yang menembus sisi belakang dari panah lainnya, menumpuk berlapis-lapis.

Dalam sekejap, seluruh suasana menjadi hening. Para prajurit kembali ke posisi duduk mereka semula. Pimpinan mereka turun dari kudanya dengan bersalto, melepaskan helmnya, berlutut di tanah, dan berkata dengan suara yang tegas dan keras, "Zhao Che berharap Ayah bisa memiliki kemakmuran yang tidak tertandingi dan usia yang panjang!"

Pada saat ini, seluruh lapangan bergemuruh. Orang-orang bertepuk tangan karena keakuratan para pemanah yang ajaib.

"Che Er, kulihat kamu sudah berkembang setelah beberapa tahun berlatih di perbatasan," sang Kaisar Xia, yang duduk di atas, berkomentar dengan nada puas.

  1. pijakan kaki pada saat menunggang kuda