Tiba di stasiun Plaza Jingli, ayah itu mengangguk ke arah Shuhang, lalu bersama istrinya, ia berpindah ke tempat dekat pintu keluar, bersiap turun di stasiun berikutnya.
Ia sudah berpikir untuk meninggalkan kartu nama, tapi ia sedang mengajak keluarganya jadi ia tidak membawa kartu nama, jadi ia membiarkan pemikiran ini. Lagipula, mereka hanya bertemu secara kebetulan, dan tidak akan bertemu lagi… mungkin.
Tidak banyak orang yang naik di Stasiun Plaza Jingli. Ketika pintu terbuka, orang-orang yang di kereta turun dan orang yang di peron berbaris dan masuk.
Orang terakhir yang naik itu tinggi, orang berkulit putih gundul yang sangat menarik perhatian.
Orang asing yang gundul tidak jarang terlihat, tapi gundul dengan 6 titik yang rapi itu benar-benar jarang terlihat.
Biksu bule ini yang tingginya dua meter lebih, dengan gundulnya yang bersinar. Di cuaca yang panas, ia masih menggunakan baju rok tebal yang menutupi seluruh tubuhnya. Ia juga menggenggam cincin tasbih dan bergumam jampi, terlihat sangat profesional.
Sekarang ini, menjadi biksu benar-benar pekerjaan yang sangat menguntungkan? Bahkan orang asing memperebutkan pekerjaan ini sekarang?
Konon katanya biksu bule itu mudah, datang jauh-jauh dari luar negri; popularitasnya berkembang, bukan?
Ketika orang-orang melihat biksu itu, mereka menjaga jarak darinya; di cuaca sepanas ini mereka merasa sangat kepanasan dengan hanya melihatnya. Jika mereka berdekatan, mereka akan merasakan hawa panas dari biksu itu bertiup ke wajah mereka!
Tanpa sadar, Song Shuhang melirik biksu itu; biksu itu tidak hanya bertubuh besar tapi juga memiliki banyak tenaga dalam daripada orang biasa. Mental energinya sangat kuat. Dari kewaspadaannya, Song Shuhang bisa merasakan bedanya mental energi biksu itu dan dirinya. Jika mental energi Song Shuhang sebesar bohlam lampu, lalu mental energi biksu itu sebesar senter besar lampu sorot!
Namun, biksu itu terlihat tidak bisa mengatur mental energinya yang kuat karena ia membiarkan tersebar luas ke sekitarnya.
Orang ini bukan orang biasa, tapi pendekar? Duga Song Shuhang.
Ia menutup matanya lagi dan memasuki kewaspadaannya untuk menutupi keberadaannya. Sebelum mendapat kekuatan yang cukup, ia tidak ingin status sebagai pendekar terbongkar; ia tahu masalahnya jika statusnya terbongkar sekarang.
Setelah naik ke kereta, biksu itu melihat disekelilingnya, terlihat mencari sesuatu di gerbong lalu mengerutkan dahinya.
Setelah itu, ia tidak bergerak sama sekali, dan berdiri saja disana sambil membaca ayat-ayat dalam bahasa China dengan nada yang tepat; bahasa orang asing ini mungkin setidaknya di level 8.
Kereta bergerak pelan, dan penumpang bergoyang sedikit seraya kereta itu bergerak.
Dari stasiun Plaza Jingli ke stasiun berikutnya yang berada di suburban dan jaraknya sekitar 4400 meter, berjarak satu stasiun lebih. Lebih lagi, semua jalur di bawah tanah. Karena terlalu banyak jalan di bawah tanah dan belokan, kereta tidak bisa mempercepat kecepatan di jalur ini, dan itu memerlukan 13 menit untuk tiba di stasiun berikutnya.
Dengan hati-hati ayah itu memeluk putrinya, tapi gadis kecil itu menggeliat tanpa henti, kehilangan Song Shuhang si pendingin berbentuk manusia.
Ibu muda itu mengibaskan tangannya di dekat putrinya mencoba mengusir panas. Sama seperti di dalam gerbong, karena terlalu banyak orang, kereta ini juga terasa panas dan kering.
Kereta berjalan sekitar 6 menit.
Song Shuhang mengerutkan dahinya dan memasang kuda-kuda dengan mantap.
Setelah itu, kereta itu bergoncang dengan kencang dan pegangan terlempar-lempar, bersentuhan satu sama lain.
Penumpang berusaha untuk berpegang ke benda di sekitarnya, tapi mereka masih terguncang. Beberapa tidak berdiri dengan kokoh dan terjatuh ke lantai, "Waaah, apa yang sedang terjadi!?"
"Sial! Belokan di jalanan ini tidak secepat ini sebelumnya!"
"Ahhh!" si ibu muda itu terjatuh dekat Song Shuhang, dan matanya berair karena bokongnya sakit sekali.
Ayah itu melangkah dua langkah ke belakang, dan ia juga tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya, terjatuh kebelakang.
Song Shuhang melangkah dua langkah dan mendorong lelaki itu dengan pelan. Ia menggunakan kekuatannya dengan pelan, menggunakan Teknik Pukulan Dasar.
Ayah itu menyeimbangkan dirinya dan berterima kasih kepada Song Shuhang, "Terima kasih."
"Sama-sama… goncangan belum berakhir, pegangan yang erat." kata Song Shuhang.
Dalam kewaspadaannya, kelima inderanya lebih tajam dari sebelumnya; kereta ini tiba-tiba berhenti mendadak, menghasilkan setiap gerbong berguncang dengan keras. Goncangan keras ini bukan hanya sekali saja, tapi terus menerus hingga keretanya berhenti.
Apa ada kecelakaan di depan?
Selagi ia berpikir, "bang bang bang~"kereta terguncang lebih keras lagi, bahkan seluruh gerbong terguncang.
Saat yang bersamaan, alarm darurat di kereta berbunyi.
Semua lampu di kereta mati, dan penumpang jatuh seperti domino; banyak yang menangis kesakitan karena mereka terlempar dan mengenai tembok kereta.
Di keadaan seperti ini, Song Shuhang tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya.
Ibu muda itu di lantai menangis ketakutan karena ia terseret jauh. Ayah itu berpegangan disisi kereta dengan satu tagan karena saran Shuhang, tapi guncangan masih kencang dan ia tidak bisa berpegangan lagi seraya ia terjatuh miring.
Gadis itu melayang dari lengan ayahnya. Matanya terbuka lebar penuh dengan rasa takut.
Melihat ini, Song Shuhang cepat-cepat meraih dengan tangan berbentuk sepetri cakar menggunakan kekuatannya pelan untuk menangkap baju gadis itu. Saat yang bersamaan, lengannya bergetar sedikit dan ia dengan gesit ia menarik gadis itu ke pelukannya.
Di dalam kereta suram; penglihatan Song Shuhang terbatas karena kegelapan. Gadis itu berpegang erat padanya, tidak berani bergerak. Meskipun ia ketakutan, ia tidak menangis.
"Apa yang terjadi?"
"Keluar jalur? Atau terbalik? Aduh, sakit sekali." teriak seseorang ketakutan.
"Tolong aku, tubuhku terjepit… aduh, Aku tidak bisa bergerak."
"Tidak… uhuk uhuk. aku pasti sedang bermimpi." Orang -orang yang terluka mengerang kesakitan.
"Jangan menekan aku… lepaskan aku! Rusukku patah~"
Disekeliling, rengekan dan tangis ketakutan dan kesakitan membuat kereta itu semakin ricuh.
Seseorang gemetaran seraya mengambil ponsel dan menyalakan senter ponsel untuk menerangi gerbong. Ketika sinar itu dipantulkan, semakin banyak teriakan terkejut.
Adegan berdarah membuat orang heran- apa mereka sedang membuat film horor?
Ada darah dimana-mana; karena guncangan tadi, noda darah mewarnai dinding gerbong; gerbong ini seperti neraka. Beberapa jendela rentak dan beberapa kaca pecah menusuk penumpang yang di dekat jendela seraya mereka bersandar di dinding gerbong tidak bisa bergerak. Bahkan ada orang yang tertusuk pecahan kaca yang besar terbaring di lantai, dan tidak tahu orang itu mati atau masih hidup.
Banyak yang berdarah dan terluka, menekan luka mereka dengan sakit. Karena kurangnya pengetahuan menyelamatkan diri dalam situasi darurat, penumpang tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
"Ough.." orang yang menyalakan ponselnya langsung mematikan senter itu dan mengeluarkan suara muntahan.
Ayah itu terjatuh ke lantai, membuat tangan terkilir; punggung ibu muda itu terbentur kursi dan menangis kesakitan, tapi untungnya ia tidak ada yang terluka. Keduanya melihat ke arah putrinya yang ada di pelukan Song Shuhang, menghela napas lega.
Song Shuhang melihat kejadian yang mengerikan ini, tapi mengerutkan dahinya.
"Aneh." ia kebingungan di dalam hati. Goncangan di dalam kereta tidak begitu kencang, bukan?
Bahkan jendela pecah? Lebih lagi, ada banyak orang yang tertusuk kaca? Lebih lucu lagi setengah dinding gerbong diwarnai darah! Berapa banyak darah yang diperlukan untuk melakukan itu.
Keluar jalur dan terbalik tidak sehancur ini.
Jika gerbong ini terguncang beberapa kali bisa sehancur ini, bagaimana dibilang kereta? Ini namanya kereta menuju neraka!
"Sial!" Seperti beruang hitam yang tinggi, biksu itu berdiri dari lantai dan membersihkan sisa puing-puing di tubuhnya.
Ia melihat di sekitarnya, yaitu adegan berdarah, dan mencibir.
Selanjutnya, ia mengeluarkan cincin tasbih dan membentuk tangan buddha, membaca ayat-ayat dengan suara nyaring.
Suara yang nyaring dan kencang terdengar ke seluruh gerbong kereta, bahkan mengalahkan teriakan orang yang kesakitan.
"Apa yang biksu itu bacakan?"
Itu terlihat ayat penangkal hantu buddha?"
"Sial! ditempat seperti ini dan ia masih mengejar hantu?"
Biksu yang tinggi itu menjadi tuli terhadap kutukan dan tetap membaca ayat-ayat, terus menerus membacakan dengan keras.